User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 
Percakapan ini hanyalah fiktif belaka, hanya suatu cara untuk menceritakan kembali riwayat hidup dan teladan yang diberikan oleh Paus Yohanes XXIII. Alfredo Roncalli, Saverio dan Assunta merupakan saudara kandung Angelo Roncalli yang kemudian kita kenal sebagai Paus Yohanes XXIII; sedangkan Roberto yang berumur 7 tahun hanyalah seorang tokoh fiktif.

Aku merasa badanku lelah sekali dan aku masih mengantuk, tetapi sayup-sayup aku mendengar suara kekek. Aku mulai terbangun dan kulihat kakekku Alfredo sedang asyik duduk di ruang tamu sambil berbicara dengan Saverio saudaranya. Rupanya aku tertidur cukup lama di ruang tamu, mungkin karena terlalu lelah. Aku mulai bangun dan duduk di pangkuan Alfredo.

Kudengar mereka sedang membicarakan kenangan akan Angelo Roncalli yang dikenal sebagai Paus Yohanes XXIII. Aku tertarik mendengarkan percakapan mereka dan ingin tahu lebih banyak tentang pribadi Yohanes XXIII, yang juga termasuk kakekku.

“Alfredo, aku merasa sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan Paus Yohanes XXIII,” Saverio membuka percakapan.
“Ya.....aku juga bangga dengannya. Kita beruntung hidup dan dibesarkan di rumah ini bersama dengannya,” sahut Alfredo dengan bangganya.
“Kek, ceritakan tentang beliau, donk. Aku mau tahu lebih banyak lagi!" pintaku kepada kakekku, Alfredo.
“Baik..tetapi ambilkan dulu sedikit anggur untuk kakek, nanti kakek akan cerita,” katanya kepadaku.

Baru saja aku hendak berdiri, kulihat seorang wanita tua datang membawakan secangkir kecil anggur untuk kakek. Assunta, nama wanita tersebut. Ia adalah kakak Alfredo dan keduanya merupakan saudara kandung Angelo yang baru saja meninggal dunia. Nenek Assunta kemudian duduk di kursi berseberangan dengan tempat duduk kakek. Tidak tampak adanya kedukaan pada kerut-kerut wajahnya.

“Kami adalah sepuluh bersaudara. Angelo Roncalli adalah anak ketiga. Yang pertama Teresa, kemudian Ancilla lalu Angelo. Selain itu ada empat anak laki-laki lagi: Saverio, saya sendiri, Giovanni, dan Giusepe sedangkan yang perempuan Maria, Assunta dan Enrica. Jadi kami semuanya ada 10 orang,” kata kakek. “Ia lahir tanggal 25 November 1881 dan langsung dipermandikan, ayahnya bernama Giovanni Batistuta dan ibunya Marianna Roncalli” kata Assunta manyambung ucapan Alfredo.

“Saya tidak ingat dengan pasti, tetapi rasanya ia juga dilahirkan di rumah ini?" tanya Saverio
“Tidak, ia tidak dilahirkan di rumah ini, ia dilahirkan di Brucia di daerah Sotto el Monte; baru kemudian kita semua pindah ke pertanian Colombra ini,” jawab Alfredo
“Roberto, kamu harus mencontoh kekekmu itu. Ia itu anak yang pintar, waktu ia seumurmu ia sudah menerima beasiswa untuk studinya. Aku ingat bagaimana ia harus menempuh jarak 5 mil ke sekolahnya. Walaupun demikian ia tetap menjalaninya dengan penuh semangat,” kata Assunta kepadaku.
“Baik nek, aku mau menjadi seperti kakek Angelo. Oh ya nek, kapan Angelo kecil mempunyai cita-cita menjadi Paus?” tanyaku

Kakek tampak tersenyum mendengar pertanyaanku itu, “Roberto, menjadi Paus itu bukanlah tugas yang ringan dan kakekmu tidak pernah menginginkan jabatan itu. Dipilihnya kakek Angelo menjadi Paus merupakan berkat yang diterimanya dari Allah. Ia memang mempunyai cita-cita, tetapi cita-citanya hanyalah untuk menjadi seorang imam yang bertugas di suatu paroki kecil, bukan untuk menjadi Paus. Untuk mencapai cita–citanya itu, ia masuk seminari di Bergamo. Pater Rebuzini banyak membantunya untuk mencapai cita-cita itu, beliau jugalah yang telah mempermandikannya.”
Kemudian Assunta menyambung, “Ya.. aku ingat waktu itu umurnya 14 tahun, ia seorang yang bersemangat dan terkenal lucu, bahkan ketika menghadapi pelajaran-pelajaran berat ia tidak kehilangan rasa humornya. Pernah satu kali, kami semua dibuat tertawa terpingkal-pingkal sampai air mataku keluar dan perutku sakit. Ia benar-benar seorang yang menyenangkan, juga baik hati dan suka menolong.”

“Suatu kali ia bercerita kepadaku betapa senangnya ia karena dapat mengenal tulisan-tulisan Filipus Neri dan Cesare Baronius, bahkan ia mengikuti mottonya Baronius ‘Ketaatan dan Perdamaian’. Ia sangat menyenangi pelajaran Sejarah. Dalam pelajaran lain pun ia tidak ketinggalan. Bahkan ia salah satu dari 7 orang dari Bergamo yang dipilih untuk menyelesaikan seminarinya di Roma,” Saverio menyambung ucapan Assunta.

Sambil meneguk anggurnya Alfredo menyambung. “Waktu ia masih studi di Roma, Paus Leo XIII meninggal dunia, kemudian diganti oleh Paus Pius X. Aku ingat kejadian itu karena tidak lama setelah Paus yang baru terpilih, Angelo ditahbiskan menjadi imam. Kita bersama-sama datang pada saat ia mempersembahkan misanya yang pertama di Basilika St. Petrus dan Paus Pius X memberkatinya.” Sejenak Assunta kelihatan tercenung mengingat peristiwa itu.

“Pada hari raya Bunda Maria diangkat ke Surga ia kembali ke sini untuk mempersembahkan misanya yang pertama di Bergamo ini. Kemudian tugas baru menantinya. Segera ia diangkat menjadi pembantu Uskup di sini, membantu Uskup Radini-Tedeschi yang dipilih Paus Pius X. Mereka berdua pasangan yang berbeda sekali. Monsignor Radini orangnya tinggi dan berwibawa, sangat tampan dan berlatar belakang Aristokrat. Sedangkan Angelo itu pendek dan gemuk. Akan tetapi, raut wajah Angelo menarik apalagi ia pandai melucu dan ramah. Monsignor Radini dan Angelo segera menjadi akrab dan dapat bekerja sama dengan baik. Mereka itu kelihatannya seperti bapak dan anak.”

“Sejak saat itu ia mempunyai tugas yang berat, waktu itu banyak terjadi pertentangan di dalam negeri. Apalagi zaman industrialisasi baru saja dimulai, banyak pabrik-pabrik didirikan. Semuanya itu menimbulkan berbagai macam kerusuhan, pertentangan antara kaum kapitalis dengan para pekerja. Angelo sebagai imam muda harus membantu bapa Uskup menolong para kaum buruh yang mogok kerja. Ia harus mendampingi dan selalu bersama mereka dan masih banyak lagi kesibukan-kesibukan yang dilakukannya," kata Alfredo melanjutkan ceritanya.

Alfredo menghela nafas sebentar kemudian menghabiskan anggurnya. "Ya, ia harus mengadakan banyak perjalanan. Ia pergi ke tempat-tempat suci untuk memimpin dan mengawasi para peziarah. Beberapa kali ia pergi ke Lourdes, juga ke Ars tempat Yohanes Maria Vianney yang suci itu. Bahkan ia telah mengunjungi Spanyol, Jerman, Austria, Hongaria, Polandia dan beberapa negara lain."

“Aku ingat, waktu meletus perang dunia I, kakekmu banyak membantu di ketentaraan, bertugas sebagai pastor tentara. Ia mengunjungi orang-orang yang terluka, merawat mereka, dan menjaga kerohanian mereka. Angelo sungguh-sungguh membuatku bangga, dengan sepenuh hati, sabar, dan penuh simpati ia melayani mereka semua. Padahal seperti yang dikatakannya kepadaku, ia telah muak dengan semua peperangan itu. Banyak korban berjatuhan, orang-orang tak berdosa harus mengalami penderitaan. Rasanya ia ingin menghentikan peperangan itu kalau ia dapat!" Saverio menyambung pembicaraan.

"Saverio, sebelum peristiwa itu, ada satu kejadian penting yang terjadi" kata Assunta menyela pembicaraan Saverio. "Pada tahun 1914, ada dua orang yang sangat disayanginya meninggal dunia. Uskup Radini atasannya yang telah menderita sakit begitu lama akhirnya meninggal dunia. Akan tetapi, sebelumnya Paus Pius X yang terkenal suci itu juga telah meninggal dunia terlebih dahulu," Assunta melanjutkan penjelasannya.

"Benar, aku ingat kejadian itu," kata Alfredo. "Kedua orang itu sangat dikasihi olehnya, sehingga pada waktu itu, ia merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Ia begitu kehilangan guru yang telah banyak mengajarnya. Itulah sebabnya ia menulis sebuah buku tentang hidup Uskup Radini."

"Assunta, ingatkah kamu, sampai kapan ia bertugas di ketentaraan?” tanya Alfredo, menyambung pembicaraannya.

“Ya aku ingat. Selama 4 tahun ia bertugas sebagai pastor tentara, dari tahun 1914 sampai tahun 1918. Pada tahun 1918 ia mulai membimbing para mahasiswa dalam studi mereka. Banyak yang merasa senang akan bimbingannya, memang Angelo itu orang yang pintar. Tak lama bertugas sebagai pembimbing mahasiswa, ia mendapat suatu tugas baru yang berat. Oleh Paus Benediktus, ia diangkat menjadi pejabat Konggregasi Penyebaran Iman. Untuk itu ia mendapat gelar kehormatan Monsignor. Di bawah pimpinan Roma Angelo bertugas untuk kelompok-kelompok yang berkarya dalam bidang penyebaran iman. Waktu itu banyak sekali bermunculan kelompok-kelompok yang ingin memberitakan Sabda Allah kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya. Ini suatu tugas yang berat baginya. Meskipun demikian, Angelo Roncalli tidak pernah kehilangan rasa humornya; inilah yang membuat tugasnya berhasil. Di tengah-tengah tugasnya ini ia mendapat tugas baru lagi dari Paus Pius XI yang menggantikan Paus Benediktus untuk mengurus pameran besar tentang misi. Semua tugas itu membuatnya sibuk dan tetap bergembira. Walaupun begitu, ia masih merasa belum bekerja keras untuk Tuhan," Assunta dengan penuh semangat menceritakan semuanya itu.

“Pekerjaannya tersebut menuntut Angelo untuk berkeliling ke banyak negara, terutama negara-negara Eropa. Akan tetapi, itu hanya sampai musim panas 1925,” lanjut Saverio.
“Ya, setelah itu ia ditahbiskan menjadi Uskup dan ditugaskan menjadi Visitor Apostolik Bulgaria, suatu tugas yang tidak mudah,” Assunta menyambung pembicaraan Saverio.

“Assunta tahukah kamu keadaan Bulgaria? Penduduk Bulgaria itu mayoritas beragama Orthodox, mereka terpisah dari Roma, hanya sedikit sekali orang-orang Katolik di sana. Selain itu, mereka terpencar-pencar di antara gunung-gunung yang banyak terdapat di sana, ini membuat tugasnya menjadi semakin berat. Ia harus mengunjungi umatnya dan memelihara hidup rohani mereka. Seringkali ia berjalan menuruni gunung yang satu dan mendaki gunung yang lainnya. Ia juga harus membina hubungan baik dengan penguasa Bulgaria dan pemimpin Gereja Orthodox. Karena kepintaran dan kehebatannya, Angelo berhasil menjalin hubungan baik dengan pemerintah Bulgaria dan Gereja Orthodox. Ia benar-benar berhasil memberikan kesan yang baik akan Roma dan akan gereja Katolik pada mereka” kata Saverio lagi.

“Pada hari Natal 1934 ia harus meninggalkan Bulgaria dan bertugas di tempat yang baru. Banyak orang yang mengantar kepergiannya: korps diplomatik, wakil raja, utusan Gereja Orthodox, dan umat yang mengasihinya. Padahal ia datang ke sana sebagai orang asing, tetapi pada saat kepergiannya ia sungguh merebut simpati banyak orang,” Alfredo menambahkan penjelasan Saverio.

“Meskipun tidak lagi bertugas di Bulgaria, Angelo belum bisa menikmati istirahat. Sejak awal tahun 1935 ia ditugaskan lagi menjadi Visitor Apostolik di Turki dan Yunani. Ia harus menghadapi Ataturk, penguasa Yunani waktu itu yang menganggap agama sebagai musuh dan ingin melenyapkan agama untuk membentuk negara nasionalis. Selain itu, ia juga harus menanggung rasa tidak senang pimpinan Gereja Orthodox terhadap Gereja Katolik. Banyak hal yang harus dikerjakannya dan ia melakukan semua tugasnya itu dengan penuh suka cita,” Assunta menyela pembicaraan Alfredo.

“Ia harus menghadapi tugas terberat waktu terjadi perang dunia kedua. Pertama-tama Yunani diserbu dan dikuasai oleh Italia, tak lama kemudian Inggris merebut Yunani dari tangan Italia lalu Inggris dikalahkan oleh Jerman yang menjadi sekutu Italia. Kota-kota Yunani menjadi hancur lebur akibat peperangan itu dan pada waktu itulah Jerman memblokade wilayah Yunani dan menyetop bahan makanan yang datang ke Yunani. Kakekmu dengan kepandaian diplomasinya berusaha untuk menyingkirkan blokade itu dan mengusahakan agar bahan makanan dapat masuk ke Yunani. Dengan bantuan Paus Pius XII yang menggantikan Paus Pius XI kakekmu berhasil meminta kepada pihak Jerman untuk menghapuskan blokade itu. Untuk meringankan beban penderitaan, ia mengunjungi banyak orang yang menderita, para tawanan juga para serdadu yang terluka; ia bahkan duduk dan makan bersama dengan mereka. Memang apa yang dilakukannya tidak menghentikan peperangan, tetapi itu telah banyak menolong mereka yang menderita karena peperangan. Banyak hal yang telah dilakukannya di Yunani sebelum ia dipindahkan Ke Perancis,” Saverio menyambung penjelasan Assunta.

“Akan tetapi di Perancis pun ia menghadapi tugas yang tidak ringan,” Assunta mengingatkan Saverio. ”Di sana ia harus menggunakan kepandaian diplomasinya untuk melobby penguasa Perancis Jendral de Gaulle yang ingin menghapuskan kedudukan Gereja di Perancis. Usahanya yang tidak kenal lelah telah menghasilkan buah: hanya 3 orang Uskup disingkirkan oleh Jendral de Gaulle, padahal ada 30 orang Uskup yang dituduh sebagai pengkhianat dan rencananya akan disingkirkan. Aku juga ingat bahwa Angelo bekerja pula sebagai utusan UNESCO dan menjalin persahabatan dengan banyak kelompok yang ada di Perancis. Kakekmu itu terkenal oleh karena keramahannya.Tak aneh, ia segera menjadi kawan bagi banyak orang, kawan yang penuh humor dan selalu memikirkan orang lain,” Assunta menyambungnya.

“Ia begitu mencintai Perancis, orang-orangnya, Gerejanya, tempat-tempat sucinya, juga biara-biaranya, tetapi ia harus meninggalkan semuanya itu. Setelah cukup lama bertugas di Perancis, Paus Pius XII mengangkatnya menjadi Kardinal dan menugaskannya sebagai Patriark Venezia. Tugasnya yang baru ini sedikit berbeda dengan apa yang selama ini dilakukannya. Kalau sebelumnya ia lebih banyak bertugas sebagai diplomat yang mewakili kepentingan Gereja, sekarang kakekmu ditugaskan untuk menggembalakan umat,” Alfredo meneruskan pembicaraan Assunta.

“Roberto, kamu harus meniru teladan yang diberikan oleh kakekmu itu. Bayangkan saja, di tengah kemewahan istana dan kekayaannya, ia tetap bersikap sederhana dan bersahaja. Ia tidak berubah, perhatiannya tetap ditujukan kepada mereka yang miskin dan yang menderita. Ia lebih senang menggunakan kendaraan umum untuk berkeliling di kotanya daripada dengan kendaraan sendiri. Meskipun demikian, ia tetap orang terhormat, ia menjalin relasi dan membina hubungan baik dengan kelompok-kelompok dan partai-partai yang ada di sana. Ketulusan hatinya tetap, tidak berubah, ia memandang orang dengan sama tanpa membedakan status dan kedudukan orang itu,” kata Alfredo kepadaku.

“Kalau tidak salah pada waktu itu Paus Pius XII yang menugaskannya di Venezia menderita sakit keras. Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1958 beliau meninggal dunia. Ia harus ke Roma untuk menghadiri pemakaman Paus dan ikut voting untuk memilih Paus baru,” kata Alfredo lagi.

“Ya…, sesuatu yang mengejutkan pun terjadi,” Saverio terlihat mengenang saat-saat itu. “Pada usianya yang ke tujuh-puluh-tujuh Angelo terpilih menjadi Paus dan memilih nama baru Giovanni XXIII (Yohanes XXIII),” dengan lambat-lambat kakek mengucapkan itu. “Di usia tuanya tugasnya belum berakhir, ia harus menjadi gembala seluruh dunia dan semua tugas itu dilakukan dengan gembira hati dan penuh rasa humor. Ia mengunjungi orang-orang yang menderita, di penjara, di rumah sakit, di panti-panti asuhan dan ia juga menerima kunjungan banyak orang dari seluruh negara, baik itu kepala pemerintahan maupun umat biasa. Ia melakukan banyak perjalanan jauh keluar kota Roma yang sudah berabad-abad tidak pernah dilakukan oleh para Paus. Bahkan ia mengunjungi kota-kota Italia dengan kereta api. Setiap kali ia melewati kota atau stasiun banyak orang berkumpul untuk melihatnya dan mereka melambaikan tangan atau sapu tangannya kepadanya.”

“Ya ia sungguh-sungguh luar biasa, dan ada satu hal penting yang dikerjakan oleh kakekmu ketika ia menjadi Paus. Ia merasa bahwa Gereja memerlukan suatu pembaharuan, maka ia mengusulkan diadakannya Konsili kepada para kardinalnya. Selama 3 tahun para kardinal di bawah pimpinannya menyiapkan satu Konsili Ekumenis yang mengundang, bukan hanya pimpinan dan wakil umat Katolik di seluruh dunia, tetapi juga para pemimpin agama di seluruh dunia, para teolog dan banyak ahli di bidangnya masing-masing. Dengan usaha yang keras dan tidak mengenal menyerah, akhirnya pada tanggal 11 Oktober 1962 Angelo membuka Konsili yang diberinya nama Konsili Vatikan II. Inilah jasanya yang terbesar bagi Gereja, ia telah membuka pintu dan jendela Gereja agar Roh Kudus masuk dan memperbaharui Gereja-Nya. Sayangnya, hanya beberapa bulan saja kakekmu itu memimpin Konsili sebelum akhirnya ia jatuh sakit. Aku, Saverio, Giuseppe dan nenekmu ini menemani kepergian kakekmu, kami semua ada di sampingnya waktu kakek mengalami sakratul maut. Akhirnya pada tanggal 3 Juni 1963 kakekmu pergi menghadap Bapa di surga, Allah yang selama ini diabdinya,” kata kakek menyambung penjelasannya.

“Waduh kek, sudah sore,” kata nenek sambil menunjuk jam yang ada di dinding. “Roberto, bukankah kamu harus mandi dan membersihkan dirimu?” tanya nenek Assunta kepadaku. “Baik nek aku akan mandi dulu, trima kasih atas semua ceritanya!” Setelah mencium kakek dan nenek aku melangkah ke kamar mandi. Aku sangat bangga pada kakekku, Paus Yohanes XXIII. Aku ingin meneladan semangat dan hidupnya. Semoga malam ini aku bermimpi tentang dia.
www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting