User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Pendahuluan

Para imam, berkat tahbisan dan perutusan yang mereka terima dari Uskup, diangkat untuk melayani Kristus yang adalah Guru, Imam, dan Raja. Mereka ikut melaksanakan pelayanan-Nya, sehingga Gereja dengan tiada henti-hentinya dibangun menjadi umat Allah, Tubuh Kristus, dan Kenisah Roh Kudus.

I. IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA

I.1. Hakikat Imamat

Tuhan Yesus, yang diutus oleh Allah Bapa ke dunia sebagai Penyelamat, mengikut-sertakan seluruh Tubuh Mistik-Nya dalam pengurapan Roh yang diterima-Nya sendiri (Mat. 3:16; Luk. 4:18). Semua umat beriman mengambil bagian dalam Imamat Kristus yang kudus dan rajawi untuk mempersembahkan kurban-kurban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus dan mengalami kekuatan-Nya, yang memanggil mereka keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang mengagumkan (1 Ptr. 2:5,9), sehingga kemudian dengan semangat kenabian mereka dapat memberi kesaksian tentang Kristus itu kepada dunia (LG, art. 35).

Tuhan itu juga mengangkat di tengah mereka para pelayan yang mempunyai kuasa Tahbisan suci untuk mempersembahkan Kurban dan mengampuni dosa-dosa (DENZ. 957 dan 961). Sebagai pengganti para Rasul, para Uskup mengikut-sertakan para imam menjadi rekan kerja mereka untuk melaksanakan misi kerasulan. Melalui Sakramen Imamatnya dan berkat pengurapan Roh Kudus, para imam ditandai dengan meterai istimewa dan dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (LG, art. 10). Pelayanan mereka bermula dari warta Injil dan menerima daya kekuatannya dari Kurban Kristus, dan melalui pelayanan mereka itu kurban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan Kurban Kristus Pengantara Tunggal, yang dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi atas nama seluruh Gereja sampai kedatangan Tuhan sendiri (Lih. 1 Kor 11:26).

Tujuan yang mau dicapai oleh para imam melalui pelayanan dan hidup mereka ialah kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus Yesus. Itu dilaksanakan melalui persembahan waktu mereka untuk berdoa dan bersembah sujud kepada Allah, mewartakan Sabda, mempersembahkan Kurban Ekaristi, menerimakan Sakramen-sakramen, dan menjalankan berbagai macam bentuk pelayanan kepada sesama, yang kesemuanya bersumber pada Paska Kristus dan akan mencapai kepenuhannya pada kedatangan Tuhan penuh kemuliaan-Nya, ketika Dia menyerahkan Kerajaan kepada Allah dan Bapa (Lih. 1 Kor. 15:24).


I.2. Situasi Para Imam di Dunia

Seperti teladan Tuhan Yesus yang tinggal di tengah-tengah umat manusia, para imam juga bergaul dengan umatnya sebagai saudara-saudarinya. St. Paulus juga memberi teladan serupa ketika dia mengatakan bahwa ia telah menjadi segalanya bagi semua orang, untuk menyelamatkan semua orang (Lih. 1 Kor. :19-23). Akan tetapi pelayanan mereka sebagai gembala bagi domba-domba meminta supaya mereka tidak menyesuaikan diri dengan dunia ini, sehingga mereka dapat menjadi saksi dan pembagi kehidupan yang lain dari kehidupan di dunia ini. Mereka juga harus mengajak domba-domba yang tidak termasuk kawanan itu supaya mereka pun mendengarkan suara Kristus, sehingga terjadilah satu kawanan dan satu Gembala (Lih. Yoh. 10: 14-16). Untuk mencapai tujuan itu sudah selayaknya para imam memupuk keutamaan-keutamaan, misalnya: kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan keadilan, sopan santun, dll.


II. PELAYANAN PARA IMAM

II.1. FUNGSI PARA IMAM

II.1.a. Para Imam, Pelayan Sabda Allah

Karena umat Allah dihimpun pertama-tama oleh Sabda Allah (Lih. 1 Ptr. 1:23), maka tugas para imam pertama-tama ialah mewartakan Injil kepada semua orang di seluruh dunia (Lih. 2 Kor 11:7; LG, art. 25). Hal itu mereka lakukan melalui cara hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa, pewartaan akan misteri Kristus kepada kaum tak beriman; memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja; mengkaji persoalan-persoalan dalam terang Kristus. Dengan demikian mereka mengajarkan bukan dengan kebijaksanaan sendiri melainkan Sabda Allah, dan tiada jemu-jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju kepada kesucian.


II.1.b. Para Imam, Pelayan Sakramen-Sakramen dan Ekaristi

Allah, satu-satunya yang Kudus dan menguduskan, berkenan mengikut-sertakan manusia sebagai rekan dan pembantu-Nya, untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Maka dengan pelayanan Uskup, para imam dikuduskan oleh Allah, supaya mereka secara istimewa ikut menghayati Imamat Kristus, dan dalam merayakan Ekaristi bertindak sebagai pelayan-Nya, yang dalam Liturgi tiada hentinya melaksanakan tugas Imamat-Nya melalui Roh-Nya demi keselamatan kita (SC, art.7). Dengan Sakramen Baptis para imam mengantar orang-orang masuk menjadi anggota umat Allah. Dengan Sakramen Tobat mereka mendamaikan para pendosa dengan Allah dan dengan Gereja. Dengan minyak orang sakit mereka meringankan para penderita penyakit. Terutama dengan merayakan Misa mereka mempersembahkan Kurban Kristus secara sakramental. Dalam melaksanakan semua Sakramen, para imam dengan pelbagai cara tergabungkan secara hirarkis dengan Uskup, dan dengan demikian menghadirkannya secara tertentu dalam masing-masing jemaat umat beriman (LG, art.28).

Selain melalui sakramen-sakramen, para imam juga mengajar umat beriman untuk berperan serta dalam perayaan Liturgi sedemikian rupa sehingga di situ pun umat beriman mencapai doa yang tulus yang harus terus dikembangkan seumur hidup; juga mengajak semua untuk melaksanakan tugas kewajiban status hidup mereka; mengundang mereka yang sudah lebih maju untuk menghayati nasihat-nasihat Injil (Red: kaul-kaul religius); mengusahakan supaya di tempat ibadat atau gereja di mana Ekaristi suci dirayakan dan disemayamkan diadakan penghormatan dengan sembah sujud, sehingga umat beriman dengan hati penuh syukur dapat menanggapi anugerah Kristus yang tiada hentinya mencurahkan kehidupan ilahi kepada anggota-anggota Tubuh-Nya.


II.1.c. Para Imam, Pemimpin Umat Allah

Sementara para imam menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala, atas nama Uskup mereka menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sejati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa    (LG, art.28). Mereka bertugas untuk membina umat beriman menuju kedewasaan kristiani, sehingga dalam peristiwa besar maupun kecil mereka mampu memahami dan melakukan kehendak Allah. Mereka hendaknya dibina juga supaya jangan hanya hidup untuk diri sendiri melainkan mampu menanggapi tuntutan perintah baru tentang cintakasih – saling berbagi rahmat sesuai dengan kasih karunia yang diterima masing-masing – dan dengan demikian semua melaksanakan tugas-tugas mereka secara kristiani dalam masyarakat.

Para imam juga secara istimewa bertanggungjawab terhadap kaum yang miskin dan lemah, orang-orang sakit dan menjelang ajal, sesuai dengan teladan Kristus. Mereka juga perlu mengusahakan supaya ada rukun-rukun persaudaraan untuk para anak muda, suami-isteri, dan orang tua, sehingga mereka dapat saling membantu untuk menghayati hidup kristiani yang seringkali penuh kesukaran. Kecuali itu, jemaat setempat juga supaya diajar untuk mengembangkan semangat menjemaat yang tidak hanya mencakup Gereja setempat, tetapi juga Gereja semesta, sehingga digerakkan oleh semangat misioner, mereka merintis jalan menuju Kristus bagi semua orang. Meskipun demikian, jemaat hendaknya secara khas merasa bertanggungjawab atas para katekumen dan baptisan baru, yang langkah demi langkah harus dibina untuk makin mengenal dan menghayati hidup Kristen.

II.2. HUBUNGAN PARA IMAM DENGAN SESAMA

II.2.a. Hubungan Para Uskup dengan Para Imam

Semua imam bersama para Uskup berperanserta menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga kesatuan pentakdisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis mereka dengan Uskup. Persekutuan itu kadang-kadang dengan jelas sekali mereka tampilkan dalam konselebrasi Liturgi di mana mereka sekaligus mengungkapkan kesatuan mereka dalam merayakan perayaan Ekaristi dengan para Uskup itu.

Berdasarkan kurnia Roh Kudus yang dalam tahbisan suci dianugerahkan kepada para imam, para Uskup memandang mereka sebagai pembantu dan penasihat yang sungguh dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan, dan menggembalakan umat Allah. Dalam keuskupan juga perlu dibentuk dewan atau senat para imam, untuk mewakili semua imam memberikan nasihat-nasihat yang dapat membantu Uskup untuk secara efektif memimpin keuskupannya. Sedangkan para imam hendaknya memandang kepenuhan Sakramen Imamat yang ada pada para Uskup, dan dalam diri mereka menghormati kewibawaan Kristus Gembala tertinggi. Hendaknya mereka berpaut pada Uskup mereka dengan cintakasih yang tulus dan sikap patuh serta taat.


II.2.b. Persatuan Persaudaraan dan Kerjasama Antara Para Imam

Berkat Tahbisan, yang menempatkan mereka pada tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental yang erat sekali, satu presbiterium. Semua imam, baik diosesan maupun religius, baik yang melayani paroki ataupun yang menjalankan tugas-tugas atau pelayanan-pelayanan di luar batas paroki dengan segala bentuknya, bekerja sama demi satu tujuan saja, yakni pembangunan Tubuh Kristus. Jadi setiap imam berhubungan dengan para anggota presbiterium lainnya karena ikatan-ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan, dan persaudaraan. Hal ini diungkapkan dalam rupa: saling membantu dalam karya-kegiatan dan kesulitan-kesulitan, memperhatikan yang sakit atau sedih, yang kesepian, tertekan oleh beban pekerjaan, atau mengalami penganiayaan. Untuk mengembangkan hidup rohani dan untuk menghindari bahaya kesepian, para imam perlu membentuk suatu rukun hidup di antara mereka dalam berbagai bentuknya, tinggal bersama, atau makan bersama, dan sebagainya.


II.2.c. Hubungan Para Imam dengan Kaum Awam

Karena Sakramen Tahbisan para imam Perjanjian Baru menunaikan tugas sebagai bapa dan guru, yang amat luhur dan penting sekali dalam dan bagi umat Allah. Akan tetapi bersama sekalian orang beriman mereka sekaligus menjadi murid-murid Tuhan, yang berkat rahmat panggilan Allah diikutsertakan dalam Kerajaan-Nya (Lih. 1 Tes. 2:12; Kol 1:13). Oleh karena itu para imam harus memimpin umat sedemikian rupa sehingga tidak mencari kepentingan diri sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus.

Para imam hendaknya dengan tulus mengakui dan mendukung martabat kaum awam beserta bagian perutusan Gereja yang diperuntukkan bagi mereka; menghormati kebebasan sewajarnya; dan memberi peluang untuk menyumbangkan kemampuan dan karisma mereka di pelbagai bidang kehidupan. Dalam bidang kerohanian umat, para imam juga harus menjadi pembela kebenaran, pendukung kebenaran, dan mencari domba-domba yang hilang, yaitu umat yang telah meninggalkan Gereja Katolik karena pindah ke Gereja lain, maupun karena kehilangan iman Kristen. Mereka juga perlu mencari cara untuk dapat menjalin ekumenisme dengan Gereja-Gereja lain dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan tentang ekumenisme, dan juga memperhatikan mereka yang belum mengenal Kristus sebagai Penyelamat.

II.3. PENYEBARAN PARA IMAM DAN PANGGILAN-PANGGILAN IMAM

II.3.a. Penyebaran Para Imam

Kristus telah mempercayakan kepada para Rasul tugas untuk menyebarkan Injil “sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8), maka pelayanan imam manapun memiliki jangkauan luas dan universal, sebagaimana dipralambangkan dalam pribadi Melkisedekh (Ibr. 7:3). Hal ini mengundang para imam untuk ikut memikirkan kepentingan Gereja secara nasional maupun universal. Oleh karena itu, para imam yang berada di keuskupan-keuskupan yang kaya akan panggilan hendaknya merelakan diri, dengan seizin Uskup mereka, untuk melaksanakan pelayanan mereka di daerah-daerah misi, kawasan-kawasan, atau dalam karya-karya yang kekurangan imam. Karya-karya yang dimaksud bukan saja berskala nasional melainkan juga internasional, misalnya seminari internasional, diosis-diosis atau prelatura-prelatura personal yang khusus, atau lembaga-lembaga semacam itu.

Mereka yang bertugas di negara lain hendaknya dilengkapi dengan pengetahuan bahasa setempat dan sifat-perangai psikologis maupun sosial yang khas dari negara itu, sehingga dapat berkomunikasi dengan baik dengan umat setempat demi keberhasilan pelayanan mereka (Lih. 1 Kor. 9:19-20). Dan sesuai dengan teladan Kristus, mereka hendaknya diutus berdua atau bertiga, supaya bisa saling membantu.


II.3.b. Usaha Para Imam untuk Mendapat Panggilan-panggilan Imam

Karena memahami kehendak Kristus sebagai Gembala dan Pemelihara jiwa-jiwa (1 Ptr. 2:25) dan pendiri Gereja-Nya, para Rasul, atas dorongan Roh Kudus, telah memilih pelayan-pelayan, sehingga umat Kristen tidak menjadi domba yang tanpa gembala. Maka dari itu, para imam dan segenap umat Allah hendaknya selalu mengusahakan dengan berbagai daya upaya supaya Gereja selalu mempunyai imam-imam yang sungguh-sungguh diperlukan untuk melaksanakan misinya yang ilahi. Untuk itu perlu dipersiapkan pemuda-pemuda yang mau menanggapi panggilan Tuhan untuk menjadi imam, seperti teladan nabi Yesaya, “Inilah aku, utuslah aku” (Yes. 6:8). Untuk dapat melaksanakan tugas ini secara efektif pada tingkat keuskupan maupun nasional perlu diadakan Komisi-komisi Panggilan guna menyebarkan undangan Tuhan kepada para pemuda untuk menjadi imam.

III. KEHIDUPAN PARA IMAM

III.1. PANGGILAN PARA IMAM UNTUK KESEMPURNAAN

III.1.a. Panggilan Para Imam untuk Kesucian

Panggilan kepada kesucian oleh Kristus diamanatkan kepada semua orang beriman, “Hendaknya kalian menjadi sempurna, seperti Bapamu di sorga adalah sempurna.”   (Mat. 5:48) Maka seperti yang dinyatakan oleh Paus Pius XI dalam Ensiklik, Ad catholici sacerdotii:

Para imam, yang dipanggil untuk menggembalakan umat, wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan khas, yakni : karena dengan menerima Tahbisan mereka secara baru ditakdiskan kepada Allah, mereka menjadi sarana yang hidup bagi Kristus Sang Imam Abadi, untuk dapat melangsungkan di sepanjang masa karya-Nya yang mengagumkan, yang dengan kekuatan adikodrati telah mengembalikan keutuhan segenap umat manusia (AAS 28, hal.10).

    

Oleh karena itu para imam yang membuka diri terhadap bimbingan Roh Kudus diperkaya dengan rahmat istimewa supaya makin diteguhkan dalam kehidupan roh. Walaupun rahmat Allah, juga melalui pelayan-pelayan yang tak pantas, mampu melaksanakan karya keselamatan, lazimnya Allah menampilkan karya-karya-Nya yang agung melalui mereka yang lebih terbuka bagi dorongan dan bimbingan Roh Kudus. Konsili Vatikan II dengan sungguh-sungguh mengajak semua imam untuk selalu berusaha menuju kekudusan yang semakin luhur, sehingga dari hari ke hari mereka menjadi sarana yang semakin sesuai dalam pengabdian kepada segenap umat Allah.


