User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

4.  Memikul Salib Bersama Dengan Kristus

Sebelum meninggalkan para murid-Nya Yesus memberikan nasehat-Nya yang terakhir dimana a.l. dikatakan bahwa seorang hamba tidak lebih besar daripada tuannya. Bila tuannya dianiaya, maka hamba itupun akan dianiaya pula. Bila orang menerima Kristus, maka Ia juga akan menerima murid-Nya (bdk. Yoh 15:20). Karena itu bila kita sungguh-sungguh mau mengikuti Kristus, kita pun harus siap mengikuti-Nya sampai pada salib, kita harus siap menanggung nasib Kristus. Musah sekali mengikuti dan bersama Dia sewaktu di atas gunung Tabor, sewaktu Ia mempergandakan roti, sewaktu ia mengadakan tanda-tanda mukjizat. Namun kita juga harus siap menanggung segala cerca dan penghinaan, bahkan aniaya demi nama-Nya. Dengan demikian kita menjadi murid-Nya yang sejati. Karena kita bukan milik dunia, maka dunia akan membenci kita.

Memang “seorang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus, akan menderita aniaya” (2 Tim.3:12). Dalam Kis 14:22 jelas bahwa hal ini merupakan kenyataan yang sejak semula dialami oleh orang yang sungguh-sungguh mau beribadah kepada Allah. Hal ini sudah berlaku sejak dalam Perjanjian Lama, seperti kita lihat nasib para nabi. Demikian pula dalam Perjanjian Baru dalam hal yang sama tampak pula dengan jelas. Sejarah gereja pun penuh dengan contoh-contoh yang konkrit akan hal itu. Mereka yang mau dengan sungguh-sungguh melayani Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas akan senantiasa mengalami hambatan. Si iblis yang adalah musuh kita nomor satu, yang kehendaknya adalah kebinasaan kita, akan berusaha sekuat tenaga menggagalkan karya Allah dengan menggoda dan menggagalkan orang-orang yang dipakai Tuhan. Bila ia tidak bisa menggodanya dan membawanya jatuh ke dalam dosa, dia akan berusaha menentang dan memusuhinya dengan tangan-tangan orang lain yang terbuka dengan bisikan iblisnya baik dari kalangan biasa, juga dari umat beriman biasa sampai kepada para pemimpin, bahkan para pemimpin karismatik sendiri maupun dari kalangan hierarki, seringkali dengan disertai rasa dengki dan iri hati. Tak jarang terjadi bahwa perlawanan yang paling hebat justru datangnya dari orang-orang yang menurut jabatannya seharusnya melindungi karya Allah.

Perlawanan dan penganiayaan semacam itu dialami oleh setiap pembaruan yang otentik. Dalam abad ke-13 kita jumpai pembaruan besar yang ditimbulkan oleh para fransiskan dan dominikan dalam gereja. Mereka mendapat tanggapan yang antusias dari umat kerana mereka sungguh-sungguh membawakan Injil secara murni, tanpa pamrih, dan umat yang harus akan makanan rohani mengetahuinya. Namun keberhasilan mereka pada umat justru menimbulkan reaksi negatif yang hebat dari kalangan hirarki sendiri, para imam dan uskup-uskup tertentu. Sejarah membuktikan bahwa motivasi utama dari perlawanan itu adalah iri hati dan kepentingan sendiri. Mereka tidak mau bertobat dan menyelidiki dengan jujur mengapa para fransiskan dan dominikan waktu itu berhasil sekali, sedangkan mereka tidak. Kalau bisa, mereka ingin membinasakan pembaruan itu, namun Tuhan yang menimbulkan pembaruan itu lebih kuat dari semuanya dan mengilhami Paus untuk memberikan dukungan pada kelompok pembaruan tersebut. Karena kesetiaan mereka pada Tuhan dan gereja walaupun menderita aniaya, Tuhan memberkati kesetiaan mereka dan memberikan kesuburan pada hidup mereka secara melimpah. Akhirnya karena keteguhan dan kesetiaan mereka, gereja perlahan-lahan mengalami pembaruan.

Kemudian pada abad ke-17 kita jumpai reformasi Santa Teresia dari Avila yang mempunyai dampak besar sekali untuk gereja, bukan hanya untuk Ordo Karmel saja. Juga Teresia dari Avila bersama Yohanes dari Salib harus menanggung banyak aniaya dan kesengsaraan. Namun karena kesetiaan mereka, Allah mencurahkan rahmat yang berlimpah ke dalam gereja dan banyak orang yang mengalami buah dari pembaharuan mereka. Paul Cordes dalam bukunya ‘Charism and Charismatic Renewal’ dengan jelas menggambarkan apa yang terjadi dalam sejarah itu.

Juga pada dewasa ini pembaruan karismatik mengalami hambatan dan pertentangan di mana-mana, di samping dukungan yang diterima darinya dari pimpinan gereja, dari Paus dan konferensi para Uskup. Situasinya memang berbeda dengan jaman para fransiskan dan teresian (para anggota pembaruan rohani Santa Teresia dari Avila), namun ada juga persamaannya. Kali ini pembaruan itu menyangkut seluruh lapisan umat dalam Gereja dan tersebar luas di kalangan umat. Tantangannya juga sama, si iblis yang tidak senang dengan semuanya itu juga membangkitkan perlawanan dimana-mana dan dia juga berusaha merongrong pembaruan itu dari dalam. Justru yang terakhir ini merupakan senjata yang jauh lebih ampuh bila berhasil. Karena itu bila mungkin selalu ditimbulkann perpecahan, permusuhan, iri hati, dan persaingan tidak sehat di antara para pemimpinnya sendiri. Inilah senjata yang sangat ampuh untuk menghancurkan pembaruan itu sendiri.

Melihat teladan pendahulu-pendahulu kita, dalam situasi  yang sukar ini kita juga harus selalu memupuk kesetiaan. Bila kita tetap setia, bahkan bila kita harus menderita dari pihak pimpinan gereja, Tuhan akan memberkati kesetiaan itu dan akan memberikan rahmat yang berlimpah-limpah. Kita mau setia bukan karena pemimpin yang tidak adil, yang kadang-kadang bahkan bertindak sewenang-wenang, serta yang main kuasa, namun kita mau setia kepada Yesus Kristus, Tuhan kita, yang adalah Kepala dari Gereja itu sendiri dan yang dapat mengubah segala sesuatu menjadi kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (bdk. Rm 8:28). Dalam iman kita dapat mengubah segala sesuatu menjadi kebaikan, seperti Salib Yesus – yang de facto adalah kekejian dan tindakan sewenang-wenang – telah diubah oleh Allah menjadi berkat bagi semua manusia karena kesetiaan dan ketaatan Yesus kepada Bapa.

Juga untuk hidup pribadi kita masing-masing, salib, bila dilihat dan diterima dengan mata iman, merupakan kesempatan untuk tumbuh dalam pengenalan akan Yesus Kristus dan dalam persekutuan dengan Dia (bdk. Yak 1:2-4; 1 Ptr 4:12-14).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting