Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

MALAM YANG DINGIN

Malam telah larut, angin berhembus menambah dinginnya udara di musim itu. Jalan di sebuah kota kecil bernama Betlehem tampak amat sepi, tak ada seorang pun yang berada di luar rumah saat itu. Di malam yang dingin itu tentunya seluruh penghuni kota sedang berkumpul bersama keluarga dan menikmati hangatnya udara di sekitar perapian dalam rumah mereka. Ah… alangkah nyamannya berada bersama keluarga dalam suasana hangat seperti itu.

Namun, di sudut lain kota itu, di jalan yang gelap dan sunyi tampaklah sepasang anak manusia berjalan perlahan-lahan sambil memerhatikan sekeliling mereka. Seorang laki-laki menuntun seorang perempuan muda yang sedang mengandung dan sepertinya sudah hendak melahirkan. Wajah keduanya terlihat letih, pastilah mereka telah berjalan cukup jauh di tengah kegelapan dan dinginnya malam itu. Sesekali laki-laki itu berhenti dan memerhatikan perempuan muda di sampingnya sambil bertanya apakah ia masih kuat berjalan. Dan, tampak perempuan muda itu tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Siapakah mereka?

Kita sebagai orang-orang Katolik tentulah mengetahui kedua orang itu adalah Yosef dan Maria, orang-orang sederhana dan bersahaja yang telah dipilih oleh Allah untuk menjadi jalan bagi Putra-Nya untuk datang ke dunia. Maria, perempuan muda yang sederhana itu telah ditetapkan oleh Allah untuk mengandung Sang Putra dan Yosef tunangannya dipilih menjadi bapa Sang Putra di dunia ini. Saat itu, di tengah malam di musim dingin adalah waktu bagi Maria untuk melahirkan Putra Allah yang dijanjikan dan telah dinubuatkan oleh para nabi seperti yang telah tertulis dalam Kitab Yesaya, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel”  (Yes 7:14).

 

PENOLAKAN DEMI PENOLAKAN

Malam semakin larut, udara pun semakin dingin menusuk tulang, namun Maria dan Yosef masih terus berjalan perlahan sambil mencari tempat untuk berteduh. Ketika mulai memasuki kota, Yosef melihat sebuah rumah besar yang masih terlihat terang, ia pun segera mengajak Maria untuk pergi ke sana, berharap dapat menumpang di rumah tersebut. Namun, apakah jawaban dari si pemilik rumah itu? Hanya satu kata saja, “Tidak!” Pemilik rumah tersebut dengan segera menolak memberikan tumpangan dan mengusir mereka dari hadapannya. Mereka pun kembali berjalan tanpa mengeluh, sampai kemudian mereka menemukan rumah yang lain. Di rumah ini pun mereka mengalami penolakan, dipandang dengan hina dan diusir keluar. Keadaan seperti itu terjadi beberapa kali, semua pemilik rumah di kota tersebut seakan-akan tak mempunyai rasa belaskasihan sedikit pun terhadap sesama mereka. Ah… alangkah menderitanya Sang Bayi dalam kandungan itu, belum juga ia dilahirkan ke dunia, Ia telah mengalami banyak penolakan dari manusia. Jika dipikirkan, betapa manusia-manusia itu sungguh tak punya perasaan belaskasih sedikit pun, bahkan di malam yang begitu dingin mereka mampu menolak sesamanya yang menderita. Seandainya mereka mengetahui siapakah Dia yang telah mereka tolak dengan kasar itu ....

Para pemilik rumah yang tidak berbelaskasih itu sebenarnya juga adalah gambaran dari diri kita yang tidak memiliki kasih, kita yang egois dan seringkali mementingkan diri sendiri. Lihatlah diri kita masing-masing.... Bagaimanakah sikap kita jika ada sesama yang menderita datang kepada kita? Apakah kita dengan cepat mengulurkan tangan untuk menolong mereka dan memberikan kasih kita kepada mereka? Ataukah, yang terjadi justru sebaliknya, dengan cepat kita menepiskan tangan kita dari mereka dan memalingkan wajah seakan tak pernah melihat mereka? Begitukah sikap kita dalam menghadapi sesama yang membutuhkan pertolongan? Jika memang demikian maka alangkah jahatnya hati kita yang begitu dingin dan tak berbelaskasih itu.

Entah disadari atau tidak, saat kita menolak mereka yang miskin dan menderita itu, kita menjadi orang-orang yang arogan dan merasa posisi kita jauh di atas mereka, sehingga merasa tak perlu berurusan dengan orang-orang semacam itu. Namun, lupakah kita bahwa Tuhan sendiri mengatakan bahwa apa yang kita perbuat terhadap sesama berarti juga kita perbuat terhadap Dia sendiri? “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Lupakah kita bahwa di dalam diri sesama itulah kita seharusnya melihat kehadiran-Nya? Kita menolak sesama yang menderita sama saja dengan kita menolak Dia yang adalah Yesus sendiri. Kita tak ubahnya sama dengan para pemilik rumah yang menolak Maria dan Yosef dua ribu tahun yang lalu saat menantikan kelahiran Yesus. Ya… kita pun menolak Yesus yang ada dalam diri sesama.