III.1.b. Pelaksanaan Ketiga Fungsi Imamat

     Menuntut dan Sekaligus Mendukung Kesucian

Pada hakikatnya para imam akan mencapai kesucian dengan menunaikan tugas-tugas mereka dalam Roh Kristus, secara tulus dan tanpa mengenal lelah. Dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan Sabda Allah para imam selalu mendengarkan Sabda Tuhan yang harus mereka sampaikan kepada umat Allah. Dengan demikian para imam dapat selalu memperoleh santapan rohani mereka dari Sabda Allah, yang akan membawa mereka kepada persatuan yang lebih erat dengan Kristus Sang Guru.

Sebagai pelayan Liturgi, terutama dalam Kurban Ekaristi, para imam secara istimewa membawakan Pribadi Kristus, yang telah menyerahkan diri sebagai Kurban demi pengudusan manusia. Maka hendaknya para imam, sementara merayakan misteri wafat Tuhan itu, mematikan anggota-anggota tubuh mereka dari cacat cela dan nafsu-nafsu. Dan sebagai pembimbing dan gembala umat Allah, para imam melakukan askese yang khas bagi gembala jiwa-jiwa: tidak mencari keuntungan pribadi melainkan apa yang bermanfaat bagi banyak orang, supaya mereka diselamatkan, dan bila perlu juga menyerahkan nyawa bagi domba-domba mereka. Dengan demikian mereka akan secara sempurna meneladan Kristus, Sang Gembala Baik (Lih. Yoh. 10:11).


III.1.c. Keutuhan dan Keselarasan Kehidupan Para Imam

Keutuhan hidup para imam tidak tercapai melulu dengan mengatur secara lahiriah karya-karya pelayanan, pun tidak melalui praktik latihan-latihan rohani semata-mata, betapapun itu semua ikut mendukung keselarasan hidup mereka. Para imam mampu mewujudkan keutuhan itu bila dalam menjalankan pelayanan mereka mengikuti teladan Kristus yang makanan-Nya ialah menjalankan kehendak Bapa, yang mengutus-Nya untuk menyelesaikan karya-Nya (Yoh. 4:34), artinya: kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah perutusan Gereja menurut Injil, sebab kesetiaan terhadap Kristus tidak terceraikan dari kesetiaan kepada Gereja-Nya. Maka cinta kasih kegembalaan hendaknya menjadikan para imam selalu berkarya dalam ikatan persekutuan dengan para Uskup serta saudara-saudara seimamat lainnya. Dengan demikian para imam akan dipersatukan dengan Tuhan mereka dan melalui Dia dengan Bapa dan Roh Kudus, sehingga dapat menikmati hiburan rohani dan kegembiraan yang meluap.

III.2. TUNTUTAN-TUNTUTAN ROHANI YANG KHAS DALAM KEHIDUPAN IMAM

III.2.a. Kerendahan Hati dan Ketaatan

Karya ilahi itu melampaui segala kekuatan dan kebijaksanaan manusiawi. Maka menyadari kelemahannya itu para imam, sebagai pelayan Kristus, bekerja dengan rendah hati, dan bagaikan tawanan Roh (Kis. 20:22), dalam segalanya dibimbing oleh kehendak Dia yang menghendaki keselamatan semua orang. Maka para imam hendaknya melaksanakan pelayanan imamatnya dalam persekutuan hirarkis seluruh Tubuh dan melalui ketaatan membaktikan kehendak mereka sendiri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, sambil menerima dan menjalankan dalam semangat iman apa yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Paus dan Uskup mereka serta para pemimpin lainnya; sambil dengan sukarela mengorbankan kemampuan dan bahkan diri mereka sendiri (Lih. 2 Kor. 12:15), dalam tugas manapun yang dipercayakan kepada mereka, juga dalam tugas yang dipandang agak rendah dan tidak terpandang. Melalui kerendahan hati dan ketaatan yang sukarela dan penuh tanggungjawab itu para imam menjadi secitra dengan Kristus, yang “mengosongkan Diri dengan mengenakan penampilan seorang hamba…menjadi taat sampai mati” (Flp. 2:7-9).


III.2.b. Selibat: Diterima dan Dihargai Sebagai Kurnia

Walaupun dalam praktik Gereja Purba dan tradisi Gereja-Gereja Timur terdapat imam-imam beristri yang besar sekali jasanya, ditinjau dari pelbagai sudut selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat. Dengan menghayati selibat demi Kerajaan Sorga (Mat. 19:12), para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus, sehingga mereka lebih bebas berpaut kepada Kristus dengan hati yang tidak terbagi (1 Kor. 7:32-34), lebih bebas dalam Kristus dan melalui Kristus membaktikan diri dalam pelayanan kepada Allah dan sesama dalam karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan diri di hadapan umum bahwa mereka bermaksud untuk seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus (Lih. 2 Kor. 11:2).


III.2.c. Sikap Terhadap Dunia dan Harta Duniawi – Kemiskinan Sukarela

Karena menurut Sabda Tuhan sendiri mereka bukan dari dunia ini (Yoh. 17:14-16), maka sambil menggunakan hal-hal duniawi seolah-olah tidak menggunakannya (1 Kor. 7:31) para imam akan mencapai kebebasan dari segala kesibukan yang tidak teratur, dan akan lebih terbuka untuk mendengarkan Sabda Ilahi dalam hidup sehari-hari. Dari kebebasan dan sikap terbuka itu tumbuhlah sikap penegasan rohani, yang membantu mereka untuk menemukan sikap yang tepat terhadap dunia dan harta duniawi, dan dapat menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah, serta menolak segala sesuatu yang merugikan perutusan mereka. Maka harta yang mereka peroleh selama menunaikan suatu jabatan gerejawi hendaknya digunakan oleh para imam maupun para Uskup untuk dapat hidup secara layak dan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Selebihnya hendaknya digunakan untuk kesejahteraan Gereja dan karya-karya cintakasih. 

Jangan hendaknya jabatan gerejawi dipakai untuk memperkaya diri atau memperluas milik kerabat sendiri, misalnya dengan berdagang. Bahkan para imam diundang untuk hidup dalam kemiskinan sukarela sesuai dengan teladan Kristus yang telah menjadi miskin bagi kita, supaya kita menjadi kaya (Lih. 2 Kor. 8:9). Kesaksian para Rasul dan teladan Gereja Purba perlu diikuti, sehingga para imam pun hendaknya menyalurkan kurnia Allah yang mereka terima dengan cuma-cuma secara cuma-cuma pula (Lih. Kis. 8:18-25), dan menggunakan barang-barang sebagai milik bersama (Lih. Kis. 2:42-47). Dengan corak hidup itu para imam secara terpuji dapat mempraktikkan semangat kemiskinan yang dianjurkan oleh Kristus.

III.3. UPAYA-UPAYA YANG MENDUKUNG KEHIDUPAN PARA IMAM

III.3.a. Upaya-Upaya untuk Mengembangkan Hidup Rohani

Sarana-sarana yang tersedia bagi para imam untuk mengembangkan hidup rohani mereka adalah perayaan Ekaristi, di mana imam menyediakan santapan rohani pada kedua meja, yakni Sabda Allah dan Ekaristi; Sakramen Tobat yang bila disiapkan dengan pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati. Selain itu juga doa batin, retret rohani, dan bimbingan rohani, kunjungan kepada Sakramen Mahakudus dan devosi kepada Bunda Maria, Ratu para Rasul dan para Imam. Maka dalam persatuan mesra dengan jemaat yang mereka layani mereka dapat berseru kepada Allah, Bapa, sebagai anak-anak dalam Kristus, “Abba, Bapa” (Rom. 8:15).


