User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Abad XX dan XXI ditandai dengan adanya ketertarikan besar kepada mistisisme. Banyak orang kembali tertarik untuk mencari keheningan lewat meditasi dan ziarah-ziarah alam. Mereka mencari sesuatu yang lebih dalam, suatu “misteri besar” yang menyelubungi alam semesta.

Ketertarikan akan mistik diawali oleh kekaguman manusia atas ciptaan. Di balik segala keteraturan alam semesta ini, pasti ada “MAKHLUK” yang mengaturnya. Orang Hindu mengenalnya sebagai “Realitas Mutlak — Brahman”, orang Budha mungkin menyebutnya sebagai “Kesadaran Tertinggi”, sementara orang Kristiani menyebutnya dengan sebutan sederhana “Abba, Bapa, Papa” (Rm 8:15; Gal 4:6).

Masalahnya, tidaklah mudah untuk masuk ke dalam jalan mistik. Memasuki jalan mistik dapat diumpamakan seperti menempuh perjalanan menyeberangi hutan lebat di tengah malam gelap gulita. Hanya orang-orang yang tidak bijaksana yang nekad melakukannya tanpa bekal, rekan seperjalanan, dan penerangan. Sayangnya, dalam kenyataan justru banyak orang yang melakukan hal seperti itu. Akhirnya dapat kita duga dengan mudah bahwa mereka terjerumus ke dalam praktik-praktik sesat, yang kita kenal dengan perdukunan atau shamanisme, sihir, bahkan ada yang sampai tersesat jauh ke dalam praktik okultisme.

Sebenarnya mistik itu sendiri berasal dari kata Yunani, mysterion, yang berarti “yang rahasia/tersembunyi”. Dalam pengertian kristiani, kata itu hanya digunakan dalam kaitannya dengan Yang Ilahi, yakni Allah sendiri yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata atau ungkapan-ungkapan apa pun (bdk. 1Tim 6:16) Ia tetap tersembunyi, namun sekaligus nyata bagi mereka yang mencari Dia.

Mistik Kristiani merupakan usaha untuk “mencari Allah” (bdk. Ayb 5:8; Mzm 69:33), untuk “melihat Allah” (Mzm 42:3). Manusia begitu rindu akan Tuhan karena sebelumnya ia telah mengalami kasih-Nya yang mengatasi segala pengertian. Atau mengalami apa yang dilukiskan salah seorang mistikus, “Allah telah melukai hatiku dengan panah cintakasih-Nya. Hanya perjumpaan dengan-Nyalah yang dapat meredakan sakitku.”

Manusia mencari Allah karena memang Allah rindu untuk ditemukan (bdk. Yes 65:1). Justru Ia lebih rindu untuk berjumpa dengan manusia. Bukan perjumpaan sambil lewat, melainkan perjumpaan dari muka ke muka. Saat tidak ada orang lain atau peristiwa lain yang mengganggu pertemuan itu, “TUHAN memandang ke bawah dari sorga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah” (Mzm 14:2). Memang, Allahlah yang terlebih dahulu memanggil dan mengasihi kita (bdk. 1Yoh 4:19).

Karena kerinduan-Nya itu pula, Ia mengutus Putra-Nya sebagai saksi, pengantara, sekaligus teladan cintakasih. Ia mengerti bahwa setelah jatuh ke dalam dosa, manusia tidak sanggup lagi kembali kepada keadaan awalnya (bdk. Rm 3:11). Yesus datang dan akhirnya dengan salib Ia memulihkan kembali hubungan manusia dengan Allah.

Yesus adalah mistikus utama dan terbesar. Seluruh hidup-Nya ditandai dengan relasi yang mendalam dengan Bapa-Nya. Setelah dibaptis, dalam Roh Yesus pergi menyendiri ke padang gurun, mempersiapkan diri untuk misi-Nya (Mrk 1:12-13). Dalam sela-sela pelayanan-Nya yang super sibuk, Ia tidak pernah lupa untuk kembali menimba kekuatan dari relasi-Nya dengan Bapa-Nya. Dalam Kitab Suci kerap kali dikatakan bahwa Yesus meluangkan waktu pergi ke tempat yang sunyi untuk berada sendirian dengan Bapa-Nya (bdk. Mrk 7:33; Luk 5:16). Tidak ada yang meragukan kedalaman relasi Yesus dengan Bapa-Nya saat membaca doa-Nya dalam kesempatan Perjamuan Terakhir (Yoh 17). Dalam ketakutan yang besar, Ia berdoa di Taman Getsemani dan akhirnya berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Di salib pun Yesus berdoa dari kedalaman lubuk hati-Nya, “Eloi, Eloi, lama sabachtani.” Akhirnya, kata-kata terakhir Tuhan pun adalah doa, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan Roh-Ku” (Luk 23:46).

Dewasa ini pun begitu banyak orang Kristen yang rindu untuk mencari Allah, atau istilah lainnya mengalami Allah, mengalami kasih-Nya yang nyata dalam kehidupan. Kerinduan itu wajar karena memang setiap orang terpanggil untuk menjadi mistikus/mistika. Dari paragraf-paragraf di atas telah tersirat kebenaran bahwa setiap manusia memang sejak semula ditentukan untuk menjalin hubungan mesra dengan Tuhan. Itulah tujuan hidup mistik yang sebenarnya. Dan hebatnya, hubungan tersebut bisa dialami bahkan sudah di dunia ini. Yesus dan para kudus telah menunjukkan hal itu. Bahkan dalam pengertiannya yang paling tegas, jalan kristiani adalah jalan mistik, jalan persatuan dengan ketiga Pribadi Ilahi. Tanpa persatuan dengan Kristus, kita akan dibuang (bdk. Yoh 15:6).

Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi mistikus/mistika. Namun, masalahnya sekarang jalan mistik kristiani pun tidaklah mudah. Sebagai jalan mistik, ia juga gelap. Penuh dengan bahaya. Seseorang perlu bijaksana dan benar-benar mempersiapkan diri sebelum memasuki jalan ini, “sebab Iblis pun menyamar sebagai malaikat Terang” (1Kor 11:14). Kita perlu mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah, karena “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef 6:12).

Untuk memasuki jalan mistik kita perlu bekal atau istilah Paulus “perlengkapan senjata Allah”. Sayang, pada kesempatan ini tidak mungkin kita membahas semuanya satu-persatu. Saya sebutkan yang terpenting saja, yakni iman (perisai iman). Dengan iman kita dapat mematahkan semua serangan musuh kita. Iman itu jugalah yang berfungsi sebagai suluh penerang perjalanan. Tanpa iman itu, maka untuk berjalan dalam kegelapan kita tidak mungkin sampai di tujuan. Musuh-musuh kita akan dengan segera menemukan dan menelan kita yang tidak waspada.

Perlengkapan yang disebutkan di atas itu saja tidak cukup. Musuh-musuh kita terlalu banyak dan kuat untuk dihadapi sendirian. Kita juga memerlukan rekan-rekan seperjuangan dan seperjalanan. Paulus juga menegaskan pentingnya dukungan orang lain dalam perjalanan rohani. Ia meminta kita untuk berjaga-jaga di dalam doa dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus (Ef 6:18). Mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dan tahu mengatasi persoalan-persoalan yang akan datang. Mereka adalah sahabat-sahabat dan pembimbing-pembimbing rohani kita.

Syarat-syarat pembimbing rohani adalah sehat, berpengetahuan, dan berpengalaman. Sehat dalam arti rohani dan jasmani. Berpengetahuan dalam arti pengetahuan teologi, khususnya teologi hidup rohani, yang benar. Berpengalaman — ini yang paling penting — dalam arti dia sendiri adalah mistikus/mistika, orang yang dekat dengan Allah. Jangan segan-segan untuk mencari bantuan doa maupun nasihat dari mereka.

Kita sendiri tentu perlu berdoa. Doa itulah yang merupakan sarana sekaligus tujuan hidup mistik sebab doa adalah relasi mesra dengan Tuhan sendiri. Ketika Yesus meminta para murid-Nya untuk berjaga-jaga, yang Ia maksudkan adalah berjaga-jaga dalam doa, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mrk 14:38). Hanya dengan berdoalah, yang notabene adalah bersandar pada kekuatan Allah, kita dapat bertahan dalam segala pencobaan, bahkan akan tetap setia ketika saat itu datang (bdk. Mrk 13:33-34; Mat 24:42; Why 16:15).

Dalam jalan mistik, ketika seseorang semakin hari semakin dalam mempersatukan dirinya dengan Allah dalam doa, Allah juga akan mengubahnya sedikit demi sedikit menjadi semakin serupa dengan keadaan awal manusia sebagai citra Allah. Dengan itu, manusia tersebut akan semakin serupa dengan Allah, yakni semakin nyata cintakasihnya, baik kepada Allah maupun kepada manusia. Di sinilah manusia menjadi semakin kecil, sedangkan Allah menjadi semakin besar di dalam jiwa. Sampai akhirnya, jiwa melebur tanpa kehilangan dirinya di dalam Allah, seperti kayu api yang terbakar akhirnya menjadi api itu sendiri. Api yang adalah cintakasih; yang menyembuhkan, bukan menyakiti; yang memurnikan, bukan menghanguskan; yang menyelamatkan, bukan membinasakan.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting