User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

‘SENDANG SONO’ adalah nama tempat ziarah Maria yang barangkali adalah yang paling kuno dibandingkan dengan tempat ziarah Maria lainnya di Pulau Jawa. Letaknya di dekat kota Muntilan, Jawa Tengah. Saya tidak bermaksud menceriterakan tentang tempat ziarah ini, tetapi ini merupakan bagian dari penyelenggaraan ilahi yang saya alami dalam hidup panggilan saya sebagai Putri Karmel.

Ayah dan ibu saya berasal dari daerah sekitar Muntilan ini, jadi mereka mengalami sejarah dimulainya peziarahan ke Sendang Sono itu waktu mereka masih kecil. Ibu saya pernah menunjukkan sebuah foto ketika beliau masih gadis remaja pergi bersama ibu dan kakak adiknya berziarah ke Sendang Sono. Sedangkan bapak saya hanya bercerita saja bahwa dia dan teman-temannya pun dulu kadang-kadang pergi ke sana juga. Waktu saya masih SD, saya dan adik saya pernah diajak bapak berziarah ke sana. Ketika saya sendiri sudah SMP dan SMA saya setiap tahun berziarah ke sana, baik dengan sekolah maupun dengan teman-teman (Kalau dengan teman-teman pergi naik sepeda, 42 km jaraknya dari Yogya, tempat tinggal saya). Karena kedekatan mereka dengan Bunda Maria dari Sendang Sono itulah maka ketika bapak membuka kios bukunya, beliau beri nama “SENDANG SONO”. Dari kios bukunya itulah bapak menghidupi dan menyekolahkan kami, sembilan orang anak-anaknya.

Singkat kata, ketika November 1977 saya tamat kuliah Sarjana Muda (B.A.= Bachelor of Arts) di Sanata Dharma, Yogyakarta, jurusan Bahasa Inggris, dosen Ketua Departemen saya memanggil saya dan bertanya apakah saya tidak bermaksud melanjutkan studi tingkat Sarjana Lengkap, karena nilai saya bagus-bagus, katanya. Saya bilang bahwa ayah saya sudah mengharapkan saya untuk segera membantunya membiayai sekolah adik-adik saya (saya anak sulung) yang banyak itu. Kemudian dosen saya mengatakan bahwa di IKIP Malang ada program tingkat sarjana dengan beasiswa dari P dan K. Dia sudah menawarkan itu kepada mahasiswa lainnya juga. Akhirnya saya katakan bahwa saya akan coba saja. Lalu bersama lima orang mahasiswa lainnya kami mengurus surat-surat persyaratan mengikuti ujian masuk program itu. Salah satu dia antara surat-surat yang dibutuhkan itu ialah surat izin dari orang tua bagi yang masih belum berkeluarga. Jadi setelah semua surat lain saya urus (9 macam), saya harus menyampaikan kepada bapak tentang keinginan saya itu. Saya katakan bahwa kalau bapak mengizinkan saya ikut ujian masuk program itu, saya hanya akan mengikuti program itu kalau mendapat beasiswanya (karena di antara 20 mahasiswa yang akan diterima, hanya 10 orang yang akan diberi beasiswa). Kalau tidak dapat, saya tidak akan terima. Akhirnya dengan berat hati bapak mengizinkan saya pergi ke Malang untuk ikut ujiannya. Ketika tiba hari pengumuman hasil ujian, saya dipanggil oleh tim dan ditanyai apakah akan ambil program itu kalau tidak dengan beasiswa. Saya katakan tidak dan saya sebutkan alasannya (seperti yang sudah saya tulis di atas). Maka akhirnya saya diterima dengan beasiswa.

Bapak terpaksa mengizinkan saya kuliah di IKIP Malang itu, karena sesungguhnya memang berat sendirian membiayai sekolah adik-adik saya itu. Malangnya lagi, setahun sebelum saya selesai kuliah di IKIP Malang itu, saya mengalami perubahan besar dalam hidup saya sesudah mengalami Pencurahan Roh Kudus ketika mengikuti retret bersama para guru di SMA Dempo (saya kuliah sambil mengajar di sana sebagai guru honorer) di Ngadireso, yaitu yang sekarang dikenal dengan nama Retret Awal. Waktu itu Rm. Yohanes masih sendirian tinggal di sana, dan ada beberapa pemimpin dari kelompok PD di Malang yang waktu itu membantu Romo dalam membimbing retret kami. Karena peristiwa itu, maka saya lalu berkeinginan menjadi suster, dan ketika beberapa bulan kemudian saya menemui Romo untuk minta doa untuk kelancaran tesis saya di IKIP Malang yang mengalami kemacetan. Dalam percakapan tentang keinginan saya untuk menjadi suster itu tercetuslah kata-kata dari Romo bahwa sudah ada suster-suster dan beberapa pemudi yang ingin mengikuti cara hidup Romo di Pertapaan Karmel itu. Lalu saya katakan bahwa saya pun mau masuk saja di sana, karena memang saya merasa tidak bisa lagi lepas dari Pembaharuan Karismatik. Sesudah didoakan oleh Romo itu tesis saya menjadi lancar dan akhirnya saya menyelesaikan studi saya pada bulan Januari 1981. Tentu saja yang paling membuat saya dag-dig-dug ialah bagaimana menyampaikan keinginan saya untuk menjadi suster itu kepada bapak yang sudah lama menunggu saya selesai kuliah dan ikut membiayai adik-adik saya. Bayangkan saja, sekarang sudah selesai sebagai sarjana lengkap (dengan harapan kalau sudah bekerja gajinya akan lebih besar), laa...ah kok malah mau jadi suster!!! Tentu saja, waktu saya menyatakan niat saya masuk biara di Ngadireso, bapak tidak bisa terima sama sekali. Untunglah ibu mendukung niat saya itu karena ibu berasal dari latar belakang keluarga yang banyak di antara sepupunya yang menjadi imam, bruder dan suster. Ketika saya diterima masuk sebagai postulan di Ngadireso pada Hari Raya Pentakosta tgl. 30 Mei 1982, bapak melarang keluarga kami untuk menghadirinya. Untung ada adik dari nenek saya yang tinggal di Malang. Jadi saya mengundang beliau dan beliau berkenan hadir. Tapi sesuatu telah terjadi di rumah yang menyebabkan bapak saya pada akhir bulan Agustus 1982 itu datang mengunjungi saya dengan membawa semua anggota keluarga kami dan nenek saya. Ternyata bapak ingin menceritakan kejadian ajaib yang dialaminya di kios bukunya. Bapak mengatakan bahwa ketika kios ramai bulan Juni-Agustus waktu itu (pedagang buku itu mengalami panen raya waktu pembukaan tahun ajaran baru, karena siswa-siswi dan guru-guru butuh buku-buku baru), bapak kerja seperti biasa tapi uang yang masuk luar biasa banyaknya. Jadi ini jelas-jelas ada campur tangan Tuhan. Lalu sejak itu bapak mulai bisa menerima kenyataan bahwa saya dipanggil Tuhan menjadi suster.

Untuk selanjutnya Tuhan dengan perantaraan Bunda Maria dari Sendang Sono itulah yang terus mengembangkan usaha bapak dengan kios bukunya itu, sehingga kios bapak lama kelamaan menjadi begitu terkenal, sehingga selama bertahun-tahun kalau kios sedang ramai, antrian para pembelinya sampai panjang sekali, padahal kios-kios lain di sekitarnya sepi-sepi saja. Begitu mengherankannya dalam pandangan orang sehingga suatu hari ada orang yang bertanya pada bapak: “Pak Hardi ini pasti pakai ‘pesugihan’ to, Pak? Nggak mungkinlah bisa begitu suksesnya kalau nggak ada ‘ingon-ingonan’nya.” (Pesugihan: aji-aji untuk mencari kekayaan; ingon-ingonan: roh-roh yang dipelihara untuk mencari kekayaan itu). Bapak saya bilang: “O ya jelaslah. Tuyulku saja sembilan.” Orang itu bilang: “O.. pantesan.” Bapak masih menambah lagi: “Selain itu masih ada wewe juga.” (Wewe: kuntilanak). Tapi ketika bapak mengatakan begitu orang itu langsung mengerti bahwa yang dimaksud itu ialah 9 anak dan satu isteri. Jadi demikianlah, karena campur tangan Bunda Maria dari Sendang Sono bapak berhasil menyekolahkan adik-adik saya semua sampai tingkat perguruan tinggi (kecuali satu yang karena kecelakaan jatuh ke dalam sumur waktu SD, maka hanya bisa sekolah sampai kelas 2 SMP saja). Dan yang paling istimewa: saya tidak ikut membantu satu sen pun, karena saya sudah menjadi suster Putri Karmel. Yang diharapkan bapak dari saya ternyata dipenuhi oleh Bunda Maria sendiri. Puji Tuhan atas karyanya yang ajaib dalam permulaan panggilan saya di Putri Karmel. Terima kasih Tuhan.                       

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting