User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Yohanes dari Salib adalah pertama-tama seorang mistikus besar, seorang yang jatuh cinta sungguh-sungguh pada Allah dan telah diperbolehkan mengalami Allah secara amat mendalam. Seluruh karya Yohanes dari Salib ini bernapaskan cinta yang menyala-nyala kepada Tuhan, karena ia lebih dahulu telah mengalami cinta Allah yang begitu mendalam. Bahkan karya askesisnya juga bernapaskan cinta yang membara tersebut. Dalam hidupnya Yohanes telah mencapai tingkatan cinta kasih yang amat luhur, yaitu mencapai apa yang dalam literatur mistik disebut dengan istilah perkawinan rohani, suatu persatuan cinta kasih yang mendalam sekali dengan Tuhan, sehingga ia diubah seluruhnya menjadi serupa dengan Tuhan.


Penjelmaan khotbah di bukit

Untuk mengerti karya dan segala tulisannya, perlulah kita lebih dahulu menyadari, bahwa Yohanes dari Salib adalah pertama-tama seorang mistikus besar, seorang yang jatuh cinta sungguh-sungguh pada Allah dan telah diperbolehkan mengalami Allah secara amat mendalam. Seluruh karya Yohanes dari Salib ini bernapaskan cinta yang menyala-nyala kepada Tuhan, karena ia lebih dahulu telah mengalami cinta Allah yang begitu mendalam. Bahkan karya askesisnya juga bernapaskan cinta yang membara tersebut. Dalam hidupnya Yohanes telah mencapai tingkatan cinta kasih yang amat luhur, yaitu mencapai apa yang dalam literatur mistik disebut dengan istilah perkawinan rohani, suatu persatuan cinta kasih yang mendalam sekali dengan Tuhan, sehingga ia diubah seluruhnya menjadi serupa dengan Tuhan.

Yohanes dari Salib dilahirkan dengan nama Juan de Yepes y Alvarez pada tahun 1542 di Fontiveros, sebuah kota kecil di daerah Castilia, Spanyol pada Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis. Ayahnya adalah seorang putra bangsawan, tetapi karena menikah dengan seorang gadis dari kalangan rakyat jelata, akhirnya ia diusir dari rumah orang tuanya dan kemudian hidup miskin bersama istrinya. Juan adalah putra bungsu dari tiga bersaudara dan tak lama setelah ia lahir, ayahnya meninggal dunia. Keluarga ini kemudian hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil Juan telah mengalami  banyak penderitaan dan kemiskinan, namun ia berkembang baik dalam cinta kasih Allah.

Setelah tamat dari kolese yang dipimpin romo-romo Yesuit, di mana ia menyelesaikan studinya dengan baik, Juan memasuki novisiat Karmel di Medina del Campo pada tanggal 24 Februari 1563, dengan mengubah namanya menjadi Yohanes dari Santo Matias. Di situlah ia belajar mengenal semangat Karmel yang akhirnya membawa dia sampai kepada puncak pengalaman mistik. Tahun 1567 Yohanes ditahbiskan menjadi imam, dan pada tahun itu pula ia berjumpa dengan Teresa dari Yesus yang meyakinkan dia untuk ikut dalam pembaharuan serikat Karmel, sebab sebelumnya Yohanes sempat mempunyai keinginan untuk pindah ordo dan menjadi rahib Kartusian. Maka dalam tahun 1568 mulailah ia dengan biara pertama dari pembaharuan itu dan setahun kemudian biara tersebut dijadikan priorat oleh romo provinsial serta diberi hak untuk menerima novis, sementara Yohanes diangkat menjadi pembimbing novisnya. Sejak saat itu pembaharuan dalam serikat Karmel berkembang terus dengan segala liku-likunya. Bersama dengan Teresa dari Yesus atau St. Teresa Avila, Yohanes dari Salib (demikianlah nama yang dipakainya sejak ia memasuki cara hidupnya yang baru) menjiwai seluruh pembaharuan itu, baik bagi para suster maupun para rahibnya.

Yohanes Salib wafat pada tanggal 14 Desember 1591 dalam keadaan yang tenang sambil mengulangi kata-kata Mazmur: "Ke dalam tangan-Mu ya Tuhan, kuserahkan jiwaku." Ia wafat dalam usia 49 tahun. Ia digelarkan beato pada tahun 1675, digelarkan kudus pada tahun 1726 dan diangkat menjadi pujangga Gereja oleh Paus Pius XI dalam tahun 1926.

Hidup Santo Yohanes menjadi bukti, bahwa Injil memang dapat dihayati sepenuhnya, baik tuntutan-tuntutannya yang keras, dan juga sabda bahagianya. Sebagaimana Yesus menuntut banyak sekali dari pengikut-pengikut-Nya, karena Ia menyediakan banyak, demikian pula Yohanes dari Salib menuntut banyak karena ia tahu nilai dari tujuan yang melampaui segala pengertian dan dibandingkan dengan tujuan yang akan dicapai, segala yang harus dilepaskan itu tidak ada artinya sama sekali. Dengan latar belakang inilah kita akan membahas pengalaman Allah dalam dirinya yang dituangkan dalam pelbagai macam bentuk.


Pengalaman cinta sebagai dasar askesis

Dalam sejarah Yohanes Salib dikenal sebagai seorang tokoh besar yang di satu pihak dikagumi orang, tetapi di lain pihak  sering kali disalah-tafsirkan orang, khususnya bila orang membaca karya-karyanya secara tidak lengkap. Di satu pihak orang melihat dia sebagai mistikus besar, tetapi sebaliknya mungkin orang juga melihat dia sebagai seorang asket yang tidak kenal ampun, dengan tuntutan yang sangat keras. Dapat kita lihat bahwa ungkapan-ungkapan mistiknya melukiskan keindahan pertemuan manusia dengan Allah, sehingga mudah sekali menawan hati seseorang yang telah tersentuh oleh kasih Allah. Namun dari pihak lain tuntutan askesisnya yang radikal itu seringkali membuat orang menjadi takut dan mundur kembali, bahkan banyak juga orang yang mengikuti petunjuknya secara keliru karena tidak mengerti semangatnya, sehingga mengikuti semuanya itu secara harafiah. Apa yang oleh Yohanes dilakukan seolah-olah sambil bermain, artinya dilakukan tanpa kekerasan namun terdorong oleh cinta, bagi orang lain yang kurang mengerti semua itu dilakukan dengan kekuatan kehendak, sehingga dapat  menyebabkannya patah semangat.

Kalau kita mau mengerti karyanya, kita harus sadar bahwa semua karyanya ditulis setelah ia mencapai puncak persatuan dengan Allah, dan dari sanalah ia melihat kembali ke bawah serta menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk dapat mencapai puncak tersebut. Hal ini nyata dalam puisinya yang mendasari uraian tentang Mendaki Gunung Karmel, karyanya yang paling asketis:


                  Pada suatu malam yang gelap terbakar kerinduan cinta yang membara,
                                            ah, rahmat yang tak terperikan!

                         Aku keluar tanpa diketahui, sedang rumahku sudah hening,

Terbakar cinta yang membara, itulah kunci untuk mengerti seluruh rencana perjalanan ini, karena memang hidup rohani adalah suatu perjalanan. Hal ini juga ditandaskannya ketika ia mulai menguraikan bait pertama dari syairnya itu: "Dalam bait ini jiwa mau menguraikan secara singkat, bahwa ia telah berangkat pada malam hari, tertarik oleh Allah dan terbakar oleh cinta kepada-Nya saja.” (Mendaki Gunung Karmel I.1.4)

Di sini kita jumpai seseorang yang telah menemukan suatu mutiara berharga dan karenanya dengan senang hati mau menjual segala sesuatu untuk membeli mutiara itu. Yohanes mau menunjukkan kepada mereka yang membacanya, bahwa apa yang ingin dicapai itu sungguh suatu mutiara yang tak ternilai harganya dan karenanya segala sesuatu perlu dilepaskan untuk dapat membeli mutiara tersebut. Karena dia melihat betapa luhur dan mulia tujuan yang akan dicapai itu, maka ia juga minta supaya semua dilepaskan demi tujuan yang luhur tersebut. Dengan segala macam cara ia berusaha meyakinkan orang bahwa nilai Allah jauh melampaui segala ciptaan apa pun, maka semuanya itu harus dilepaskan demi Allah, demi tujuan yang mau dicapainya:

"Semua makhluk dibandingkan dengan Allah bukan apa-apa dan kelekatan orang padanya merupakan halangan baginya untuk dapat diubah ke dalam Tuhan." (Mendaki Gunung Karmel I.4.3.)

Memang, untuk dapat melepaskan segala sesuatu demi Tuhan dan demi tujuan hidupnya dibutuhkan cinta yang nyata kepada Tuhan. Tuhan harus merupakan suatu daya tarik yang lebih kuat baginya daripada segala perkara yang lain. Hanya bila daya tarik Tuhan lebih kuat, ia dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan lain. Daya tarik Tuhan ini menjadi nyata dalam dirinya karena pengalamannya akan Tuhan, ia mengalami bahwa cinta Allah sungguh melampaui segala pengertian dan kemanisannya lebih kuat daripada segala kemanisan di dunia ini. Tanpa pengalaman cinta Allah ini segala usaha untuk melepaskan diri dari ikatan ciptaan tidaklah mungkin.

Usaha untuk melepaskan diri dari ciptaan ini bukan karena pandangan yang negatif terhadap ciptaan, melainkan karena kesadaran akan keterbatasannya dan juga akan realitas dosa yang menjadikan hubungan manusia dengan ciptaan Allah sudah tidak benar lagi. Karena akibat dosa dalam diri manusia, ia cenderung untuk memiliki ciptaan secara tidak teratur dan inilah yang dikenal sebagai kelekatan hati manusia. Akhirnya pada puncak perjalanannya, manusia akan memperoleh semua itu kembali dengan hati yang bebas, tanpa gangguan untuk hubungannya dengan Allah. Bila dalam perjalanan ia selalu menuntut agar supaya orang melepaskan segala sesuatu demi mencapai tujuan itu, pandangannya sesungguhnya amat positif. Ia melepaskan yang kurang untuk mencapai yang lebih, melepaskan yang terbatas untuk mencapai yang tidak terbatas. Bila jalan ke puncak itu digambarkan sebagai jalan kekosongan "nada, nada, nada", atau kosong, kosong, kosong, itu bukan lain karena dia melihat "todo" segalanya, kepenuhan pada akhir perjalanan, bahkan sudah di tengah jalan orang mengalami kesegaran dan kekayaan yang dijanjikan itu. Kemudian di puncak semuanya akan dikembalikan dengan berlipat ganda.

Dia melukiskan dua jalan yang biasa ditempuh orang yang kurang sempurna, yang satu ingin mencari Allah sambil menikmati: barang-barang duniawi, milik, sukacita, pengetahuan, hiburan, istirahat. Yang lain ingin mencari Allah melalui jalan penghiburan rohani: barang-barang rohani, kemuliaan, sukacita, pengetahuan, penghiburan, istirahat.  Kemudian ia menunjukkan bahwa bukan jalan itu yang membawa kepada tujuan: bukan ini, bukan itu, semua harus dilepaskan. Yang dimaksud tentunya ialah kelekatan akan hal-hal itu, tetapi juga karena kesadaran akan keterbatasan semua perkara itu. Pada puncak semuanya akan kembali; namun kini dengan kelepasan yang besar sehingga tidak akan mengganggu hubungannya dengan Tuhan: “Karena aku sudah tidak menginginkannya, aku memiliki semua itu tanpa keinginan”. Di atas puncak di mana sudah tidak ada keinginan yang berlawanan dengan kehendak Tuhan, akan dijumpai segala kebaikan: damai, sukacita, kebahagiaan, kesenangan, kebijaksanaan, keadilan, kekuatan, cinta kasih, kesalehan.


Terbakar oleh cinta Allah

Dalam karyanya yang berjudul Madah Rohani, Santo Yohanes melukiskan perjalanan seseorang yang jatuh cinta pada Allah sejak permulaan sampai pada puncaknya. Seluruh karyanya itu ditulis dalam suatu pengalaman cinta yang kuat sekali sehingga hanya dapat dimengerti dari segi cinta pula. Pengalaman cinta ini begitu luhurnya, sehingga tidak mungkin diungkapkan dalam bahasa manusia, dalam kata-kata dan gagasan yang tepat. Karena itu Santo Yohanes lebih memilih menggunakan bahasa simbol, lambang, daripada konsep-konsep yang amat terbatas itu. Seluruh pengalamannya dituangkan dalam bentuk puisi dan kemudian atas permintaan orang lain, ditulisnya pula komentar tentang  puisi-puisi tersebut.

Bila cinta Allah mulai menguasai diri seseorang, ia tidak bisa istirahat sebelum bersatu dengan cinta itu. Dengan segala usaha ia akan mencarinya ke mana-mana sambil menerjang segala rintangan dan bahaya. Kerinduan yang besar akan Sang Kekasih itulah yang menyebabkan dia "merana" dan karenanya juga dengan seribu satu macam usaha mau bertemu kembali dengan Dia yang telah melukai hatinya.
                     

Ke manakah Engkau bersembunyi, hai Kekasih,

serta meninggalkan aku mengeluh dan mengaduh?

Engkau lari bagaikan seekor rusa setelah melukai aku;

Aku keluar memanggil-Mu, namun Engkau telah pergi.

(Madah Rohani bait 1)

Dalam perjalanan hidup menuju Tuhan pada suatu tahap tertentu orang akan terluka oleh cinta ini dan pada saat itu dia tidak akan bisa diam. Dengan segala usaha dia mau mencari Kekasihnya itu tanpa mau diganggu. Pada jiwa-jiwa yang kontemplatif hal itu akan menariknya ke dalam kesunyian yang lebih besar, seperti yang dialami oleh Yohanes Salib sendiri. Setelah menjadi imam, ia ingin pindah ke pertapaan rahib Kartusian, di mana terdapat kesunyian yang lebih besar lagi. Tujuannya hanya satu agar ia tidak terganggu dalam hubungannya dengan Allah, supaya seutuhnya membaktikan diri bagi Sang Cinta, sebab dalam kesunyian itulah Allah berkarya dalam dirinya secara istimewa:

"Sedikit dari apa yang dikerjakan Allah dalam jiwa itu pada saat ia berada dalam keheningan dan kesunyian, sudah merupakan sesuatu yang amat berharga, sering kali jauh lebih besar daripada yang dapat dilihat atau dibayangkan jiwa itu atau orang yang membimbingnya. Biarpun pada saat itu orang tidak melihatnya, pada waktunya hal itu akan menjadi jelas. Sekurang-kurangnya jiwa itu akan merasa asing dan sunyi, kadang-kadang lebih, kadang-kadang kurang, terhadap segala perkara. Pada waktu yang sama ia tertarik kepada kesunyian bersamaan dengan rasa segan terhadap segala ciptaan. Ini terjadi dalam suatu penghirupan halus dari cinta dan hidup di dalam roh." (Nyala Cinta III.39)

Kesunyian batin ini perlu sekali untuk kontemplasi, yang berarti kosong dari segala kelekatan akan ciptaan, juga akan gagasan dan ide-ide (Madah Rohani 16,10). Karena kesunyian batin ini maka jiwa memperoleh kebebasan batin yang sejati, yang begitu berharga untuk mencapai tujuan hidupnya, seperti yang diungkapkan Sang Mempelai laki-laki:
                            

Dalam kesunyianlah ia tinggal;

dalam kesunyianlah ia membuat sarangnya:

dalam kesunyian itu ia dibimbing oleh Sang Kekasih sendiri,

hanya Dia, yang juga terluka cinta dalam kesunyian.”

(Madah Rohani bait 35)

Kemudian dalam komentarnya atas bait ini dikatakan demikian: Dalam bait ini Sang Mempelai laki-laki mau menyatakan dua hal yaitu pertama-tama Ia memuji kesunyian, di mana jiwa itu sudah mau tinggal. “Ia melakukannya dengan menceritakan, bagaimana kesunyian itu merupakan sarana yang menyebabkan dia menemukan Sang Kekasih dan bersukaria dengan Dia, jauh dari segala kekuatiran dan beban masa lampau. Ia telah memilih tinggal dalam kesunyian, jauh dari segala kenikmatan, hiburan dan bantuan dari pihak ciptaan, supaya sampai kepada persatuan dengan Sang Kekasih. Karena itu layaklah ia memiliki damai yang dijumpai dalam kesunyian di dalam Sang Kekasih. Dalam Dia ia beristirahat jauh dari segala kerisauan.”

Kedua dikatakannya, “Bahwa Dia telah jatuh cinta kepadanya justru karena demi Dia jiwa itu telah rela tinggal sendirian, jauh dari segala ciptaan: karena itu Dia yang memperhatikannya, merangkulnya dalam pelukan-Nya, menghangatkannya dalam diri-Nya dan membawanya kepada perkara-perkara Allah yang amat luhur. Tidak hanya dikatakan-Nya, bahwa sekarang ini Dia menjadi pembimbingnya, tetapi bahwa Dia sendiri menuntunnya, tanpa perantara, tanpa malaikat, tanpa manusia, tanpa bentuk, tanpa bayangan. Ini dilakukannya justru karena ia memiliki kebebasan rohani yang telah diperolehnya karena kesunyian, dan karena ia tidak melekat pada salah satu penghubung itu." (Madah Rohani 35,2)

Oleh karena itu Santo Yohanes dengan tegas mengatakan, bahwa dalam perjalanan kepada Allah orang harus melewati jalan iman, harapan dan cinta kasih. Segala bentuk pernyataan, seperti visiun atau penglihatan, baik yang jasmani maupun yang ada dalam fantasi, tidak dapat merupakan sarana langsung untuk persatuan dengan Tuhan, seperti yang diungkapkan dalam Mendaki Gunung Karmel, buku II dan III.

Bila jiwa itu setia dan selalu tinggal dalam kesunyian hatinya, Sang Mempelai sendiri akan berkarya secara langsung dalam dirinya tanpa memakai perantara dan di sinilah kita sudah menyentuh daerah persatuan yang mesra dengan Tuhan.

Persatuan Cinta kasih dengan Allah, tujuan hidup kita

Tujuan seluruh askesis tak lain adalah mempersiapkan diri untuk persatuan dengan Allah dalam suatu persatuan yang akan mengubah jiwa seluruhnya. Inilah yang disebut dengan istilah unio transformans, persatuan yang menjadikan manusia serupa dengan Allah, yang menjadikan dia memiliki sifat-sifat Allah. Persatuan ini juga dikenal dengan istilah perkawinan rohani, yang isinya amat padat. Bila pada tahap-tahap sebelumnya Allah menyatakan diri melalui pelbagai macam perantara, seperti pengajaran orang lain, bacaan, pengalaman-pengalaman rohani yang bisa dirasakan, visiun dalam pelbagai macam bentuknya, seperti misalnya melihat penampakan Tuhan Yesus, Bunda Maria, para kudus, atau mendengar suara yang berbicara kepadanya, mencium bau harum semerbak, dan lain-lain, di sini Allah menyentuhnya secara langsung dalam rohnya. Allah tidak lagi memakai perantaraan pancaindera, fantasi, perasaan, pikiran, melainkan langsung mengadakan komunikasi dari Roh kepada roh. Karena itu "pengalaman" ini sungguh-sungguh merupakan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan, karena mengatasi segala bayangan, gagasan dan konsep-konsep. Karena itu untuk mencapai pengalaman terdalam ini, orang harus meninggalkan segala bentuk pengalaman yang lebih rendah, tidak boleh lekat padanya dan tidak boleh mencarinya dengan sengaja.
Dalam persatuan yang terdalam ini Allah melakukan segalanya sendiri, karena tak ada makhluk lain yang mampu melakukannya dan segala usaha dari pihak manusia tak ada artinya dalam hal ini. Jika pada tahap-tahap sebelumnya jiwa harus berjuang banyak sekali melepaskan diri dari segala ikatan, pada tahap ini dia tinggal menikmati saja:
"Bila jiwa mencapai puncak kesempurnaan serta kebebasan rohani dalam Allah dan bila segala halangan dan rintangan dari pihak pancaindera sudah disingkirkan, maka tidak ada apa-apa lagi yang perlu diperhatikannya, maka juga tidak perlu ada latihan-latihan lagi baginya. Tugasnya hanya menyerahkan diri pada segala kenikmatan dan kesukaan yang mendalam dari cinta mesra Sang Mempelai.” (Madah Rohani 36.1)

Persatuan ini merupakan suatu persatuan yang penuh kebahagiaan, kemuliaan, kekayaan serta pendalaman misteri Sang Kekasih, seperti diungkapkan dalam bait yang berikut ini: "Marilah kita saling menikmati, Kekasih, saling memandang dalam keindahan-Mu, gunung dan bukit; Di sanalah mengalir air yang jernih; Marilah kita masuk lebih dalam ke dalam hutan." (Madah Rohani 36)

Dalam komentarnya, Santo Yohanes mengatakan demikian: “Karena sekarang ini telah tercapai persatuan yang sempurna antara jiwa dan Allah, maka jiwa mau menyerahkan diri seluruhnya pada apa yang sesuai dengan cinta kasih. Karena itu dalam bait ini dia berbicara lagi dengan Sang Mempelai Laki-laki dan dia mohon tiga hal dari-Nya yang menjadi khas cinta.

Pertama, dia mau menerima kegembiraan dan kemanisan cinta. Inilah yang dimintanya ketika ia berkata marilah kita saling menikmati, Kekasih.

Kedua, ia ingin serupa dengan Sang Kekasih. Inilah yang dimintanya ketika ia berkata saling memandang dalam keindahan-Mu.

        Ketiga, ia mau menyelidiki dan mengenal perkara dan rahasia Sang Kekasih. Ini dimintanya ketika ia berkata marilah kita masuk lebih dalam ke dalam hutan.

Dalam hal ini gunung menunjukkan pengenalan akan hakikat Allah di dalam Sang Sabda. Pengenalan ini begitu luhurnya, maka disebut dengan istilah "gunung". Bukit merupakan pengenalan Allah melalui ciptaan-Nya. Ini merupakan suatu pengenalan yang tidak begitu luhur dan karena itu disebut dengan istilah "bukit". Persatuan itu kadang-kadang begitu hebatnya, sehingga orang rindu untuk dibebaskan dari hidup ini supaya dapat memandang Sang Kekasih dari muka ke muka. Dalam Nyala Cinta hal itu diungkapkan dalam bait sebagai berikut:

"O Nyala Cinta yang hidup yang melukai jiwaku dengan lembut, dan pusatnya yang terdalam. Karena sekarang Engkau tidak lagi menggetarkan, selesaikanlah sekarang, bila itu kehendak-Mu! Robeklah selubung pertemuan yang manis ini.” (Nyala Cinta bait 11)

Ungkapan 'robeklah selubung pertemuan yang manis ini' menunjukkan kerinduan besar jiwa itu untuk bertemu dengan Allah tanpa selubung lagi. Hal ini timbul dalam dirinya karena Allah telah menyentuhnya secara mendalam dan meresapinya dengan Roh Kudus. Pernyataan-pernyataan Roh Kudus itu begitu hebatnya pada pertemuan semacam ini. Dan karena pada pertemuan semacam ini jiwa menikmati Allah secara luar biasa, maka pertemuan itu disebutnya manis. Banyak sekali pernyataan dan sentuhan yang dialami jiwa dalam keadaan ini, namun pernyataan dan sentuhan Roh Kudus dalam hal ini begitu hebatnya dan jauh melebihi segala yang lain, sehingga menimbulkan kerinduan yang besar. Ini dilakukan Allah untuk membebaskannya dan untuk segera memuliakannya. Karena itu jiwa  pun memperoleh keberanian untuk mohon kepada Allah supaya ia dilepaskan dari dunia fana ini dan bersatu secara sempurna dengan Sang Kekasih.

Seluruh hidupnya dikuasai oleh cinta, sehingga apa pun yang dilakukannya dijiwai pula oleh Cinta yang bukan lain daripada Roh Kudus sendiri. Oleh karena itu dalam keadaan seperti ini Santo Yohanes Salib berani berkata, bahwa pada puncak gunung sudah tidak ada jalan lagi, sebab bagi orang yang benar tidak ada hukum lagi, dia telah menjadi hukum bagi dirinya sendiri. Ia begitu dikuasai Cinta, sehingga ia tidak membutuhkan petunjuk lain lagi di luar dirinya, sebab Cinta itu menjadi pembimbingnya.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting