User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

Kerendahan Hati

Kelepasan mempunyai seorang saudari yang bernama kerendahan hati. "Mereka itu adalah dua bersaudari yang tidak terpisah-kan," kata Santa Teresa. "Anda harus memeluknya, mencintainya dan jangan sekali-kali berpisah dari mereka." Kerendahan hati, bersama dengan kelepasan, merupakan disposisi hati yang baik untuk dapat mengasihi lebih banyak dan dengan cara yang lebih baik. Kerendahan hati tidak dapat ada tanpa cintakasih, atau cintakasih tanpa kerendahan hati. Sesungguhnya kerendahan hati adalah putri cintakasih.

"Suatu saat saya sedang berpikir-pikir mengapa Allah begitu mencintai kerendahan hati. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas bagi saya dan saya mengerti, bahwa Allah adalah Kebenaran dan menjadi rendah hati berarti berjalan dalam kebenaran… Kita harus berjalan dalam kebenaran di dalam segala hal di hadapan Allah dan manusia. Janganlah ingin dipandang lebih baik daripada kenyataannya. Dalam segala hal yang kita perbuat, kita harus me-ngembalikan kepada Allah apa yang menjadi milik-Nya, yaitu segala kebaikan dan kebajikan, dan kepada diri sendiri apa yang menjadi milik kita, yaitu segala dosa dan kekurangan. Bila hal itu kita lakukan, kita tidak akan terlalu terpengaruh oleh pandangan dunia ini yang penuh dengan kepalsuan dan kesombongan," tulis Santa Teresa dalam bukunya 'Puri Batin'.

"Pada hemat saya," kata Santa Teresa lagi, "sungguh merupakan karunia yang besar bila Allah mengirim kepada kita satu hari saja yang berisi pengenalan diri sendiri yang rendah hati, biarpun harus dibayar dengan banyak kesusahan dan kegagal-an, daripada banyak hari yang penuh hiburan dalam doa." Kerendahan hati yang sejati berasal dari terang Allah yang diberikan lewat pengalaman kasih Allah. Bila kita berada dalam suatu ruangan gelap, kita tidak dapat melihat segala sesuatu yang ada didalamnya dan mungkin mengira, bahwa ruangan itu kosong. Bila ada terang sedikit mulailah tampak barang-barang yang ada dan bahwa ruangan itu ternyata tidak kosong, tetapi kita tidak melihat kotoran pada lantai atau debu pada meja kursi. Semakin terang cahayanya semakin tampak segala kotorannya, bahkan debu pada meja dan lantai serta sarang labah-labah yang ada disudut kamar. De-mikian halnya dengan jiwa kita. Bila orang berada dan tinggal dalam kegelapan dosa, orang malah mengira, bahwa dirinya bersih. Bila terang Allah mulai menyinari hatinya, dengan segera ia akan melihat bahwa banyaklah barang-barang dalam kamar hatinya, artinya dosa-dosanya, sehingga ia dibawa kepada pertobatan. Kemudian bila ia setia, maka Tuhan mulai memberikan cahaya yang lebih besar, sehingga ia semakin melihat segala cacat celanya. Apa yang semula tidak dilihatnya, yaitu segala macam kotoran dan noda, kini mulai dilihatnya menurut keadaannya yang sesungguhnya. Bila ke-mudian cahaya itu semakin besar, bahkan debu-debu yang lembut pun kelihatan semuanya, padahal semula ia mengira, bahwa semuanya sudah bersih. Itulah sebabnya mengapa para kudus, karena terang yang mereka terima dari Allah, begitu menyadari dirinya lemah dan berdosa, sekaligus terang itu memperlihatkan kepadanya kerahiman Allah yang maha besar, sehingga mereka tidak putus asa, melainkan menjadi rendah hati."

Santa Teresa membandingkan hidup doa dengan permainan catur bersama dengan Sang Raja Surgawi. "Bila kita sering melakukan permainan itu, dengan cepat kita akan tahu, bagaimana menyekak Sang Raja Ilahi! Ia tidak akan dapat keluar dari sekak kita dan Ia pun tidak ingin keluar daripadanya. Dalam permainan ini sang ratulah yang berperanan paling penting, sedangkan yang lain-lainnya hanya membantu dia. Tidak ada ratu lain yang dapat menyekak Sang Raja dengan efektif seperti kerendahan hati."

Suatu contoh tentang kerendahan hati yang memenangkan hati Allah kita jumpai dalam perumpamaan orang parisi dan pemungut cukai yang berdoa di kenisah. Dalam masyarakat Yahudi waktu itu seorang parisi adalah seorang terpandang dalam masyarakat, seorang tokoh masyarakat, sedangkan pemungut cukai dianggap sebagai sampah masyarakat, seorang pendosa besar, sebab ia bukan hanya seorang koruptor, tetapi sekaligus juga kolaborator dengan penjajah Romawi. Orang parisi itu dengan penuh kebanggaan memuji dirinya sendiri tentang segala prestasi yang telah diperbuatnya dan dia tampaknya sangat puas dengan semuanya itu. "Aku bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan juga bukan seperti pemungut cu-kai ini. Aku berpuasa dua kali se-minggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilan-ku." (Luk. 18: 11-12). Kalau orang mendengar pres-tasinya itu, orang akan manggut-manggut penuh keka-gumam ter-hadap apa yang diperbuatnya, bahkan mungkin akan memberikan ucapan selamat kepadanya. Namun lain sekalilah pernilaian Allah yang Mahatinggi, bahkan Ia memberikan pernilaian yang sebaliknya. Karena itu Santo Lukas memulai perumpamaan itu dengan kalimat berikut: "Kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini" (Luk 18-9).

Sementara itu di sudut belakang, pemungut cukai itu ber-diri jauh-jauh. Dengan kerendahan hati yang besar ia mengakui segala dosa-dosanya. Ia sadar, bahwa hidup rohaninya kacau-balau dan ia tahu, bahwa dosa-dosanya banyak sekali. Namun ia juga tahu, bahwa Allah itu maharahim dan mahamurah, sehingga ia berani memanjatkan doanya. Ke-mudian Yesus memberikan komentar dengan nada resmi atas keduanya itu: "Aku berkata kepadamu: Orang ini (pemungut cukai) pulang kerumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang yang lain itu (orang parisi)  tidak." Mengapa demikian? "Sebab barang siapa meninggikan dirinya, akan di-rendahkan dan barang siapa merendahkan dirinya, akan ditinggikan" (a.14).

Berkali-kali dalam Kitab Suci dikatakan, bahwa Allah akan merendahkan yang sombong dan mengangkat yang rendah hati, seperti umpamanya: "Manusia yang sombong akan direndahkan, dan orang yang angkuh akan ditundukkan" (Yes 2:11.17; 5:15). "Barang siapa meninggikan diri, akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, akan ditinggikan." (Mat 23:12). Karena Allah adalah kebenaran, maka Ia membenci kesombongan, sebab pada hakekatnya kesombongan itu adalah dusta dan kerendahan hati adalah kebenaran.

Kerendahan hati memenangkan hati Allah dan dapat memperoleh segalanya dari Dia. Hal ini secara istimewa telah diungkapkan oleh Santa Theresia dari Lisieux: "Yang berkenan kepada Allah ialah, karena Dia melihat, bahwa saya mencintai kekecilan dan kepapaan saya dan bahwa saya meletakkan seluruh harapan saya kepada kerahimanNya." Semakin kita mengakui, bahwa kita ini lemah dan papa, semakin dalam Allah membungkuk kepada kita, untuk melimpahi kita dengan kebaikanNya." Santo Agustinus mengatakan: "Allah lebih memilih kerendahan hati dalam perkara-perkara yang terlaksana dengan tidak baik, daripada kesombongan perkara-perkara yang dilakukan dengan baik." Tampaknya memang aneh, tetapi benar, karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan perbuatan-perbuatan kita, tetapi karena rahmat dan kerahiman Allah. Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang rendah hati. Seperti dikatakan Santo Paulus: "Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah." (2 Kor 3:5).

Bagaimanakah kerendahan hati yang sejati itu? Inilah yang dikatakan Santa Teresa: "Ingatlah, bahwa kerendahan hati sebagian besar terdapat dalam kerelaan untuk melakukan apa yang diinginkan Tuhan bagimu, serta meresa bahagia, bahwa Dia akan melakukannya dan selalu menyadari, bahwa engkau tidak layak disebut hambaNya." Selama kita hidup di dunia ini, tidak ada yang lebih penting daripada kerendahan hati untuk mendasari hidup kita. Kerendahan hati harus selalu aktif, seperti lebah yang mengumpulkan madu. Tanpa kerendahan hati, segala-galanya akan hilang.

Bahkan dalam bab terakhir ruangan yang ketujuh dari 'Puri Batin'nya, di mana ia menggambarkan rahmat Allah yang begitu luhurnya, Santa Teresa masih menekankan pentingnya kerendahan hati ini: "Pondamen dari seluruh bangunan ini adalah kerendahan hati, dan Tuhan tidak menginginkan bangunan itu menjadi tinggi, bila tidak ada kerendahan hati sejati. Sesungguhnya demi kebaikanmu sendirilah bahwa bangunan itu tidak tinggi, sebab bila terus naik, semuanya akan runtuh dan roboh berantakan. Karena itu kamu masing-masing harus berusaha menjadi yang terkecil, menjadi hamba saudari-saudarimu, serta berusaha terus-menerus untuk menyenangkan dan melayani saudari-saudarimu. Bila hal itu kamu lakukan, pondamenmu akan menjadi sangat kuat dan Istanamu tidak akan roboh."

Kerendahan hati inilah yang memberikan kepada Santa Theresia dari Lisieux keberanian untuk mengharapkan segalanya dari Tuhan dan Tuhan memang me-menuhi pengharapannya. Dalam suratnya kepada kakaknya Celine ia menulis: "Celine, Tuhan tidak membutuhkan bertahun-tahun untuk melaksanakan karya cintakasih-Nya dalam suatu jiwa. Seberkas pancaran dari hati-Nya dapat membuat bunga-Nya mekar untuk keabadian." Dan kepada seorang misionaris dikatakannya: "Saya merasa, bahwa saya tidak akan pernah siap, jika Tuhan sendiri tidak berkenan mengubah saya. Ia dapat melakukannya dalam sesaat." Kerendahan hati inilah yang telah menaklukan hati Allah: "Yang berkenan kepada Allah ialah, bahwa Ia melihat saya mencintai kekecilan dan kemiskinanku; bahwa saya menaruh harapan buta pada kerahimanNya. Kepercayaan, bukan lain daripada kepercayaanlah yang harus membawa kita kepada Sang Cintakasih." (Kesombongan adalah dusta, sedangkan kerendahan hati adalah kebenaran)

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting