Print
Hits: 1004

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

1. Siapakah jiwa yang terbelakang itu?

Sebagaimana dalam kehidupan manusia biasa, kita jumpai anak-anak yang mengalami perkembangan yang sempurna, namun juga ada anak-anak yang tidak mengalami perkembangan yang baik, tubuh berkembang, namun jiwa dan pikirannya tidak berkembang/terbelakang. Demikian pula dalam dunia rohani ada pula orang yang tidak berkembang dan tidak mencapai kepenuhan pribadinya atau tidak pernah mencapai kedewasaan rohani, baik karena kelalaian atau karena kemalasan rohani. Dalam hal ini jiwa-jiwa yang demikian itu tidak dapat digolongkan pada para pemula atau juga mereka yang telah maju. Mereka masuk dalam kelompok jiwa-jiwa yang terbelakang. Yang menyedihkan ialah, bahwa jumlah mereka itu banyak.

Dalam kelompok ini ada yang dahulu melayani Tuhan dengan semangat, namun sekarang bersikap acuh tak acuh. Maka yang acuh tak acuh dapat digolongkan dalam kelompok ini. Dalam masa yang lampau orang ini punya semangat yang sungguh-sungguh, namun dalam perjalanan selanjutnya mereka tidak menjawab rahmat Tuhan dengan baik, dan akhirnya lama kelamaan mundur dan terbelakang. Kalau tidak ada penyalahgunaan rahmat dalam hidup mereka, Tuhan akan terus-menerus membawa mereka dalam perkembangan, karena Allah tidak pernah menolak rahmat yang diminta atau menuntut orang untuk melakukan hal yang melampaui kekuatannya. Santo Agustinus mengatakan, bahwa kita harus melakukan apa yang dapat kita lakukan dan berdoa untuk apa yang mungkin melampaui kekuatan kita. Jadi apa yang diperintahkan Tuhan selalu mungkin, baik dengan rahmat biasa maupun nantinya Tuhan akan memberikan rahmat yang luar biasa.

 

2. Mengabaikan perkara-perkara kecil

Mengapa sampai terjadi hal seperti itu? Pertama karena mengabaikan perkara-perkara kecil. Orang dengan mudah mengabaikan perkara-perkara kecil tanpa menyadari dampaknya yang besar. Perkara-perkara yang tampaknya kecil dapat punya akibat yang serius, seperti sabda Tuhan sendiri: "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar" (Luk 16:10). Jadi apa yang kita lakukan setiap hari, itulah yang memberikan nilai pada perbuatan-perbuatan kita, baik secara positif maupun secara negatif. Bila perbuatan-perbuatan kecil yang dilakukan dari pagi sampai malam itu bersifat positif, maka akan membentuk kebajikan-kebajikan dan kebajikan itu akan terus berkembang.

Hal-hal yang tampaknya sepele sesungguhnya bernilai besar dalam hubungan dengan tujuan akhir kita, yaitu Allah yang harus dikasihi di atas segala sesuatu. Perkara itu juga punya arti besar bila dilakukan dalam semangat, kepercayaan dan cinta kasih. Bila hal itu kita lakukan, maka kita akan selalu hidup di hadirat Allah, dari pagi sampai malam, suatu rahmat yang besar. Kita tidak akan mengikuti kecenderungan kodrati kita yang dikuasai egoisme. Sedikit demi sedikit akan berkembang dalam diri kita semangat untuk melayani Tuhan dan untuk keselamatan jiwa-jiwa. Kalau kita tidak mengikuti jalan ini, kita akan menyimpang ke jalan yang menuju ke jurang naturalisme praktis dan membiarkan diri kita dikuasai egoisme yang banyak menguasai perbuatan-perbuatan kita.

Melalaikan perkara-perkara kecil dalam pelayanan kepada Allah akan cepat menyebabkan orang melalaikan perkara-perkara besar. Misalnya dalam hidup seorang religius atau imam hal itu akan menyebabkannya mendaraskan ibadat tanpa semangat devosi, atau menghadiri Misa tanpa persiapan sama sekali, mempersembahkan Misa cepat-cepat tanpa perhatian. Jika seorang imam mengikuti jalan yang menurun ini, sedikit demi sedikit dia akan menjadi seorang pejabat rohani belaka. Kemudian dia akan melakukan tugas-tugasnya yang suci dengan sembrono, sedangkan untuk tugas-tugasnya yang dikagumi orang sebagai penulis, dosen, atau penceramah, ia akan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Akhirnya dia akan lebih mementingkan hal-hal yang sekunder dan melupakan apa yang primer. Perayaan Ekaristi yang pada dasarnya mengabadikan dan menghadirkan kurban Kristus di salib serta memberikan buah-buahnya kepada kita, sesungguhnya merupakan hal yang paling penting dalam hidup baik bagi umat yang serius maupun bagi imam itu sendiri. Misa yang dirayakan dengan semangat iman sesungguhnya jauh lebih penting daripada kegiatan kita sendiri. Kecuali itu Perayaan Ekaristi tadi mengarahkan kegiatan kita kepada tujuan adikodrati dan menjadikannya subur secara rohani. Sebaliknya bila kita menyimpang dari tujuan ini kita akhirnya hanya mencari diri sendiri dalam segala kegiatan kita, sedemikian rupa, sehingga akhirnya bahkan melalaikan keselamatan jiwa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Melalaikan hal-hal kecil dalam pelayanan kepada Allah akhirnya menjadikan kita lupa akan hal itu serta menjadikan semuanya mandul.

Sebaliknya dalam Santo Lukas Tuhan bersabda: "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar" (Luk 16:10). Siapa yang setiap hari setia kepada tugas kewajibannya yang terkecil sebagai orang kristen atau religius, akan menerima rahmat kesetiaan bahkan sampai kepada kemartiran, seandainya dia harus memberikan kesaksian tentang Allah dengan darahnya. Maka dalam dirinya akan terpenuhilah sabda Tuhan: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu" (Mat 25:23). Tetapi siapa yang biasa melalaikan perkara-perkara kecil dalam pelayanan kepada Allah, akhirnya akan melalaikan perkara-perkara yang besar. Kalau begitu, bagaimana dia akan dapat menyelesaikan tugas-tugasnya yang mungkin berat?

 

3. Menolak kurban-kurban yang diminta

Yang kedua menolak kurban-kurban yang diminta. Inilah yang menyebabkan kesuaman pada jiwa-jiwa yang terbelakang, karena mereka menolak kurban-kurban kecil yang diminta Tuhan. Beberapa orang merasa dipanggil untuk bentuk hidup yang lebih serius dan sempurna, pada doa-doa yang mendalam, pada kerendahan hati yang menjadi dasar segala kebajikan. Tetapi orang-orang ini juga menolak, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung, yaitu dengan mencari hiburan-hiburan. Dan seolah-olah orang itu tidak mau mendengar panggilan Tuhan “hari ini kalau kamu mendengar suara Tuhan, jangan keraskan hatimu.” Ada orang yang sibuk melakukan sesuatu, misalnya menulis buku, membuat video dan lain-lain, supaya diketahui orang, namun melupakan sesuatu yang pokok, menolak apa yang seharusnya dilakukan, yaitu melakukan kurban-kurban yang kecil untuk penyangkalan diri. Kadang-kadang orang memang sadar untuk melakukan semuanya itu, namun seringkali juga lupa. Penyangkalan diri yang kecil-kecil itu sering diabaikan, padahal penting, sebab tanpa penyangkalan diri dan kurban itu tak mungkin orang memiliki hidup rohani yang sejati. Bila kurban-kurban tadi diabaikan, orang menjadi terbelakang dan bisa-bisa akan tetap demikian adanya.

Perlahan-lahan hidupnya tidak terarah lagi kepada Tuhan, namun berpusat pada diri sendiri dan perlahan-lahan orang itu akan kehilangan semangat sejati untuk melayani Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa dan cintanya akan menjadi dingin. Ia akan jatuh pada kesuaman; perlahan-lahan akan mengabaikan dosa-dosa kecil dan akhirnya ia dikuasai oleh dosa-dosa itu.

Di samping tidak adanya semangat berkurban itu, hal-hal lain dapat menimbulkan kesuaman dalam jiwa yang terbelakang ini, yaitu sikap yang tidak pernah serius, bergurau terus-menerus, kebiasaan berbohong, sehingga dengan enaknya menceriterakan hal-hal yang tidak benar. Akhirnya orang itu akan jatuh pada kemalasan rohani atau acedia dan perlahan-lahan perkara rohani menjadi hambar dan tidak ada rasanya lagi. Perjuangan melawan cacat yang dominan berhenti dan hal itu bahkan ditampilkan sebagai suatu kebajikan serta menimbulkan nafsu-nafsu tak teratur. Ia menjadi acuh tak acuh dan tak peduli lagi akan kesempurnaan, serta apa yang dijanjikan dalam kaul-kaulnya, bahkan perintah yang utama pun diabaikan.

4. Kecenderungan untuk mempermalukan atau menertawakan orang lain

Dalam jiwa-jiwa yang terbelakang itu ada kecenderungan untuk mengejek dan mempermalukan orang, bukan sekedar bercanda, namun dengan niat jahat supaya orang itu terlihat bodoh. Hal itu bisa menjadi serius sekali, bahkan pernah terjadi bahwa orang yang dipermalukan itu dapat bunuh diri. Ia mempermainkan, mengejek dan menertawakan orang, serta membuat orang itu kelihatan bodoh. Hal ini jahat sekali. Ini melawan cinta kasih. Boleh orang bersenda gurau namun ada batas-batasnya. Membuat orang menjadi bahan tertawaan orang lain adalah sesuatu yang jahat sekali dan bertolak belakang dengan cinta kasih. Bila hal itu dilakukan terhadap orang yang harus dihormati, itu bisa menjadi dosa maut, kata Santo Thomas Aquinas. Sungguh merupakan dosa yang mengerikan bila orang mempermalukan orang tua, pimpinan atau orang saleh. Membuat orang jadi bahan tertawaan dapat menyebabkan seseorang yang masih lemah imannya berpaling dari yang baik dan itu merupakan dosa yang berat di hadapan Tuhan. Saya pernah bertemu dengan seorang bapak yang tidak mau ke gereja dan membenci gereja karena ia melihat seorang pastor yang membuat temannya jadi bahan tertawaan. Dan selama puluhan tahun, ia tidak mau ke gereja.

Orang yang suka mempermalukan orang itu sebenarnya adalah jiwa yang terbelakang, menghambat orang lain dan seringkali tanpa disadarinya ia telah menjadi alat di tangan iblis. Pencemooh itu cenderung menjadikan orang yang sungguh saleh bahan tertawaan. Ia suka menampilkan kekurangan orang tadi serta meremehkan kebajikan-kebajikannya. Mengapa begitu? Karena ia sendiri merasa, bahwa kebajikannya sendiri tidak banyak, namun ia tidak mau mengakuinya. Dengan demikian ia amat merugikan orang-orang yang lemah yang dibuatnya takut dan sementara dia sendiri menuju ke kebinasaan, ia sekaligus menyebabkan kehancuran orang lain.

5. Akhir yang menyedihkan dari orang yang ada dalam keadaan ini

Inilah yang menyedihkan dari keadaan jiwa-jiwa yang terbelakang itu. Santo Thomas Aquinas berkata “jiwa-jiwa yang terbelakang ini dapat sampai pada kebutaan rohani serta kekerasan hati yang sulit sekali diperbaiki.” Santo Bernardus berkata “kamu akan lebih mudah melihat sejumlah awam bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya serta menempuh jalan kebajikan, daripada seorang religius yang jatuh ke dalam kesuaman kembali kepada semangat awalnya.” Sebab semakin tinggi orang itu naik, kejatuhannya juga semakin mengerikan. Maka jiwa-jiwa yang terbelakang ini ada dalam bahaya, orang itu harus didoakan secara istimewa dan dipercayakan pada Bunda Maria, supaya dengan doa yang banyak ia dapat bertobat.

Dalam sebuah komunitas religius biasanya ada 4 kelompok religius:[1]

Biarawan-biarawati yang termasuk dalam 4 kelompok ini dapat dijumpai di semua serikat, baik pada serikat yang paling suci, maupun juga dalam serikat yang kehilangan semangat. Perbedaannya ialah, bahwa dalam serikat yang sudah kehilangan semangat, sebagian besar anggotanya terdiri dari orang yang suam. Sisanya terdiri dari beberapa orang yang jahat; lalu sejumlah kecil orang yang menuju kesempurnaan; dan sangat kecil yang sempurna. Sebaliknya dalam serikat yang punya semangat baik, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang menuju kepada kesempurnaan dan sisanya terdiri dari beberapa jiwa yang sempurna dan sejumlah kecil dari mereka yang suam dan sedikit sekali yang jahat.

Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebuah serikat religius mengarah kepada dekadensi atau kemerosotan, bila anggotanya yang suam mencapai jumlah yang sama dengan yang menuju kepada kesempurnaan. Separuh suam separuh menuju kesempurnaan, ini berarti mulai merosot. Yang dimaksud dengan yang bersemangat adalah orang yang tiap hari bergumul dalam doa, keterpusatan, penyangkalan diri, kemurnian hati dan dalam kerendahan hati. Sedangkan sebaliknya mereka yang tidak melakukan usaha ini dapat dimasukkan dalam kelompok yang suam, walau tidak melakukan dosa-dosa yang besar, namun dapat mempengaruhi orang lain untuk jatuh pula dalam kesuaman. Mereka amat merugikan keseluruhan tubuh dan mereka sendiri berada dalam bahaya besar, entah karena tidak akan bertahan dalam panggilannya atau jatuh dalam kesombongan atau dalam kegelapan.

Semuanya itu menunjukkan, betapa mudahnya orang menjadi jiwa yang terbelakang, menyimpang dari jalan kekudusan dan berhenti hidup dalam semangat iman. Kecuali itu kiranya dapat ditambahkan adanya 4 hal yang merugikan hidup rohani, yang dengan mudah menjadi keyakinan jahat yang menyusup ke dalam komunitas-komunitas, yaitu:

  1. Penghargaan berlebihan akan talenta dan kualitas-kualitas manusiawi belaka;
  2. Usaha menjalin persahabatan semata-mata karena motivasi manusiawi;
  3. Tingkah laku dan sikap penuh pamrih yang dikuasai oleh perhitungan manusiawi belaka, sikap yang licik dan licin dan bertolak belakang dengan kesahajaan injili;
  4. Rekreasi yang berlebihan, atau percakapan atau bacaan yang hanya memberikan kepuasan manusiawi belaka.[2]

Empat musuh hidup rohani ini menimbulkan ambisi, keinginan untuk kedudukan yang tinggi, atau ingin dikenal dan cari nama lewat karya-karya tertentu, serta mencari enaknya sendiri. Semuanya itu melawan perkembangan rohani dan menunjukkan berkuasanya semangat duniawi.

Pengaruh dunia seperti itu tidak hanya mempengaruhi kaum awam, tetapi juga para imam dan religius. Rekreasi bersama seringkali tidak mempersatukan mereka dalam persaudaraan sejati, melainkan masing-masing mengarahkan pandangannya kepada TV, video, dll. Media elektronika telah mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga tanpa disadari banyak yang telah kehilangan semangat religiusnya.

6. Peringatan Santa Teresa dari Avila

Di sini akan saya kutipkan apa yang pernah ditulis Santa Teresa dari Avila tentang biara-biara yang telah kehilangan semangatnya, yang kiranya juga dapat menjadi peringatan bagi kita semua. Di sini saya kutipkan bagian yang penting, walaupun agak panjang.

Dengan demikian ketika saya mencari rekreasi yang satu sesudah yang lain, perbuatan sia-sia yang satu sesudah yang lain, dan selalu menggunakan kesempatan yang ada, akhirnya semuanya itu menjadi begitu banyaknya dan menariknya, sehingga jiwaku mulai tenggelam di dalam kesia-siaan itu, sehingga saya malu untuk tampil di hadapan Allah dan bergaul mesra dengan Dia, seperti yang terjadi dalam meditasi. Kecuali itu, yang lebih parah lagi ialah, bahwa ketika dosa-dosaku semakin bertambah, rasa dan kesenanganku dalam latihan kebajikan mulai hilang. Kini saya melihatnya dengan jelas, ya Tuhan, bahwa semuanya itu meninggalkan saya, karena saya meninggalkan Engkau.[3]

Dalam hal ini saya kira biara-biara wanita tanpa klausura tampaknya sangat berbahaya dan bagi dia yang cenderung kepada yang jahat, justru merupakan jalan ke neraka daripada suatu sarana untuk bangkit dari kesuaman. Ini tidak berlaku bagi biara di mana dahulu saya berada (biara Encarnacion), karena di sana banyak sekali yang melayani Tuhan secara sempurna, sehingga Baginda (=Tuhan), karena Ia baik hati, tidak akan menolak untuk memberikan rahmat-rahmat khusus-Nya. Biara itu juga tidak terlalu terbuka, namun tetap mentaati peraturannya dengan ketat. Saya berbicara tentang biara-biara lain yang saya kenal dan lihat.

Hatiku sungguh sangat sedih, bahwa Tuhan harus memperingatkan para suster dalam biara-biara itu, tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali dan dengan sangat, untuk membawa mereka kepada keselamatan. Bagi mereka kemuliaan dan kesenangan dunia sudah begitu dianggap biasa, lagipula mereka punya pandangan yang begitu sesat tentang kewajiban-kewajiban mereka, sehingga hendaknya Tuhan berbelas kasihan, jangan sampai mereka, seperti yang sering saya perbuat dahulu, menganggap dosa sebagai kebajikan.[5]

O, sungguh mengerikan! Sungguh mengerikanlah kejahatan yang dilakukan biara-biara, di mana peraturan biara tidak lagi ditaati, hal itu berlaku baik bagi biara pria maupun wanita, sehingga di situ terdapat dua jalan yang diikuti, yang satu jalan kebajikan dan ketaatan serta disiplin dan yang lain jalan pelanggaran, dan keduanya seolah-olah diikuti secara sama. Tetapi tidak, bukan sama-sama diikuti, sebab karena kecenderungan kita pada yang jahat, kita lebih cenderung mengikuti jalan yang tidak sempurna. Karena lebih banyak diikuti, jalan itu lebih didukung dan diprioritaskan. Jalan kedisiplinan yang sejati begitu sedikitnya diikuti, sehingga biarawan atau suster yang mau mengikutinya sungguh-sungguh, akan merasa lebih terancam dari pihak sesama biarawannya atau susternya,[6] lebih daripada seluruh pasukan setan sekaligus. Dia juga harus lebih hati-hati dan terselubung dalam bicara tentang persahabatan yang diinginkannya dengan Allah daripada tentang persahabatan-persahabatan lainnya serta kelekatan-kelekatan lain yang telah diatur si iblis dalam biara-biara. Saya tidak tahu, mengapa kita harus heran, bahwa ada begitu banyak kejahatan di dalam Gereja, karena mereka yang harus menjadi teladan yang dapat diikuti kebajikannya oleh yang lain, nyatanya telah menghapuskan jejak-jejak semangat para kudus di masa lampau yang telah diwariskannya kepada biara-biara itu dengan banyak pengurbanan.[7] Semoga Tuhan berkenan mengadakan perbaikan-perbaikan sesuai dengan kebutuhan. Amin.[8]

Untuk mengatasi keterbelakangan ini kita harus sadar, bahwa dalam kerahiman-Nya yang tidak terbatas, seperti a.l. diperlihatkan-Nya kepada Santa Teresa, Tuhan membuat kita melangkah maju setapak setiap hari, yaitu panggilan untuk terus menuju kepada kesempurnaan cinta kasih. Baiklah kita ingat, seperti yang dikatakan Santo Yohanes dari Salib, bahwa pada senja hidup kita, kita akan diadili menurut cinta kasih.

 

[1] Garrigou-Lagrange oc. p.465.

[2] Garrigou Lagrance, o.c. hal 467.

[3] Riwayat Hidup, Bab VII no 1.

[4] Riwayat Hidup, VII, 3. Pada zaman Santa Teresa belum ada biara-biara aktif seperti sekarang ini. Namun dewasa ini pun banyak biara yang kehilangan semangatnya dan dikuasai semangat duniawi dengan segala konsekuensinya.

[5] oc., VII, 4.

[6] Saya ingat suatu kali ada seorang suster dari suatu biara yang mengikuti Retret Doa yang saya berikan. Dia begitu tersentuh, sehingga setiap hari dia berdoa selama satu jam di dalam kapel, sesudah menyelesaikan tugas-tugasnya. Dia dimusuhi oleh suster-suster lainnya, dikatakan macam-macam, sok suci, dll, padahal kalau ada suster-suster yang menonton TV sampai tengah malam tidak ada yang komentar.

[7] Saya teringat akan satu peristiwa yang saya alami di Belanda pada tahun 1968. Suatu hari saya diajak seorang romo Belanda mengunjungi sebuah komunitas suster yang baru pindah ke sebuah apartemen. Waktu ketemu, suster itu berkata dengan bangga: "Kami sudah tidak punya kapela." Waktu itu saya tidak tahu, harus tertawa atau menangis.

[8] oc. VII, 5.