III.3.b. Studi dan Ilmu Pastoral

Ilmu pengetahuan pelayan kudus harus kudus juga, karena digali dari sumber yang kudus dan mengarah kepada tujuan yang kudus pula. Pertama-tama itu ditimba dari Kitab Suci, kemudian dari para Bapa Gereja, para Pujangga Gereja, pusaka-pusaka Tradisi lainnya, dokumen-dokumen Magisterium, dari Konsili-konsili dan para Paus; juga para teolog yang dapat diandalkan. Para Uskup perlu mendirikan pusat-pusat studi pastoral; mengadakan kursus-kursus, pertemuan-pertemuan, mengirim para imam untuk studi lanjut, yang kesemuanya dimaksudkan supaya para imam dapat belajar dengan lebih tekun dan lebih efektif tentang berbagai cara mewartakan Injil dan merasul.

III.3.c. Balas Jasa yang Wajar Bagi Para Imam

“Pantaslah pekerja mendapat upahnya, “ kata St. Lukas (Luk. 10:7), oleh karena itu para imam selayaknya menerima balas jasa yang sewajarnya atas pelayanan mereka. Lagipula, “Tuhan telah menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil harus hidup dari pemberitaan Injil itu.“ (1 Kor. 9:14) Maka umat beriman yang menerima pelayanan pastoral dari para imam terikat kewajiban yang sesungguhnya untuk mengusahakan supaya para imam hidup secara layak. Hendaknya balas jasa itu sesuai dengan kondisi mereka dan sekaligus memungkinkan mereka untuk tidak hanya memberi upah selayaknya kepada mereka yang melayani para imam, tetapi juga memberi bantuan kepada orang miskin dan untuk menikmati liburan yang sewajarnya setiap tahun.


III.3.d. Pembentukan Kas Umum dan Pengadaan Jaminan Sosial Bagi Para Imam

Sesuai dengan teladan Gereja Purba yang menganggap segala sesuatu milik bersama dan membagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya, maka dianjurkan supaya dibentuk yayasan keuskupan yang menghimpun dana-dana yang masuk dari persembahan umat beriman; juga suatu kas umum supaya Uskup dapat memenuhi kewajiban-kewajiban lain terhadap orang-orang yang berjasa bagi Gereja dan mencukupi pelbagai kebutuhan keuskupan; dan juga supaya keuskupan yang lebih kaya dapat membantu keuskupan yang berkekurangan.

Sebagai upaya untuk menyediakan jaminan sosial bagi para klerus, hendaknya Konferensi-Konferensi Uskup membentuk yayasan-yayasan keuskupan atau beberapa keuskupan bersama-sama guna menyediakan pemeliharaan kesehatan dan bantuan medis untuk yang sakit, invalid ataupun yang lanjut usia. Dengan demikian mereka sendiri, tanpa kecemasan menghadapi masa depan, dapat menghayati Injil dengan gembira, serta membaktikan diri sepenuhnya bagi keselamatan jiwa-jiwa.

KATA PENUTUP DAN AJAKAN

Sambil menyadari kegembiraan hidup imamat, Konsili Vatikan II melihat bermacam-macam kesukaran yang dihadapi para imam yang disebabkan oleh perubahan situasi sosial ekonomi, adat kebiasaan orang, dan tata nilai-nilai dalam masyarakat, yang dapat menjadi hambatan yang nyata bagi perkembangan iman umat. Walaupun demikian, Konsili mengajak para imam untuk menyadari peranan kasih dan kuasa Allah Tritunggal yang bekerja secara tersembunyi seperti benih yang ditabur di ladang, sehingga dalam kenyataannya tanah yang ditaburi benih Injil sekarang di banyak tempat telah menghasilkan buah di bawah bimbingan Roh Kudus yang memenuhi dunia, dan yang dalam hati banyak imam dan umat beriman telah membangkitkan semangat misioner yang sejati (Ringkasan dari Dekrit “Presbyterorum Ordinis” tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, yang diberikan oleh Paus Paulus VI dalam Konsili Vatikan II, Roma, 7 Desember 1965, DOKUMEN KONSILI VATICAN II, Terjemahan: R. Hardawiryana,S.J. (DOKUMENTASI DAN PENERANGAN KWI, OBOR 1993, Jakarta).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting