User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

1.  PENGANTAR 

Ketika saya ujian skripsi, dosen penguji saya bertanya: apakah kamu yakin dan tidak terlalu idealis kamu mengatakan bahwa keluarga dewasa ini bisa memberikan pendidikan iman yang baik kepada anak-anak?, Skripsi saya menulis tentang pendidikan iman anak di tengah budaya televisi. Waktu itu saya dengan yakin menjawab bahwa itu bisa. Tetapi apa yang mendasari pertanyaan dosen itu kemudian saya mengerti bahwa itu berangkat dari sebuah kegelisahan atau bahkan pesimisme umum tentang kehidupan keluarga kita dewasa ini. Begitu banyak tantangan yang dihadapi keluarga untuk bisa menghidupkan dan mengembangkan sebuah tradisi religius dalam rumah tangga. Berkembanganya teknologi informasi dan komunikasi seperti fenomena TV, internet, HP, dll, adalah suatu tantangan tersendiri bagi keluarga untuk menciptakan suasana religius di dalam rumah tangganya. Satu pertanyaan kritis dan reflektif bagi kita: Ketika dunia dipengaruhi perkembangan teknologi yang begitu hebat, budaya materialisme dan hedonisme yang merajalela, apakah orang tua masih mampu memberikan bekal rohani yang baik bagi anak-anaknya? Atau dengan situasi demikian, benarkah keluarga merupakan sebuah komunitas kecil yang memperkembangkan suatu tradisi religius dalam arti bahwa di dalam ranah keluarga itulah bibit keimanan sebagaimana diungkapkan dalam agama disemaikan dan ditumbuhkan dan dengan demikian ikut mempengaruhi masyarakatnya secara positif? 

Seharusnya kegelisahan-kegelisahan seperti di atas tidak perlu ada, sebab dalam tatanan kehidupan kekristenan kita, keluarga merupakan unit kecil dari gereja bahkan dikatakan sebagai gereja kecil tempat bersemai dan bertumbuhnya benih iman. Konsili Vatikan II menamakan keluarga Ecclesia Domestica (Gereja rumah tangga). Sebagai Gereja mini, keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya dalam hal ini adalah anak-anak. Pengenalan pertama tentang Gereja atau iman Kristen justru terjadi dalam keluarga. Keluarga sebagai gereja kecil tidak lain sebuah tempat di mana kita mengenal iman dan merasakan sebuah persekutuan cinta. Dalam keluargalah kita pertama kali mengenal nilai-nilai kekristenan yang menjadi dasar untuk membangun gereja secara universal.  Apabila sungguh mengenal dan mendalami peran keluarga sebagai gereja mini ini, kita tidak perlu takut akan segala kegelisahan di atas tadi. Namun sayangnya banyak keluarga kita dewasa ini yang kurang menyadari perannya yang besar ini. Banyak keluarga kita yang tidak lagi menjadi gereja kecil, tetapi menjadi neraka kecil dalam gereja dan dunia. Di sana bertumbuh subur kebencian, iri hati, persaingan, curiga, dll, yang akhirnya menelurkan keluarga-keluarga yang hancur dengan orang-orangnya yang putus asa, tidak berprikemanusiaan, depresi, tidak punya semangat hidup, stress, dll. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kita perlu sekali mendalami dan sungguh mengenal peran keluarga sebagai gereja mini.

  

2.KELUARGA SEBAGAI GEREJA KECIL 

a.Apa maksudnya 

Keluarga sebagai gereja kecil atau seperti kata St.Yohanes Christotomus sebagai gereja rumah tangga adalah tempat Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah. Angggota-anggota keluarga yang terpanggil untuk iman dan hidup kekal adalah”peserta-peserta dalam lingkup kodrat ilahi” (2 Pet 1,4). Artinya setiap anggota keluarga itu mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis:  ”…Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.”  Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.  Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih Allah yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga diberi makan sabda Allah dan sakramen-sakramen. Mereka pun seharusnya bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki tingkah laku yang sesuai dengan semangat injil. 

Keluarga sebagai gereja mini diharapkan menjadi tempat yang baik bagi setiap orang untuk mengalami kehangatan cinta yang tak  mementingkan diri sendiri, kesetiaan, sikap saling menghormati dan mempertahankan kehidupan.  Inilah panggilan khas keluarga Kristen dan apabila mereka menyadari panggilannya ini, maka keluarga menjadi persekutuan yang menguduskan, di mana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati. (bdk.Ef 1:1-4).

b. Apa tugas dan perannya 

Keluarga sebagai gereja mini memiliki beberapa hal yang menjadi tugas dan perannya dalam setiap rumah tangga Kristen. Saya merangkum beberapa tugas keluarga Kristen sebagai gereja mini yaitu:  membangun persekutuan cinta di antara pribadi-pribadi dalam keluarga, memberikan pendidikan iman yang baik kepada anak-anak, mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah, dan berperan serta dalam kehidupan dan misi gereja. Mari kita melihat secara singkat beberapa tugas dan peran ini:

Membangun persekutuan cinta di antara pribadi-pribadi dalam keluarga. 

Dasar persekutuan hidup bersama suami-isteri adalah cintakasih, bukan harta atau tubuh, pangkat, kedudukan, jabatan atau hobby dst.. Maka persekutuan suami-isteri antara lain ditandai dengan saling mengenakan cincin pernikahan; cincin bulat, tiada ujung pangkal, awal dan akhir, melambangkan cinta kasih yang tak terbatas dan seutuhnya. Maka suami-isteri berjanji setia untuk saling mengasihi baik dalam untung maupun malang sampai mati alias tidak akan bercerai. Cinta kasih juga tidak diketahui awalnya karena cinta kasih itu berasal dari Allah, dengan kata lain yang mempertemukan atau menyatukan suami-isteri adalah Allah sendiri, maka Yesus bersabda : “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19:6). 

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan, suami dan isteri menjadi daya tarik untuk saling bersatu dan mengasihi. Hendaknya perbedaan ini tidak hanya dipahami secara phisik melulu: alat kelamin, wajah, dst., tetapi juga aneka perbedaan yang lain seperti hati, jiwa dan akal budi juga menjadi daya tarik untuk semakin bersatu dan mengasihi. Perbedaan yang ada di antara kita merupakan karya ciptaan Allah alias anugerah Allah. Bukankah jutaan atau milyaran manusia di dunia ini tidak ada yang sama persis atau identik, meskipun mereka kembar? Bahkan anggota tubuh kita yang berpasangan juga tidak sama persis , misalnya: daun telinga, mata, lobang hidung, buah dada dan buah pelir (kalau tidak percaya coba ukur sendiri!?). Maka ketika muncul perbedaan kata, cara bertindak, selera dst..hendaknya tidak menjadi awal perpecahan melainkan awal membangun persekutuan atau kebersamaan. Memang apa yang berbeda dapat menjadi masalah, tetapi ingatlah bahwa apa yang disebut dengan masalah merupakan sesuatu yang menggerakkan atau menghidupkan kita untuk bertindak atau melakukan sesuatu pula. 

Masalah-masalah yang muncul dalam hidup bersama/berdua merupakan kesempatan untuk semakin mengasihi atau memperdalam kasih. Apa itu kasih? “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu  Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. ” (1Kor 13:4-8)   

 Persekutuan cinta suami isteri menemukan puncaknya yang luar biasa dalam persetubuhan yang kemudian membuahkan kehidupan baru.   Persetubuhan merupakan bahasa kasih alias perwujudan saling mengasihi tanpa batas (dalam saling ketelanjangan). “Keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kej 2:25)  Bukankah saling telanjang berdua menunjukkan bahwa relasi kasih suami-isteri sungguh bebas, terbuka dan seutuhnya?  Dari persetubuhan suami-isteri sebagai perwujudan saling mengasihi atau kasih bertemu kasih ada kemungkinan tumbuh manusia baru atau anak yang tidak lain adalah buah kasih, kehidupan baru yang membahagiakan, menjanjikan penuh harapan, maka disambut dengan ceria, bahagia. Karena kasih atau kehidupan baru tersebut merupakan anugerah Allah alias hadiah/anugerah atau kado dari Allah, maka selayaknya ia kita layani atau abdi sebaik mungkin. 

Memberikan pendidikan iman yang baik kepada anak-anak 

Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Di tengah dunia dewasa ini yang begitu sekular, pendidikan iman merupakan bekal penting untuk menjaga anak-anak agar tidak terbawa arus kemajuan zaman. Tugas pendidikan ini pertama-tama diembankan oleh keluarga. Dalam keluarga anak-anak belajar dan dididik untuk mengenal dan mempelajari nilai-nilai religius. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak-anak untuk mempelajari dan menghayati nilai-nilai kehidupan, termasuk nilai-nilai agama. Dengan demikian, orang tua mempunyai tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anaknya agar semakin dewasa baik secara jasmani maupun rohani. 

Konsili Vatikan II dalam pernyataan tentang pendidikan Kristen (Gravissium Educationis) mengatakan bahwa orang tua yang telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Oleh karena itu, orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. 

Sejak dini, anak-anak harus diberikan bekal kehidupan rohani yang baik. Dalam ajaran dan pedoman tentang pendidikan Katolik dikatakan: “… dalam keluarga Kristen, yang dilengkapi rahmat dan tugas sakramen nikah, anak-anak sejak dini harus diajar memandang dan menyembah Allah dan mencintai sesama sesuai iman yang diterima dalam permandian.” Demikian juga ditekankan dalam Katekismus Gereja Katolik. Dalam artikel 2226 dijelaskan:  “Pendidikan iman oleh orang tua sudah harus mulai sejak masa anak-anak. Ia mulai dengan kebiasaan bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil.”  

Pendidikan iman itu apa?  Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya Familiaris Consortio mengatakan bahwa pendidikan iman itu adalah usaha orang tua untuk memberikan semua pokok yang anak butuhkan untuk pencapaian kedewasaan pribadi secara Kristiani. Orang tua perlu mengajarkan bahwa betapa dalam dan besarnya cinta kasih Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia. Kemudian membimbing anak-anak untuk menerima dan menghayati iman Kristiani. Mereka juga dibantu untuk semakin menyadari diri sebagai anak-anak Allah, saudara-saudari Yesus Kristus, kenisah Roh kudus dan anggota Gereja. 

Melalui pelayanan pendidikan dan melalui kesaksian pribadi, orang tua bagi anak-anaknya adalah bentara pesan cinta Injil yang pertama. Jika orang tua berdoa bersama-sama dengan anak-anak, membaca sabda Tuhan dengan mereka, dan memperkenalkan mereka kepada Tubuh Kristus melalui Ekaristi dan Gereja, orang tua tidak hanya menurunkan kehidupan fisik mereka tetapi juga kehidupan mereka di dalam Roh. 

Orang tua Kristen harus berusaha memperkenalkan kepada anak-anaknya bagaimana berdoa dan praktek kehidupan liturgi. Mereka seharusnya menghadirkan pada anak-anaknya pengenalan yang cukup akan sakramen-sakramen. Kemudian orang tua akan membantu anak-anaknya dengan menjadi saksi iman bagi mereka. Mereka perlu mendukung anak-anaknya untuk bertumbuh dalam kekudusan, membantu anak-anaknya untuk bisa mengontrol dirinya sehingga bisa mencapai kepenuhan kerajaan Kristus.

Mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah. 

Setiap keluarga Kristen juga dipanggil untuk mempersiapkan, memelihara dan melindungi berbagai panggilan yang ditumbuhkan Allah dalam keluarganya. Panggilan di sini memang lebih ditekankan pada suatu panggilan khusus dalam gereja seperti menjadi imam, biarawan dan biarawati. Justeru dalam keluargalah panggilan-panggilan semacam ini tumbuh. Saya sendiri bersyukur bahwa saya lahir dan hidup dalam keluarga yang baik di mana benih panggilan saya yang tumbuh sejak kecil akhirnya berkembang berkat dukungan keluarga saya. Seorang kudus besar seperti St.Theresia dari Kanak-Kanak Yesus juga mengakui hal yang sama. Dalam autobiografinya dia sendiri mengakui bahwa dia berterima kasih memiliki orangtua yang mendukung dia untuk hidup dekat dengan Allah. Bahkan rasa syukurnya ini ditulis pada kuburnya. 

Ini suatu tugas dan peran yang luhur bagi keluarga. Oleh karena itu, mereka harus memperkaya diri sendiri dan seluruh keluarga dengan nilai-nilai rohani dan moral, seperti semangat keagamaan yang mendalam dan penuh keyakinan, kesadaran merasul dan menggereja, dan pengertian jelas mengenai apa itu panggilan. 

Banyak orang Kristen tidak memahami benar arti panggilan ini, sehingga jangan heran banyak anak dan orangtuanya tidak merelakan diri dan anaknya menjadi imam, biarawan dan biarawati. Bagi sebagian orang menjadi imam, biarawan, biarawati itu rugi. Ada juga yang mengatakan, akh jadi pastor, tidak enak, tidak kawin, hidup sendiri selamanya. Hidup selibat untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati itu adalah suatu panggilan yang luhur, yang jauh melebihi  penilaian-penilaian tadi. Menjadi imam, biarawan dan biarawati diibaratkan sebuah perjamuan makan. Perkawinan di dunia ini bisa diumpamakan seperti makanan-makanan pendahuluan yang dimaksud untuk menumbuhkan selera agar nanti siap untuk menyantap menu utama. Makanan pendahuluan itu bukanlah hal yang pokok, meskipun sering terjadi kita sudah terlanjur menjadi kenyang oleh makanan pendahuluan itu. Ketika makanan pokok disajikan kita tidak punya nafsu makan lagi. Mereka yang dipanggil untuk hidup sendiri tidak menikah seperti imam, bruder, frater, suster (bahkan awam), sungguh-sungguh mengetahui tentang sajian utama itu. Begitu besar keinginan mereka itu untuk menikmati hidangan utama itu, mereka kemudian memutuskan untuk tidak menikmati sedikit pun menu pembuka tadi. Selama sajian utama itu belum datang, memang mereka harus menahan diri, menahan air liur bahkan mungkin tergoda karena melihat orang di sekitarnya menikmati hidangan pembuka itu. Mereka memiliki keyakinan bahwa semenarik apa pun hidangan pembuka itu, lebih menarik sajian utama. Sajian utama itu apa? Tidak lain adalah persatuan dengan Yesus Kristus sebagai mempelai pria dan mereka mempelai wanitanya dalam perjamuan anak domba. 

Paus Yohanes Paulus II dalam Theology Of The Body menekankan arti dari hidup selibat menjadi imam, biarawan-biarawati adalah suatu bentuk hidup yang diambil secara sukarela dan dengan keinginannya sendiri demi kerajaan surga. Memang hal ini sulit dipahami, apalagi oleh dunia dewasa ini yang begitu mendewakan seks, hedonis dan materialis, hidup semacam ini adalah suatu keanehan. Tetapi bagaimana pun, cara hidup ini haruslah dihormati bahkan bagi setiap keluarga Kristen seharusnya merindukan dan selalu mendoakan agar panggilan ini ada dalam keluarganya. Tidak perlu takut. Kembali Paus Yohanes Paulus II menekankan dalam amanatnya pada hari doa sedunia untuk panggilan bahwa setiap orang tua hendaknya mengetahui dengan baik bagaimana menyambut secara terbuka rahmat dan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka apabila Tuhan memanggil salah seorang puteranya menjadi imam dan puterinya menjalani hidup membiara. Rahmat semacam ini haruslah selalu dimohon dalam doa dan diterima secara aktif dengan cara memberikan pendidikan yang memungkinkan anak-anak muda itu menangkap kekayaan ini dan dengan gembira mempersembahkan hidupnya untuk Tuhan. Suasana keluarga yang baik akan memungkinkan tumbuhnya benih panggilan. Panggilan tidak akan tumbuh dalam keluarga yang diwarnai oleh konsumerisme, hedonisme dan sekulaisme. 

Namun sayangnya banya orang tua tidak menerima rahmat ini. Banyak dari mereka menolak kalau anaknya mau jadi imam atau suster. Padahal bagi Yohanes Paulus II orang tua yang menerima rahmat ini dengan rasa syukur akan melipatgandakan cinta mereka melampui cinta insani. Oleh panggilan anaknya, orang tua akan memperoleh berkat cinta yang jauh lebih besar.

Berperan serta dalam kehidupan dan misi gereja 

Pertama-tama setiap anggota keluarga perlu menyadari dan menghayati bahwa relasi atau komunikasi antar anggota keluarga merupakan komunikasi iman dan kiranya di dalam keluarga perlu juga diselenggarakan kegiatan doa atau pendalaman iman bersama. Dan setelah itu, mereka harus menyadari bahwa mereka juga harus berperan serta dalam hidup dan misi gereja yang melanjutkan tugas perutusan para rasul dari Yesus yaitu: 

”Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20) 

Jadikanlah semua bangsa muridKu”. Menjadi murid Yesus berarti menjadi sahabat-sahabat Yesus alias menghayati sabda-sabdaNya serta meneladan cara bertindakNya. Salah satu cara bertindak yang mungkin baik menjadi teladan kita masa kini antara lain: “memberi makan yang kelaparan, memberi minum yang kehausan, memberi  tumpangan pada orang asing, memberi  pakaian yang telanjang, melawat atau mengunjungi yang sakit, mengunjungi yang berada dalam penjara” (lihat Mat 25:35-36) 

“Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Dibaptis berarti dibersihkan atau disisihkan seutuhnya bagi Tuhan, maka membaptis berarti menyisihkan seutuhnya kepada Tuhan. Kita semua diciptakan dan dikasihi oleh Tuhan, dan karena dosa dan kelemahan kita menjauh dari Tuhan. Menyisihkan diri kita dan sesama serta ciptaan lainnya bagi Tuhan antara: mengelola atau mengurus hal-ikhwal atau seluk-beluk dunia ini dijiwai oleh iman kita pada Yesus Kristus, menyehatkan aneka aturan, kebijakan, struktur hidup bersama yang merangsang ke perilaku dosa dst.. sehingga kita sendiri dan sesama kita memiliki budaya Tuhan Yesus: cara melihat, cara berpikir, cara merasa, cara bersikap dan cara bertindak sesuai dengan cara Yesus.              

“Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Perintah utama dan pertama dari Yesus adalah ‘saling mengasihi’, maka kita semua dipanggil untuk senantiasa hidup saling mengasihi serta mengingatkan orang lain atau sesama kita untuk menyadari dan menghayati diri sebagai ‘yang terkasih’ dan kemudian saling mengasihi satu sama lain. “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (1Kor 13:3)

3.  PENUTUP 

Menutup ulasan ini, perlulah saya menekankan bahwa untuk mewujudkan keluarga sebagai gereja mini dengan segala tugas dan perannya, kita harus menjadikan Yesus sebagai pusat hidup kita. Setiap anggota keluarga haruslah berusaha untuk mengenal dan mengalami kasih Tuhan. Apabila keluarga kita menjadikan Yesus sebagai pusat hidupnya, maka keluarga kita akan membawa berkat bagi setiap anggotanya dan orang lain di luar keluarga kita. Sebabnya apa? Kebersatuan kita dengan Yesus akan melahirkan cinta kasih, kelembutan, kesetiaan, kedamaian, kerendahan hati dan saling menghormati dalam keluarga. Dengan demikian keluarga sebagai gereja mini akan terwujud. 

Kemudian kembali kepada kegelisahan universal yang saya singgung pada awal ulasan ini bahwa mungkinkah keluarga sebagai tempat berseminya tradisi religius tetap eksis di tengah dunia yang materialis, hedonis dan konsumeris ini? Ini sebuah tantangan bagi kelaurga kita masing-masing. Tantangan besar bagi terciptanya sebuah keluarga yang penuh iman dan cinta kasih menurut saya adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti TV, internet dan HP. Pengaruh dari hal-hal semacam ini akan bersaing dengan usaha kita menciptakan keluarga yang diwarnai iman dan cinta kasih yang menjadi ciri dari keluarga sebagai gereja mini.  Oleh karena itu, mari kita bersama berjuang untuk menciptakan keluarga kita masing-masing gereja kecil tempat Yesus hadir dan kenisah tempat Roh kudus berdiam.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting