Print
Hits: 12452

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

 Pengantar 

Sejumlah orang Katolik, dan hampir dipastikan jumlahnya cukup besar, merasa takut atau setidaknya kurang senang dengan dogma. Rasa takut atau tidak senang ini muncul dari gambaran bahwa dogma adalah suatu rumusan yang kaku, kering, dan bersifat memaksa. Dewasa ini istilah dogmatis bahkan dikenakan untuk menunjuk mereka yang dalam hidup rohaninya sangat menekankan ketaatan kepada aturan (yang bahkan tidak ada hubungannya dengan dogma) atau mereka yang memiliki semacam kecintaan terhadap hal-hal yang umum dianggap sebagai kebiasaan Katolik yang tradisional.

Pengertian Dogma

Dalam konteks teologi Katolik dogma berarti ajaran resmi yang wajib dipercaya oleh semua orang Kristen bahwa ajaran itu diwahyukan oleh Allah. Dogma adalah spesifikasi dari doktrin. Istilah doktrin mengacu kepada semua bentuk ajaran dalam Gereja baik yang resmi atau yang sekedar berupa pendapat teologis dari para ahli dibidang ini. Orang Kristen wajib mengimani semua dogma Gereja, sementara untuk doktrin di luar dogma diberikan kebebasan untuk mengikuti atau menolak suatu pendapat.

Sepanjang sejarah Gereja hampir selalu dogma dirumuskan setelah timbul pertentangan panjang mengenai suatu hal. Dogma menjadi keputusan akhir yang mengakhiri suatu debat panjang yang seringkali berlangsung panas dan secara praktis memecah-belah umat. Melalui dogma Gereja menyatakan sikap resminya dengan merumuskan secara tegas ajaran yang selalu diimaninya dan menolak pendapat-pendapat yang salah. Sepanjang yang saya ketahui hanya ada dua perkecualian untuk hal ini yaitu penetapan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa dan Maria Diangkat Ke Surga, penetapan kedua dogma ini tidak didahului oleh kontroversi yang panjang dan panas tetapi dilakukan untuk memberikan peneguhan terhadap dua ajaran yang sudah diimani oleh Gereja sejak semula.

Dari gambaran di atas kita melihat bahwa dogma terutama memiliki fungsi yang negatif yaitu untuk menolak pendapat yang tidak sejalan dengan warisan iman yang dimiliki Gereja. Fungsi ini kerap kali membuat rumusan dogma memuat bahasa yang ‘sangar’ dan dipenuhi oleh pernyataan “anathema sit!“ (terkutuklah dia!) yang berakar dari sikap  Yesus terhadap penyesat dan ajaran sesat (Mat 18:6; Mat 22:29), dan kemudian sikap Yesus ini diteruskan juga oleh Paulus (Gal 1:8-9), rumusan Paulus inilah yang kemudian secara khusus digunakan oleh Gereja untuk menunjukkan penolakannya terhadap ajaran-ajaran tertentu.

Penting untuk diperhatikan bahwa Gereja tidak membuat atau menciptakan dogma. Dogma hanya merupakan perumusan yang dilakukan secara agung dan meriah untuk menegaskan kepercayaan Gereja yang tengah digugat atau sekedar meneguhkan kepercayaan yang sudah selalu ada walaupun sedang tidak diganggu gugat. Selain itu juga perlu diperhatikan keterbatasan dogma yaitu kemustahilan untuk mendogmakan segala sesuatu yang diimani Gereja. Ada banyak kepercayaan Katolik yang tidak didogmakan secara resmi. Sebagai contoh misalnya tidak ada definisi dogmatik bahwa Allah itu baik, hal ini terjadi karena sampai hari ini tidak satu pun orang Katolik yang secara sengaja menyatakan bahwa Allah itu tidak baik (kalaupun ada biasanya itu hanya ungkapan emosional di tengah kesulitan dan kemalangan hidup), tetapi jika suatu hari nanti ada orang yang menyatakan bahwa Allah itu tidaklah baik dan dia kemudian mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk membenarkan pendiriannya dan pandangan ini kemudian mendapatkan banyak pengikut maka kita tinggal menghitung hari untuk menunggu munculnya penetapan dogma Allah itu baik. Bahwa dogma Allah itu baik baru ditetapkan setelah ada kontroversi yang telah disebutkan sebelumnya jelas bahwa ajaran Allah itu baik sudah ada jauh sebelum dogmanya ditetapkan, inilah gambaran sederhana mengenai dogma.

Siapa Menetapkan Dogma?

Di awal telah disinggung bahwa dogma ditetapkan oleh Gereja, tentu ini tidak berarti seluruh anggotanya. Tugas ini dijalankan hanya oleh Kuasa Mengajar Gereja, yang konkretnya dijalankan melalui dua cara, yaitu:

1.   Melalui Konsili-Konsili Oikumene dimana seluruh Uskup bersama dengan Paus sebagai pewaris dari Para Rasul yang dipimpin Petrus berkumpul untuk secara bersama-sama menyampaikan ajaran resmi Gereja mengenai hal-hal tertentu.

2.     Melalui Paus yang berbicara secara ex-cathedra (dari kursinya) yaitu ketika dia berbicara sebagai pengajar dan gembala Gereja yang tertinggi mengenai masalah iman dan moral dan menunjukkan kehendaknya agar apa yang dia sampaikan dipercayai dan ditaati oleh seluruh umat Kristen.

Bagaimanapun ini tidak berarti bahwa diluar kedua hal di atas berarti kita tidak perlu mendengarkan apa yang diajarkan oleh Gereja. Kedua hal di atas hanya menunjukkan tingkatan tertinggi dari wewenang yang dimiliki oleh Gereja dalam mengajar. Tentunya, ada wewenang yang tingkatannya lebih rendah namun tidak kalah pentingnya yaitu dimana Kuasa Mengajar (Paus dan Uskup) walaupun tidak mendefinisikan suatu dogma namun mereka menjelaskan ajaran yang sudah selalu diimani oleh Gereja.

Mungkin muncul suatu pertanyaan usil, bagaimana kita yang awam ini mengetahui atau membedakan apakah seorang Uskup atau Paus sedang mengajarkan sesuatu yang selalu diimani oleh Gereja, padahal kita-kita ini tidak mendalami hal-hal tersebut? Secara rasional hanya ada satu jawaban “yah belajarlah supaya tahu” tetapi ada hal lain yang menunjuk kepada sisi supranatural iman, yaitu yang disebut sebagai indera iman (sensus fidei, sense of faith). Dengan ini diyakini Gereja secara keseluruhan tidak dapat salah ketika menunjukkan suatu kesepakatan mutlak mengenai masalah-masalah iman dan moral. Hal ini tidak berarti bahwa setiap individu beriman menjadi kebal-salah dalam hal ini, tetapi dapat dikatakan bahwa ketika menjalani hidup rohani kita secara baik maka ada kecenderungan untuk lebih mudah menerima (bukan mengetahui) kebenaran iman dan ada kecenderungan untuk menolak ajaran yang salah.

Nilai Praktis Dogma

Kita mungkin pernah berkata dalam hati “Ya saya percaya dengan dogma-dogma itu, tapi lalu apa kaitannya dengan hidup saya?”. Kita bisa menggambarkan hubungan antara dogma dan hidup kita dengan ungkapan lex credendi- lex orandi- lex vivendi, yang berarti hukum percaya adalah hukum berdoa dan hukum cara hidup kita. Dogma pertama-tama menjadi dasar dari kehidupan ibadat kita, misalnya dogma bahwa Yesus itu sehakekat dengan Allah Bapa-Nya menjadi dasar bagi segala bentuk kultus dan pemujaan terhadap diri Kristus. Dogma transubstansiasi (bahwa dalam Ekaristi hakekat roti dan anggur berubah menjadi hakekat Tubuh dan Darah Kristus) merupakan dasar dari kebiasaan penyimpanan Ekaristi di Tabernakel dan penahtaannya dalam Monstrans saat Adorasi.

Selain itu dogma juga menjadi dasar bagi kehidupan moral Kristen. Dogma bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia misalnya menjadi dasar bahwa seorang Kristen hendaknya berusaha untuk hidup sebagaimana Kristus hidup dan menegaskan bahwa kekudusan bukanlah sesuatu yang mustahil bagi kita-kita yang lemah ini. Dogma transubstansiasi juga menjadi dasar bagi sikap moral untuk bersedia berbagi dengan sesama karena kita telah mengalami sendiri Kristus yang membagikan hidup-Nya untuk kita. Keyakinan bahwa pada akhir zaman tubuh kita akan dibangkitkan untuk kehidupan kekal merupakan dasar dari sikap menjaga tubuh kita tetap murni, merawatnya secara layak, memberikan penghormatan yang layak kepada jenazah serta penghormatan kepada relikui para kudus.

Sebagai orang beriman kita yakin bahwa dasar terdalam dari tatanan susila kita adalah iman kepada Allah, tanpa iman ini tatanan moral akan ambruk bagaikan rumah yang didirikan di atas pasir. Dalam pengertian seperti ini dogma bukanlah suatu teori tentang iman melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan rohani bahkan kehidupan sehari-hari kita.