Print
Hits: 13306

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Seorang antropolog evolusioner, Lionel Tiger, dalam sebuah artikel di U.S. News and World Report (Edisi 1 Juli 1996, hlm. 57), membenarkan apa yang telah diprediksi Paus Paulus pada tahun 1968: pelaksanaan KB secara luas akan berdampak amat buruk terhadap masyarakat kita. Efek-efek negatif tersebut meliputi penderitaan kaum wanita, kaum pria direndahkan, angka aborsi dan kelahiran di luar nikah yang melonjak tinggi, dan suatu gejala umum semakin parahnya hubungan antara kaum pria dan kaum wanita. Kejatuhan ini, imbuh Tiger, terjadi karena penggunaan besar-besaran pil KB.

Dalam makalah ini saya memberikan refleksi pribadi saya mengapa itu demikian. Kita mulai dengan sejarah singkat upaya mengontrol kelahiran. Kita baca dalam Kitab Suci bahwa Onan bersetubuh dengan Tamar, tetapi ia tidak mau Tamar hamil. Karena itu, ia “membiarkan maninya terbuang”. Tindakannya itu adalah “jahat di mata TUHAN, maka TUHAN membunuh dia juga” (Kej 38:9-10). Peristiwa itu terjadi pada zaman para bapa bangsa, sekitar delapan belas abad sebelum Yesus.

“Membiarkan mani terbuang” atau coitus interruptus adalah salah satu dari beberapa metode untuk menikmati hubungan seks sembari menghindari terjadinya kehamilan. Hypolitus pada tahun 225 M menyinggung soal wanita-wanita kaya yang menggunakan “obat mandul” supaya tidak punya anak (Menyangkal Bidaah-bidaah 9:12). Sama dengan para bapa Gereja yang lain ia dengan menyala-nyala menentang hal tersebut dan juga praktek-praktek kontrasepsi lainnya.

Tidak hanya Gereja Katolik yang menolak kontrasepsi. Pencetus Protestanisme, Martin Luther, menganggapnya sebagai dosa yang “lebih buruk daripada zinah dan incest” (Komentar atas Kitab Kejadian 38:10). Calvin dan Wesley, bersama dengan teolog-teolog Protestan lain, seperti Spurgeon dan Pink, semuanya mengutuk kontrasepsi. (Dalam bukunya yang bagus sekali, The Bible and Birth Control, Charles D. Provan menyajikan banyak sekali kutipan dari mereka dan juga para evangelis besar lainnya.)

Pada tahun 1930 kesatuan pandangan tentang kontrasepsi ini mengalami sedikit perpecahan. Para uskup Anglikan menerbitkan suatu keputusan yang membenarkan penggunaan sarana kontrasepsi (kondom) untuk “kasus-kasus ekstrim” tertentu. Dalam kurun waktu empat puluh tahun hampir semua Gereja Protestan (dengan kekecualian yang perlu dicatat seperti Mormon dan Amish) menerima penggunaan alat-alat anti-kehamilan.

Gereja Katolik tidak mengikuti arus tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1930, Paus Pius XI menerbitkan ensikliknya yang terkenal, Casti Connubii. Beliau mempertegas ajaran Kitab Suci tentang dua tujuan perkawinan. Setelah menciptakan kita sebagai laki-laki dan perempuan, Allah memberikan perintah yang pertama, “Beranakcuculah dan bertambah banyak.” Atau, terjemahan lainnya, “Buatlah banyak, banyak anak” (Kej 1:28). Pada bab berikutnya, Allah Pencipta memberikan motif lain untuk perkawinan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24).

Mengenai dua tujuan yang tak terpisahkan dari perkawinan ini (prokreasi dan unitif), Pius XI mengajarkan bahwa tidak pernah dibenarkan menggunakan cara-cara artifisial dan bahwa cara-cara natural hanya diizinkan untuk dipakai dengan batasan-batasan yang tegas.

Mayoritas orang Katolik menerima ajaran ini. Orangtua saya tidak terkecuali. Mereka menikah pada tahun 1941 dan memakai “metode irama” yang banyak dihujat untuk menjarangkan kehamilan. Ketika sudah mendapatkan jumlah yang mereka inginkan (atau mungkin karena akhirnya mendapatkan seorang putri), mereka melanjutkan memakai metode tersebut untuk menghindari kehamilan selanjutnya.

Pada tahun 40-an dan 50-an adalah lumrah bagi seorang Katolik untuk mengikuti ajaran Bapa Suci. Namun, situasi berubah drastis pada generasi saya. Terjadilah pada akhir tahun 50-an para ilmuwan menggabungkan hormon-hormon dan zat-zat kimia tertentu untuk menciptakan “kapsul-kapsul anovulatoris” yang akan dikenal dengan sebutan “Pil”. Pil ditampilkan sebagai solusi untuk nyaris segala masalah kita: ledakan penduduk, kehamilan-kehamilan tak dikehendaki, aborsi, pelecehan anak, kemiskinan yang dikaitkan dengan keluarga-keluarga dengan banyak anak, dan di atas semua yang lain, stress dalam perkawinan. Pasangan-pasangan sekarang memasuki suatu era baru perkawinan yang bahagia karena Pil akan memungkinkan mereka untuk melakukan hubungan seks kapan saja tanpa takut terjadi kehamilan.

Dengan sekian banyak “keuntungan”, muncul tekanan besar untuk mengubah ajaran Katolik. Kita harus memasuki dunia modern, menerima teknologi baru ini sebagai suatu berkat dari Allah. Bukankah meskipun mungkin sebuah pesawat tampak “tidak natural”, siapa yang tidak suka memilihnya untuk terbang  dari Jakarta ke Denpasar?

Pada saat yang bersamaan para pendukung KB artifisial/buatan meremehkan metode-metode alamiah dengan kalender, mengukur suhu, pantangan, dan kehamilan-kehamilan yang tak terduga. Sementara gurauan-gurauan (“Rolet Vatikan” dan “bayi-bayi berirama”) menempel di kepala banyak orang, kemajuan-kemajuan yang sangat berarti dalam teknik-teknik KB alamiah secara luas tidak diindahkan.

Menanggapi serangan kritik ini, Bapa Suci memutuskan untuk membentuk suatu tim untuk mempelajari masalah Pil ini lebih lanjut. Tim ini meliputi para ilmuwan, teolog, dan pasangan-pasangan suami-istri. Di dalam “semangat Vatikan II” (1963-65) banyak yang beranggapan bahwa pada waktu itu Gereja akan bertindak sebagaimana suatu pemerintahan demokratis di mana pendapat mayoritas yang diterima. Dan, tampak pada waktu itu mayoritas pasangan suami-istri Katolik menggunakan alat-alat kontrasepsi, atau setidaknya mempertimbangkan untuk menggunakannya. Seruan “Vox Populi, Vox Dei!” kerap terdengar.

Ternyata, pada tahun 1968 datanglah kejutan besar itu. Bukannya menyetujui teknologi baru itu, Paus Paulus VI menegaskan kembali ajaran Gereja yang tradisional, “Setiap perkawinan harus terbuka pada prokreasi” (Humanae Vitae, 11). Merintangi terjadinya pembuahan berarti pelanggaran berat terhadap hukum Allah, bukan hanya bagi orang-orang Katolik, tetapi juga bagi semua orang.

Kita harus mengakui bahwa pada waktu itu relatif hanya sedikit, bahkan di antara mereka yang aktif menggereja, yang memerhatikan apa yang dikatakan Bapa Suci. Nyatanya, perdebatan tentang itu pun tidak ada. Medialah yang mengangkat isu ini. Baru kemudian Pst. Charles Curran dan beberapa teolog yang tidak setuju akan hal tersebut segera memahami persoalan kontrasepsi ini. Bahkan sebelum ensiklik tersebut tersedia untuk dibaca secara umum, Curran telah mengadakan konferensi pers dengan memberitakan bahwa sekitar enam puluh teolog menolak ajaran Paus di bidang ini.

Tetap saja, masalah ini tidak selesai. Mereka yang serius, seperti Lionel Tiger, yang saya sebut di awal artikel ini, masih menanyakan sejumlah pertanyaan sulit mengenai konsekuensi-konsekuensi dari Pil. Setelah lebih dari tigapuluh tahun penggunaan luas Pil tersebut, sekarang kami dapat memberikan beberapa jawaban.

Pertama, dan mungkin yang terpenting menurut para promotornya, Pil telah menghalangi “ledakan penduduk”, setidaknya di Amerika Utara dan Eropah. Angka kelahiran telah jatuh di bawah angka kematian di banyak negara maju. Spanyol dan Italia yang disebut-sebut sebagai “negara-negara Katolik” menjadi yang terdahulu dalam bidang ini. Namun, tidak semua gembira dengan menurunnya jumlah penduduk mereka. Spanyol mulai memberi hadiah bagi pasangan yang mempunyai anak-anak. Perancis menawarkan insentif finansial dalam jumlah besar. Akan tetapi, pengaruh kebijakan itu amat kecil. Sekali mentalitas kontrasepsi masuk ke dalam suatu masyarakat, mustahil mengubahnya hanya dengan program pemerintah.

Kontrasepsi ternyata tidak berhasil mengakhiri kehamilan-kehamilan yang tak diharapkan dan aborsi. Pada tahun 1994 di AS terjadi 1,4 juta aborsi dan hanya 4 juta kelahiran. Ini berarti 25 persen dari bayi-bayi yang dikandung tewas di tangan para pelaku aborsi (Saya tidak menyertakan kemungkinan bayi-bayi yang juga gugur karena IUD atau sejumlah Pil yang bersifat abortif). Statistik yang amat mengejutkan ini membuat sejumlah evangelis Protestan mempertimbangkan kembali persetujuan mereka terhadap penggunaan Pil. Jelas, ada kaitan antara mentalitas kontrasepsi dan aborsi.

Mengakui bahwa aborsi itu sendiri merupakan tindakan pelecehan paling keji yang bisa dilakukan terhadap seorang anak, kita harus mencatat pula bahwa tindakan-tindakan kejam terhadap anak-anak yang terlahir tidak juga berkurang sejak Pil diperkenalkan. Sulit untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab dari ‘wabah’ mengerikan ini. Kita tidak bisa lagi sekedar menyimpulkan secara sederhana bahwa anak-anak yang tidak diinginkan akan tumbuh menjadi anak-anak yang kemudian mengalami pelecehan. Nyatanya saya sangat terkejut membaca suatu kajian yang menunjukkan fakta yang sebaliknya. Menurut kajian ini, anak-anak dari kehamilan yang direncanakan memiliki angka pelecehan yang lebih tinggi daripada mereka yang disebut-sebut sebagai anak-anak yang ‘tidak diharapkan’.

Terdengar seperti suatu paradoks yang tidak dapat diterima, jika dikatakan bahwa seorang anak yang diharapkan lebih mungkin mengalami pelecehan. Namun, alasan untuk hal tersebut tidak begitu sulit untuk dipahami – bahwa anak tersebut lebih sering dipandang sebagai ‘hak’ orangtuanya atau bahkan sekedar ‘milik’ mereka. Jika anak tersebut ada untuk memenuhi mimpi orangtuanya dan kemudian ia gagal melakukannya, godaan untuk membentak, mempermalukan, bahkan untuk memukul, menjadi kuat dalam diri orangtuanya. Katekismus berupaya mengoreksi penyimpangan tersebut:

“Anak tidak boleh dipandang sebagai milik, seakan-akan orang hendak menuntut ‘hak atas anak’. Dalam hal ini hanya anak yang mempunyai hak-hak yang sebenarnya: ‘hak, menjadi buah tindakan khusus dari penyerahan diri kedua orang-tuanya’ dan ‘hak untuk dihormati sebagai manusia sejak saat pembuahannya’ (DnV 2,8)” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2378).

Ajaran ini, saya temukan mengagetkan orang-orang zaman sekarang. Teknologi telah memungkinkan pemisahan antara ungkapan seksual dan pembuahan. Ia bahkan mampu memisahkan pembuahan dari tindakan perkawinan. Banyak orang tahu Gereja menolak yang pertama. Mereka tidak menyadari bahwa Gereja juga mengutuk yang terakhir. Bukan hanya itu, mereka tidak dapat memerkirakan alasannya. Bagaimanapun, Gereja mau pasangan punya anak. Seharusnya Gereja gembira karena ilmu pengetahuan dapat membantu mereka. Baiklah, ya dan tidak. Silakan lihat Katekismus no. 2375 dst. untuk memahami kapan teknologi dapat dibenarkan secara moral.

Salah satu slogan yang digaung-gaungkan ialah “setiap anak seharusnya adalah anak yang diinginkan”. Tujuan dari slogan ini ialah baik. Namun, problemnya ialah menjadikan Pil sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Penggunaannya telah mengaburkan pandangan dasar kita tentang seorang anak. Awalnya orangtua yang berpotensi punya anak akan berkata, “Saya akan menentukan kapan dan berapa jumlah anaknya.” Namun, ketika mereka akhirnya memutuskan untuk punya anak dan menemukan kesulitan, seruan mereka dapat berubah, “Saya sangat ingin punya anak.” Mereka rela menghabiskan uang dalam jumlah besar dan melakukan apa yang bagi orang lain dipandang keterlaluan. Saya telah mencoba menasihati beberapa pasangan untuk tidak melakukan in vitro fertilization atau bayi tabung. Pembicaraan-pembicaraan sulit ini telah menghantar saya sampai pada kesimpulan bahwa yang saya lawan bukan hanya kerinduan besar mereka untuk punya anak sendiri, melainkan suatu penghargaan besar, hampir-hampir menyerupai pemujaan, terhadap tokoh-tokoh medis dan teknologi yang mereka andalkan.

Pil, selain mengeliminasi bayi-bayi yang tidak diinginkan, telah menghasilkan efek paradoks: orangtua yang tidak subur menginginkan bayi-bayi dengan cara yang keliru. Namun, baiklah kita tinggalkan diskusi tentang ini dan bergerak pada apa yang dipandang sebagai tujuan utama penggunaan Pil: melenyapkan penyebab stress dalam perkawinan.

Patty Crowley pernah menulis sebuah buku tentang harapan-harapan mereka tentang Pil. Pandangannya tentang soal ini hampir-hampir terdengar naif. Ia mengulang-ulang harapan bahwa Pil akan membebaskan pasangan-pasangan dari ketakutan mereka terhadap kehamilan-kehamilan yang tak diinginkan dan dengan demikian membuka era baru kebahagiaan dalam rumah tangga. Sayang bahwa kita harus mengakui bahwa di satu pihak ia benar. Pil memang membebaskan pasangan-pasangan dari ketakutan akan kehamilan-kehamilan yang tak diinginkan, tetapi bukan hanya bagi pasutri dalam perkawinan, tetapi bagi pasangan di luar perkawinan juga. Pil memungkinkan terjadinya perselingkuhan dengan risiko yang semakin minim dan dengan demikian menjadikannya godaan yang semakin “menarik”. Saya pernah melihat sebuah grafik yang memadukan angka-angka perceraian dan peningkatan penggunaan Pil sejak akhir 50-an. Grafik keduanya meningkat dengan irama yang sama.

Konsekuensi-konsekuensi tak dikehendaki dapat dilihat juga pada tujuan Pil yang lain: untuk mengurangi kemiskinan dengan meniadakan keluarga-keluarga besar. Mereka memang hampir hilang dari masyarakat kita, namun pertanyaannya tetap. Apa hadiah terbaik yang dapat diberikan orangtua kepada anak mereka: mobil baru atau adik baru? Dari mana kekayaan itu datang? Benar bahwa suatu keluarga besar mungkin akan lebih tertekan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka ketika anak-anak masih bertumbuh. Akan tetapi, ada banyak indikasi bahwa hal tersebut dapat berbalik kemudian.

Saya sering menceritakan tentang keluarga saya sebagai contoh kepada keluarga-keluarga besar di Peru. Besarkan anak-anakmu dengan nilai-nilai yang baik dan hormat dalam kadar tertentu. Mereka akan menjadi baik bukan hanya kepada saudara-saudarinya sendiri tetapi juga bagi masyarakat secara umum. Kemiskinan Peru de facto bukan disebabkan oleh populasi yang berlebihan. Boleh dikata, kebalikannya yang terjadi. Dalam sensus terakhir hanya tercatat 23 juta penduduk di Peru. Perancis memiliki penduduk dua kali lipat dengan luas negara setengah dari Peru. Peru memiliki sumber daya alam yang sangat besar, minyak bumi, ikan, tambang, air, dan sebagainya. Sumber daya alamnya akan membuat iri Jepang atau Korea. Sayangnya, tidak ada cukup orang untuk mengolah semuanya itu. Menjadi pertanyaan terbuka apakah populasi di Peru akan pernah mencapai “massa kritis” yang diperlukan untuk perkembangan. Angka pertumbuhan secara pasti menurun drastis di negara itu, sebagian karena tekanan dari A.S. untuk menggunakan Pil, IUD (Intra-Uterine Devices), dan sterilisasi pada pria dan wanita.

Bahkan di tempat yang agak terpencil di Peru, tempat saya bertugas selama tujuh tahun, saya melihat kampanye agresif dari A.I.D. (United States Agency for International Development) dalam mempromosikan kontrasepsi. Dokter-dokter, bidan-bidan, dan perawat dengan gaji tertinggi ialah mereka yang melakukan tubal ligation (sterilisasi pada wanita) dan memasukkan IUD.

Jelas sebelum kita memaksakan program anti-konsepsi kepada seluruh umat manusia, kita harus mempertanyakan apa konsekuensi-konsekuensinya yang telah terjadi pada kita. Saya telah menggariskan di atas bahwa pengalaman yang sangat negatif telah kita alami selama tiga puluh tahun terakhir. Mungkin sekarang kita siap untuk bertanya apakah Paus Paulus VI hanya seorang reaksioner atau seorang nabi. Pada akhir Humanae Vitae ia telah dapat mengintip apa yang akan menjadi hasil-hasil negatif penggunaan Pil secara massal.

“Nubuat” yang agak luar biasa, yang terkandung di dalam ensiklik Paus tersebut tidaklah mengejutkan bagi mereka yang percaya bahwa Bapa Suci dibimbing Roh Kudus di dalam mengajarkan sesuatu. Seperti layaknya seorang Paulus yang lain, ia menolak “kebijaksanaan dunia” dengan menghadirkan bagi kita “kebijaksanaan salib” (bdk. 1Kor 2:5).

Apa yang dapat kita katakan mengenai mereka yang menerima ajaran Paus dan memeluk “kebijaksanaan tersembunyi” ini? Sementara sebagian besar orang, bahkan di kalangan Katolik, tersapu oleh arus zaman, sebagian kecil mengikuti ajaran Katolik. Dan mereka memberikan kesaksian yang impresif. Sebagai pendahuluan, di antara pasangan yang secara sadar dan rela menggunakan metode-metode alamiah, angka perceraian tercatat praktis nol. Alasannya jelas: metode-metode ini memerlukan suatu dialog konstan dan disiplin tertentu yang memperkuat relasi perkawinan itu sendiri.

Keuntungan KBA dalam memperkuat hubungan antar pasutri nyata secara luas di pelbagai tempat dan oleh pasutri sendiri. Namun, salah satu buah paling mendalam dari metode-metode yang didasarkan pada pengamatan atas diri sendiri perlu digarisbawahi. Ia membawa serta suatu penghargaan yang mendalam atas karunia kesuburan. Tidak heran jika Universitas Creighton menyebut KBA sebagai “ungkapan syukur atas kesuburan”.

Ada paradoks di sini. Pada permulaannya observasi diri dapat menjadi sulit, atau bahkan ditolak oleh beberapa perempuan. Tindakan ini meliputi pengambilan lendir dari bagian paling intim pada wanita dan memeriksanya di antara jempol dan jari telunjuk. Apakah lendir itu lengket atau elastik? Bening atau keruh? Banyak atau sedikit?  Apakah ia berwarna? Apakah ia memberi sensasi seperti minyak yang licin? Sang suami sering ikut serta bersama sang istri di dalam proses pengamatan atau setidaknya mencatat hasil pengamatan tersebut. Yang terjadi adalah mereka berpindah dari taraf observasi yang membosankan kepada suatu perasaan kagum yang nyata. Mereka menyadari bahwa ketika mereka mendapati lendir yang subur, mereka menemukan zat yang memungkinkan sel sperma laki-laki sampai pada sel telur wanita untuk memulakan suatu kehidupan manusia yang baru. Sejumlah kecil lendir bagi mereka hampir menjadi seperti suatu sakramen: ia menghadirkan apa yang ia tandakan, yakni kesuburan. Dan sungguh tepat dikatakan bahwa inilah karunia yang diberikan Allah kepada kita ketika ia menciptakan orangtua pertama kita di dalam gambar dan rupa-Nya dan kemudian berkata kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi!”

Penghargaan atas karunia kesuburan dapat mengubah suatu perkawinan. Laki-laki tidak akan dapat lagi berkata kepada istrinya, “Aku mencintaimu, tetapi tidak semua pada dirimu. Ada satu hal pada dirimu yang sama sekali tidak kusukai: kemampuanmu untuk menjadi ibu dan membuat saya menjadi seorang ayah. Ini, makan pil ini dan kita dapat melupakan apa yang membuat diriku tidak senang atas dirimu.” Ketika mereka menggunakan metode-metode alamiah, mereka tidak akan pernah mengesampingkan karunia kesuburan, melainkan akan secara konstan mengakuinya.

Kesaksian dari pasutri yang memeluk ajaran Yesus dan Gerejanya menunjukkan bahwa perbedaan antara “alamiah” dan “buatan” itu lebih daripada sekedar suatu pertanyaan dengan kata-kata, suatu “pembedaan tanpa perbedaan”. Yang benar ialah perbedaan di antara mereka sangat jelas dan mendalam. Hal ini dapat ditunjukkan di dalam hal bagaimana metode-metode alamiah membangun penghargaan terhadap wanita.

Sementara sebagian perempuan menganggap Pil sebagai suatu bagian penting untuk “membebaskan” mereka, mungkin metode-metode alamiahlah yang sebenarnya paling baik untuk mereka. Penghargaan terhadap kaum perempuan ialah apa yang kurang pada masyarakat kita dan sangat penting untuk dilengkapi jika kita mau memulai sesuatu yang baru pada milenium ketiga ini. Penghargaan terhadap wanita, terhadap kesuburannya, akan mengubah kehidupan pribadi kita, keluarga-keluarga kita, masyarakat kita – dan Gereja kita.

(Disadur dari artikel Pst. Phil Bloom dalam www.geocities.com oleh Georgius Paulus, CSE)