Penolakan adalah sesuatu hal yang sangat menyakitkan bagi mereka yang mengalaminya. Akan tetapi, walaupun menerima perlakuan yang tidak bersahabat dari para pemilik rumah di kota itu, Yosef dan Maria menerima semua penghinaan dan penolakan itu dengan hati besar. Mereka tidak marah, mengomel ataupun mendendam kepada orang-orang tersebut. Hati mereka yang murni membuat segala yang diterima menjadi baik. Mereka terus berjalan sampai akhirnya mereka menemukan sebuah tempat sederhana, sebuah kandang kecil di sudut kota tersebut. Maka dengan penuh sukacita, mereka segera masuk ke dalamnya dan beristirahat di sana.

 

PENERIMAAN YANG PENUH SUKACITA

Tak lama berselang, tibalah waktunya ... sang perempuan muda itu pun melahirkan seorang bayi mungil, Putra Allah yang telah dijanjikan bagi manusia. Seorang Bayi nan suci telah datang ke dunia membawakan sukacita dan kegembiraan. Para malaikat surga pun bernyanyi dan bermadah memuji Tuhan, melambungkan kidung bagi sang Putra yang baru dilahirkan. Seluruh bumi penuh dengan kesukaan besar karena Dia yang dijanjikan telah datang. Dalam kesederhanaan dan kemiskinan Putra Allah telah lahir ke dunia ini, namun memberikan suatu arti besar yaitu keselamatan bagi umat manusia.

Sementara itu, di sebuah daerah lain dekat kota itu, tampaklah pula beberapa orang gembala yang sedang menjaga domba mereka. Pada saat yang penuh sukacita itu malaikat Tuhan pun menampakkan diri kepada mereka dan membawakan kabar gembira bagi mereka. Orang-orang sederhana dan polos itu menyambut dengan sukacita berita yang disampaikan oleh malaikat dan segera beranjak dari situ untuk menuju ke tempat di mana Sang Putra Allah telah lahir.

Para gembala adalah gambaran dari orang-orang yang sederhana hatinya, orang-orang yang terbuka hatinya untuk menerima Allah. Mereka orang-orang yang penuh sukacita dan menjalani hidup dengan ringan. Para gembala menikmati kehidupan mereka dari saat ke saat dan hati mereka tidak dipenuhi oleh urusan-urusan yang sia-sia seperti kebanyakan orang-orang modern yang sibuk. Orang-orang seperti ini akan menjalani hidup tanpa perasaan berat, mereka akan selalu mengandalkan Tuhan dan mempercayakan hidup mereka pada penyelenggaraan Tuhan yang ajaib. Hidup dari saat ke saat, hidup untuk mencintai dan hidup untuk melakukan kehendak Tuhan saja. Seperti para gembala yang dengan segera menerima kabar malaikat penuh sukacita, begitulah seharusnya yang kita lakukan dalam menerima setiap hal yang diberikan Tuhan. Dengan bersikap menerima penuh sukacita kita akan selalu mengalami kebahagiaan karena sadar bahwa setiap kehendak Tuhan akan mendatangkan kebaikan bagi kita. Para gembala tidak banyak bertanya ketika malaikat menyampaikan kabar kedatangan Yesus Sang Juruselamat, mereka hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh para malaikat itu. Walaupun pada awalnya mereka bingung dan takut, namun mereka segera dapat menerima dengan penuh kepercayaan segala yang dikatakan. Begitu juga dengan diri kita, dengan bersikap seperti para gembala itu, kita akan selalu terbuka terhadap setiap dorongan dan bimbingan Roh, tidak banyak bertanya, dan hanya mau mengikuti apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita. Jika pada awalnya kita juga merasa takut menerima apa yang dikehendaki Tuhan, kita dapat segera menyerahkan ketakutan itu pada Tuhan dan memberikan hati kita untuk dipenuhi dengan rahmat-Nya. Para gembala yang telah melihat Sang Putra segera pergi dan mewartakan kabar gembira itu kepada orang-orang lain. Dalam kehidupan kita, kita pun dapat membagikan kasih Allah yang telah kita terima kepada orang lain, mewartakan karya Allah yang ajaib kepada orang lain sehingga mereka pun ikut memuliakan Tuhan dan melihat kebesaran-Nya.

 

PENUTUP

Malam di Kota Betlehem semakin larut, namun kesukaan dan kegembiraan telah meliputi hati setiap orang yang percaya. Dalam kandang kecil sederhana terbaringlah Sang Bayi Kudus yang membawakan keselamatan bagi seluruh dunia ini. Begitu besar kasih Allah bagi kita manusia sehingga Ia pun memberikan Putra-Nya bagi kita, Putra-Nya yang datang ke dunia dalam kemiskinan dan penderitaan. Yesus telah datang untuk menyelamatkan manusia.

Malam di Kota Betlehem itu menjadi awal dari rangkaian karya keselamatan bagi umat manusia. Malam di Kota Betlehem, malam kelahiran Yesus Sang Raja Damai. Malam yang penuh makna, malam yang tak dapat terlupakan. 

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting