Print
Hits: 72039

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

"Kami diciptakan untuk-Mu ya Tuhan,

jiwa kami belum tenang sebelum beristirahat pada-Mu."

Ungkapan di atas keluar dari lubuk hati seorang makhluk ciptaan Allah yang begitu rindu untuk bersatu dengan Allah Sang Pencipta. Itulah Santo Agustinus, seorang Bapak dan Pujangga Gereja yang termashyur. Apa yang dikatakannya merupakan jawaban sekaligus kerinduannya yang besar terhadap Rumah Bapa. Ia sadar bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanyalah suatu persiapan untuk suatu kehidupan pada suatu dunia yang akan datang, dalam kemuliaan surgawi, suatu kehidupan yang mulia tempat kita dapat memandang Allah dari muka ke muka dalam kebahagiaan (Visiun Beatifica), sambil memuji dan memuliakan-Nya sampai kekal (bdk. Why 15:3-4).

Itulah kebahagiaan abadi yang disediakan Allah untuk semua ciptaan-Nya. Inilah suatu kerinduan setiap orang kristen yang sedang dalam peziarahan menuju tanah air surgawi. Kerinduan itu akan dipuaskan Allah saat kehidupan kita beralih dari dunia ini, menuju rumah abadi. Saat itulah kepuasan dan kebahagiaan yang kita rindukan tidak pernah berakhir. Itulah kebahagiaan kekal.

Hidup kita di dunia ini merupakan suatu peziarahan. Kita adalah musafir-musafir Allah yang sedang dalam peziarahan menuju ke rumah Bapa di surga. Keyakinan kita mengajarkan bahwa setelah kehidupan kita berakhir di dunia ini, kita akan menemukan suatu kediaman abadi. Dengan demikian bagi kita kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian hanyalah suatu peralihan dari dunia yang nyata kepada dunia yang baru seperti yang dikatakan dalam kitab Wahyu: "Aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu dan lautan tidak ada lagi. Aku melihat kota yang kudus Yerusalem surgawi turun dari surga dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya" (Why 21:1-2). Walau hidup di dunia ini penuh dengan penderitaan, perjuangan, dan kesedihan, tetapi di kota kediaman abadi, Allah akan menghapus segala air mata dari mata kita dan maut tidak ada lagi; tidak ada lagi perkabungan dan ratap tangis atau dukacita sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu (bdk. Why 21:4).

Secara nyata, sebenarnya inti ajaran kristiani terletak pada misteri Paskah; wafat dan kebangkitan Kristus. Tidak ada ajaran kristiani yang terpisah dari misteri ini. Kristus memanggil kita untuk mengambil bagian dalam misteri keselamatan-Nya. Kematian Kristus menunjukkan kematian manusia lama kita dengan segala dosa kita dan kebangkitan-Nya dari alam maut menunjukkan kebangkitan kita untuk menjadi manusia yang baru. Dengan demikian kematian Kristus, salib, dan kebangkitan-Nya, mengandung nilai redemtif atau penebusan. Kita semua diselamatkan berkat darah Kristus yang tercurah di salib. Neraka yang merupakan ganjaran atas dosa-dosa kita, justeru oleh Kristus diubahnya menjadi surga keselamatan kita. Inilah misteri Paska yang dikerjakan Allah melalui Putera-Nya yang mengurbankan diri bagi keselamatan umat manusia. Tanpa keyakinan akan wafat dan kebangkitan Kristus, iman kita tidak artinya lagi, demikian dikatakan Santo Paulus.

Kita percaya dengan teguh dan pasti serta menanti dengan penuh pengharapan dalam iman, bahwa sebagaimana Kristus telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selama-lamanya, demikian pula kita sebagai umat yang ditebus-Nya itu akan bangkit dan hidup bersama dengan Dia selama-lamanya. "Jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang diam di dalam kamu" (Rm 8:11).

Sebagai orang yang percaya kepada Kristus dan akan kuasa kebangkitan-Nya yang memberi kehidupan kepada kita, kita adalah Gereja-gereja Kristus yang masih hidup dan yang mengenakan daging dengan Ia sendirilah yang menjadi kepalanya. Kehidupan kita di dunia ini merupakan antisipasi atau persiapan untuk suatu kehidupan yang akan datang. Karena itu, kehidupan kita di dunia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan yang akan datang. Kita dapat mengalami surga sejak di dunia ini, yaitu jika kita hidup dalam rahmat Allah; dengan pertobatan yang terus menerus. Kebahagiaan di surga tidak lain dari pada kepenuhan hidup rahmat di dunia ini.

Di lain pihak, kita juga dapat mengecap atau mengalami neraka sejak hidup di dunia ini, jika kita tidak bertobat dan tidak berpaling kepada Allah dengan hidup dalam berbagai bentuk dosa. Sebagai akibat dari dosa tersebut hidup kita akan dangkal, suara hati menjadi tumpul, tidak mengalami kedamaian dan sukacita. Yang ada hanyalah hujatan-hujatan dan kutukan terhadap Allah dengan melakukan aneka macam dosa. Inilah gambaran kehidupan neraka. Oleh karena itu, neraka tidak lain merupakan suatu suasana manusia menolak rahmat Allah dan memilih hidup terpisah dari Allah dengan mengabdi kepada cinta diri yang melawan cinta Allah.

Oleh sebab itu, kenyatan hidup yang akan datang (Eskatologis), sangat erat kaitannya dengan hidup sekarang, bahkan kehidupan sekarang sangat menentukan untuk hidup yang akan datang. Karenanya kehidupan sekarang merupakan awal dari kehidupan yang akan datang. Hanya di dunia ini ada kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan Tuhan sedangkan setelah kematian tidak ada kesempatan lagi. Memilih untuk bertobat berarti memilih untuk hidup di tanah air surgawi dalam kebahagiaan kekal, sedangkan memlih untuk tidak bertobat berarti memilih neraka artinya berpisah dari Allah yang tidak lain hidup dalam penyiksaan api yang kekal.

Kematian dalam pandangan kristen mempunyai arti yang positif. "Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan" (Flp 1:21) "Benarlah perkataaan ini: Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan Dia" (2Tim 2:11) Aspek yang sungguh baru dalam kematian kristen terdapat dalam hal pembaptisan warga kristen secara sakramental, yaitu sesudah "mati bersama Kristus", dapat mengalami suatu kehidupan yang baru. Sangat indah hal ini dikatakan Santo Ignatius dari Antiokhia: "Lebih baiklah bagiku untuk mati karena Kristus dari pada hidup sebagai raja atas segala ujung bumi. Aku mencari Dia yang wafat untuk kita; aku menghendaki Dia, yang bangkit demi kita. Kelahiran aku nantikan....biarlah aku menerima sinar yang cerah. Setelah tiba di surga aku akan menjadi manusia."

Kematian kristiani berarti Allah memanggil manusia kepada diri-Nya, bersatu dengan kodrat-Nya yang ilahi. (bdk. 2Ptr 1:4) Karena itu Santo Paulus mengungkapkan hal ini: "Aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus" (Flp 1:23). Santa Teresa dari Avila mengatakan: "Aku hendak melihat Allah dan untuk melihat Dia, orang harus mati." Kerinduan terdalam orang kristen adalah kebahagiaan bersama Allah sebagai Bapa dalam kerajaan-Nya yang abadi. Di dalam dan bersama Allah, kebahagiaan yang dirindukan itu terpenuhi dan sempurna. "Kerinduan duniawiku sudah disalibkan di dalam aku, ada air yang hidup dan berbicara, yang berbisik dan berkata kepadaku: Mari menuju Bapa," demikianlah ungkapan kerinduan Santo Ignatius dari Antiokhia. Pandangan kristen tentang kematian dilukiskan sangat indah dalam liturgi prefasi misa arwah: "Bagi umat beriman-Mu ya Tuhan, hidup hanyalah berubah, bukannya dilenyapkan, dan sesudah roboh rumah kami di dunia ini, akan tersedia bagi kami kediaman abadi disurga."

Kematian merupakan titik akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia ini; titik akhir dari masa rahmat dan masuk dalam kehidupan yang terakhir. Kehidupan terakhir ini tidak ditentukan oleh seberapa besar jasa dan perbuatan kita selama di dunia tetapi seberapa besar kita melaksanakan hukum cinta kasih yang merupakan hukum yang utama. Santo Yohanes Salib mengatakan: "Pada senja hidup kita, kita akan diadili dengan cinta kasih." Karena itu, " Apabila jalan hidup kita sudah berakhir" (LG 48), kita tidak akan kembali lagi untuk hidup beberapa waktu lagi di dunia ini. "Manusia ditetapkan untuk hidup dan mati hanya satu kali dan sesudah itu ia dihakimi" (Ibr 9:27). Setelah kematian tidak ada "Reinkarnasi".

Kematian mengakhiri kehidupan manusia di dunia ini. Ia dapat menerima atau menolak rahmat ilahi yang ditawarkan Kristus kepadanya. Saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini terjadi dalam suatu pengadilan khusus yang menghubungkan kehidupannya dengan Kristus, entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi melalui api penyucian, atau masuk langsung ke dalam kebahagiaan surgawi, atau mengutuki dirinya untuk selama-lamanya dalam nyala api yang kekal, yaitu neraka.

Orang yang hidup dalam rahmat, dalam persahabatan dengan Allah, dan disucikan sepenuhnya, akan hidup selama-lamanya dalam kebahagiaan bersama Allah dan dalam pesekutuan dengan para malaikat dan para kudus di kerajaan surga, tanah air yang kita nanti-nantikan. Mereka dapat memandang Dia dalam keadaan yang sebenarnya (bdk. 1Yoh 3:2), memandang-Nya dari muka ke muka (bdk. 1Kor 13:12). Saat itu, iman akan lenyap dan pengharapan tidak ada lagi. Karena apa yang merupakan gambaran yang samar-samar yang kita imani di dunia ini, telah menjadi nyata; dan apa yang tidak pernah kita lihat akan menjadi tampak dengan jelas. Pengharapan kita kepada Allah akan janji-janji-Nya melalui wahyu-Nya telah digenapi yaitu kebahagiaan kekal bagi semua orang beriman. Pada waktu itu yang tinggal hanyalah cinta. Cintalah yang menyatukan kita dengan tujuan akhir hidup kita yaitu Sang Cinta sendiri (bdk. 1Yoh 4:16).

Konsili Vatikan II dalam konstitusi Lumen Gentium artikel 49 (LG 49) mengatakan: "Umat beriman yang mati setelah menerima pembaptisan Kristus, kalau mereka tidak memerlukan penyucian ketika mereka mati, atau kalaupun ada, sesudah yang harus disucikan atau yang akan disucikan.......sebelum pengadilan umum setelah kenaikan Tuhan dan penyelamat kita ke surga, sudah berada dan akan berada di surga dan firdaus surgawi bersama Kristus dan bergabung bersama persekutuan para malaikat yang kudus. Dan sesudah penderitaan serta kematian Tuhan kita Yesus Kristus, jiwa-jiwa ini sudah melihat dan sungguh melihat hakikat ilahi dengan suatu pandangan yang langsung dan bahkan dari muka ke muka tanpa perantaraan makhluk apa pun" (bdk. Benedictus XII, PS 1000).

Hidup di surga berarti berada bersama Allah dengan hakikat-Nya sebagai Allah Tritunggal; Bapa, Putera dan Roh Kudus. "Hidup berarti, ada bersama Kristus; di sana dengan sendirinya ada kehidupan, di sana ada kerajaan," demikian ungkap Santo Ambrosius. Misteri persekutuan, kebahagiaan bersama Allah, mengatasi setiap pikiran, gambaran, dan perasaan manusiawi kita. Di sanalah ada kehidupan, terang, perdamaian, perjamuan nikah, rumah Bapa, Yerusalem surgawi dan firdaus. Itulah surga, tanah air yang kita dambakan dalam hidup ini.

Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah namun belum disucikan secara sempurna sudah pasti akan menikmati tanah air abadi yaitu surga. Akan tetapi, sebelum ia bersatu dengan Allah dan menikmati kebahagiaan surgawi, ia masih harus menjalankan suatu pemurnian atau penyucian, supaya ia sempurna dalam kesuciannya sehingga ia dapat masuk ke dalam kebahagiaan surgawi. Pandangan Gereja Katolik menamakan tempat ini dengan Api Penyucian atau Purgatorium. Ini berbeda dengan siksaan abadi atau neraka. Purgatorium merupakan suatu tempat persinggahan untuk dimunikan sebelum masuk dan bersatu dengan Allah dalam kerajaan surga.

Tradisi Gereja berbicara tentang api penyucian yang berpedomaan pada teks-teks Kitab Suci seperti: 1Kor 3:15, 1Ptr 1:7. Hal ini juga ditegaskan oleh Santo Gregorius Agung: "Kita harus percaya bahwa sebelum pengadilan, masih ada api penyucian untuk dosa-dosa ringan tertentu, karena kebenaran abadi mengatakan bahwa kalau seseorang menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, di dunia yang akan datang pun tidak” (bdk. Mat 12:32). Dari ungkapan ini nyatalah bahwa beberapa dosa dapat diampuni di dunia yang akan datang.

Ajaran Gereja katolik tentang purgatorium, yang mendorong umatnya untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal memiliki dasar alkitabiahnya. Dikisahkan Yudas Makabe mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati supaya mereka dibebaskan dari segala dosanya (2Mak 12:45). Sejak zaman dahulu Gereja sangat menghargai peringatan akan orang-orang mati (1 November) dan membawa mereka dalam doa terutama dalam Ekaristi, pada Doa Syukur Agung: "Berikanlah istirahat kekal kepada mereka dan kepada semua saudara yang meninggal dalam Kristus, kasihanilah dan sambutlah mereka dalam pangkuan-Mu."

Di samping surga dan purgatorim yang merupakan tempat kebahagiaan abadi dan tempat penyucian, ada juga neraka. Yesus berbicara beberapa kali tentang 'Gehena' yaitu api yang tak terpadamkan (Mat 5:22.29, 13:49, Mrk 9:43-48), yang ditentukan bagi mereka yang sampai akhir hidupnya menolak untuk percaya dan bertobat. Oleh karena itu, mereka tidak dapat disatukan dengan Allah. Mereka tidak mencintai Allah dan melakukan dosa-dosa besar terhadap Dia, terhadap sesama, dan terhadap diri sendiri. "Barang siapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh. Dan kamu tahu bahwa tidak ada seorang pembunuh yang memiliki hidup kekal dalam dirinya" (1Yoh 3: 14-15).

Ajaran Gereja mengatakan bahwa ada neraka dan bahwa hukuman neraka berlangsung sampai selama-lamanya. Jiwa orang yang mati dalam keadaan dosa berat langsung sesudah kematian menuju ke dunia orang mati tempat mereka mengalami siksaan neraka; api abadi. Ini merupakan suatu keterpisahan abadi dengan Allah, pencipta dan sumber kehidupan.

Jika surga adalah kebahagiaan abadi bersama Allah, maka neraka merupakan suatu kebalikan dari surga yaitu terpisah dari Allah untuk selama-lamanya. Ini terjadi karena selama hidupnya ia menolak Allah dan rahmat yang ditawarkan-Nya yaitu keselamatan.

RENUNGAN SINGKAT

Kematian merupakan suatu peristiwa yang sangat menyedihkan, apalagi jika menimpa seseorang yang sangat kita cintai. Tak ada penderitaan yang lebih besar daripada penderitaan ketika kita merasa ditinggalkan atau kehilangan seseorang. Demikian juga penderitaan yang dialami Bunda Maria, mencapai puncaknya ketika Sang Anak yang terkasih tak berdaya di kayu salib. Namun, seperti suatu benih tak akan menghasilkan buah banyak, jika ia tidak mati lebih dahulu, demikianlah kematian Kristus menghasilkan buah yang tak terkatakan bagi keselamatan umat manusia, melalui kebangkitan-Nya dari antara orang mati.

Hidup Kristen merupakan suatu perjalanan mengikuti jejak Kristus yang telah dibangkitkan dari antara orang-orang mati sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal (bdk. 1Kor 15:20). Kristus wafat di salib untuk menyelamatkan manusia dan memberikan suatu kehidupan kekal kepadanya. Kita percaya bahwa di mana iman akan Yesus Kristus tumbuh dan berbuah, di sanalah jejak-jejak kebangkitan akan terpenuhi oleh Kristus. Dengan iman yang kita miliki sejauh kita hidup dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah terus-menerus, suatu saat kita akan berkumpul bersama dalam perjamuan nikah Anak Domba di surga. Bukankah hidup kita merupakan suatu harapan? Berharap...ya senantiasa berharap!!! Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Harapan kita tidak pernah dikecewakan-Nya. Saat ini kita tidak mengerti kehendak Tuhan yang terjadi atas diri kita. Namun, satu hal yang pasti bahwa kebangkitan adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri dan surga merupakan tempat kediaman kita selama-lamanya, tanah air abadi yang kita rindukan, tempat semua makhluk merasakan cinta dan kebaikan seorang Bapa kepada anak-anak-Nya.

Kematian bukanlah akhir dari segala-galanya tetapi merupakan suatu perjalanan menuju kediaman abadi dalam rumah Bapa. Untuk menyediakan tempat bagi kitalah, Kristus harus meninggalkan dunia ini dan wafat disalib. (bdk. Yoh 14:2). Dengan demikian, kematian merupakan perjalanan pulang dari perziarahan menuju pangkuan Bapa. Bapa menanti kita semua untuk berkumpul dalam kerajaan-Nya sebagai anak dan Bapa, dan memerintah bersama Dia untuk selama-lamanya....(Why 22:5).