Print
Hits: 7150

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

1. Pengantar

Keluarga menjadi sendi kehidupan manusia. Manusia sebagai pribadi lahir dari keluarga. Berbicara tentang keluarga ujung-ujungnya adalah perkawinan. Perkawinan bukan saja bersinggungan dengan persatuan laki-laki dan perempuan – yang karena saling jatuh cinta akhirnya menikah – tetapi berkaitan dengan seluruh aspek dasar perkawinan sebagai sebuah jawaban atas panggilan Tuhan: “Beranak cucu dan bertambah banyaklah.”

Istilah “indissolubilitas perkawinan” mau mengatakan kekhasan dari perkawinan, yaitu “tak-terputuskan.” Istilah “tak-terputuskan” dalam kehidupan sehari-hari adalah “tak-terceraikan.” Sifat “tak-terputuskan” perkawinan sebetulnya bukan kekhasan ajaran Kristiani (Katolik – walaupun hal itu sangat nampak dalam ajaran Gereja Katolik), tetapi lebih merupakan tuntutan hukum kodrat. Karena tututan hukum kodrat maka “tak-terputuskan” perkawinan berlaku untuk semua pasangan baik yang Katolik maupun yang non-Katolik.

2. Perkawinan di Zaman Modern

Zaman sekarang adalah zaman kebebasan. Kebebasan itu terungkap dalam berbagai bentuk kehidupan yang cukup besar pengaruhnya antara lain merambah kehidupan perkawinan. Salah satu bentuk ekspresi kebebasan manusia dalam perkawinan dewasa ini adalah bentuk pekawinan homoseksual, yaitu bentuk perkawinan dari jenis kelamin yang sama. Laki-laki dengan sesama laki-laki dan perempuan dengan sesama perempuan. Padahal sebetulnya perkawinan dari kodratnya adalah heteroseksual – laki-laki berpasangan dengan perempuan. Perkawinan heteroseksual bukan ciptaan lembaga atau agama tertentu tetapi memang kodratnya demikian. Masih ada bentuk lain dari ekspresi kebebasan manusia dalam perkawinan selain perkawinan homoseksual seperti perkawinan kontrak (berbeda dengan perkawinan sebagai kontrak atau perjanjian), hidup bersama tanpa menikah, kawin uji coba atau kawin tes. Semua ini merupakan produk zaman kebebasan dan sebetulnya merendahkan martabat perkawinan itu sendiri.

Bersama dengan hembusan angin kebebasan produk peradaban modern, perkawinan tidak luput dari pengaruhnya. Kebebasan mau tidak mau membongkar segala sendi kemapanan kehidupan terutama perkawinan. Sebagian besar perkawinan yang gagal dilatarbelakangi oleh kebebasan yang melanda pribadi masing-masing pasangan. Memang di satu pihak membangun kehidupan keluarga di zaman modern terasa jauh lebih sulit dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Godaan zaman sekarang jauh lebih sulit terutama kebebasan individu. Akan tetapi, apakah kita pesimis dengan perkawinan?

Satu hal dalam zaman modern ini yang dipengaruhi oleh kebebasan manusia yang melanda perkawinan adalah perceraian. Faktanya adalah dari hari ke hari semakin banyak keluarga yang bercerai. Di satu pihak, kita mungkin bangga menjadi orang Katolik karena kita memiliki Hukum Gereja yang melihat perkawinan bukan urusan duniawi belaka tetapi diangkat oleh Kristus pada level adikodrati (sakramen). Namun, di lain pihak nampaknya perceraian bukan lagi hal yang jarang terjadi di kalangan umat Katolik. Perceraiaan kini menjadi fenomena umum di kalangan masyarakat termasuk umat Katolik yang memandang perkawinan begitu luhur.

3. Ajaran Indissolubilitas

Sifat tak-terputuskan suatu perkawinan menunjukkan bahwa ikatan perkawinan bersifat absolut dan berlangsung seumur hidup serta tidak bisa putus selain oleh kematian. Seringkali orang beranggapan bahwa sifat tak terputuskan perkawinan itu mengurangi dan menghalangi kebebasan manusia. Apalagi jika perkawinan itu ternyata tidak membahagiakan masing-masing pasangan. Sifat tak-terputuskan itu menjadikan perkawinan sebagai sebuah malapetaka dan penderitaan yang berkepanjangan bagi pasangan tersebut.

Sifat tak-terputuskan dalam perkawinan didasarkan atas ajaran Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Tak terputuskan dalam perkawinan ini merupakan kehendak dan rencana Allah sejak penciptaan, ketika Ia mempersatukan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Keduanya menjadi “satu daging” (Kej. 2:24) dan ini mengisyaratkan bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Hal ini menjadi dasar bahwa perkawinan itu tak-terputuskan.

Di lain pihak, harus diakui bahwa sebelum Kristus datang, sering terjadi pelanggaran terhadap sifat perkawinan tak terputuskan ini, namun menurut Kristus hal itu terjadi karena “ketegaran hati manusia.” (Mat. 19:8) Dalam hal ini, Yesus mengoreksi paham perkawinan Yahudi dalam kitab Ulangan 24:1-5. Yesus mengembalikan paham perkawinan pada kehendak Allah semula dengan menegaskan, “…..sejak semula tidaklah demikian.”

Kitab Hukum Kanonik terutama yang berkaitan dengan tema perkawinan mengatakan, “Sifat-sifat hakiki perkawinan adalah “monogami” dan “tak terceraikan”, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekhususan atas dasar sakramen.” (Kan. 1056) “Tak terceraikan” sama dengan “tak terputuskan.” Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar kata “perceraian” tetapi menurut Hukum Gereja, istilah yang tepat adalah “nulitas atau “anulitas.” Gereja Katolik tidak pernah melakukan perceraian, tetapi deklarasi nulitas perkawinan. Ini hanya persoalan istilah.

Konsili Vatikan II mengajarkan perkawinan yang tak terceraikan dalam kaitan antara kesatuan suami istri sebagai ikatan mesra antarpribadi dengan kesejahteraan anak-anak yang merupakan buah dari perkawinan. “Pria dan wanita, karena janji perkawinan” bukan lagi dua, melainkan satu daging “saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antarpribadi dan kerja sama; mereka mengalami, dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka. Persatuan mesra itu, sebagai tindakan saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya dan menjadikan tidak terceraikan kesatuan mereka mutlak perlu.” (GS. 48)

Paus Yohenes Paulus II adalah pembela ajaran perkawinan yang tak terputuskan ini. Ia mengkritik dan menolak pandangan yang mengatakan bahwa sifat tak terputuskan dalam perkawinan sekedar merupakan aturan yang dikenakan atau dipaksakan dari luar yang menghalangi hasrat seseorang untuk mewujudkan realisasi diri lebih lanjut. Ia juga melawan anggapan bahwa sifat tak terputuskan ini hanyalah konsep yang berhenti pada benak kaum religius yang tidak berhasil memaksakan pandangannya kepada masyarakat.

Paus Benediktus XVI memandang budaya perceraian (lawan dari “tak terputuskan”), kumpul kebo, kawin uji coba, serta perkawinan antara dua jenis kelamin yang sama sebagai ungkapan kebebasan anarkis, yang menafirkan secara keliru kebebasan manusia. “Kebebasan palsu ini pada umumnya didasarkan pada sikap merendahkan tubuh manusia yang juga berarti merendahkan manusia itu sendiri.”

4. Indissolubilitas Melawan Budaya Perceraian

Ajaran Gereja tentang perkawinan tak terceraikan jelas mau melawan budaya perceraian yang dewasa ini semakin merajalela di kalangan umat Katolik. Ajaran ini bertumpu pada hukum kodrat dan Kitab Suci. Kitab Suci sangat jelas mengajarkan hal ini. “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat. 19: 6) Gereja Protestan pada umumnya melihat perkawinan sebagai urusan manusiawi belaka, karena itu tidak ada hukum yang melarang perceraian. Akan tetapi, sesungguhnya hukum kodrat yang berlaku untuk semua manusia dan Kitab Suci mengatakan hal ini secara jelas. Dalam pandangan Gereja Katolik, “Perkawinan Protestan adalah sakramen karena itu tidak bisa diceraikan.” Konsili Vatikan II menyebutkan 4 alasan indissolubilitas melawan perceraian:

a.  Perceraian bertentangan dengan kebahagiaan suami isteri. Perceraian menghalangi tujuan perkawinan, yakni saling mendukung dan saling mengisi dalam cinta. Suami isteri tidak dapat saling memberi sepenuhnya apabila dalam hati mereka atau seorang dari mereka tersimpan peluang bahwa persekutuan itu akan bubar atau cerai. Tujuan saling mendukung dan melindungi hanya dapat dijamin dalam ikatan yang abadi antara suami-isteri. Hal-hal demikian ini sangat dibutuhkan dalam situasi-situasi sulit kehidupan.

b.  Perceraian merugikan anak-anak. Ketika ikatan antara ayah dan ibu putus maka anak-anak sebagai buah persekutuan itu akan kehilangan salah satu atau seluruh bagian orang tua dan hal ini berakibat pada kepercayaan diri mereka, kepastian hidup dan pendidikan mereka. “Yang paling menderita karena perceraian orang tua adalah anak-anak.” Anak-anak dalam kenyataannya menjadi korban kepentingan, minat, dan suasana batin orang tua. Dalam rencana dan keputusan cerai, orang tua hanya melihat aspek relasi suami-isteri, tetapi tidak memperhitungkan sama sekali relasi orang tua - anak, yang tetap menjadi hak anak-anak demi pertumbuhan mereka. Anak-anak tidak bisa dipaksa untuk menentukan nasib sendiri menyusul kesepakatan orang tua untuk bercerai. Apalagi kalau anak-anak masih kecil dan belum bisa mandiri. Sebaliknya mereka masih membutuhkan ayah dan ibu yang tetap bersatu agar mereka dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dan normal. Oleh karena itu, perceraian orang tua merupakan pelanggaran berat terhadap keadilan, karena orang tua melanggar hak anak atas relasi orang tua-anak.

c. Kesejahteraan masyarakat menuntut keluarga yang stabil. Karena hanya dengan cara ini, pendidikan yang sehat bagi generasi muda terjamin dan saling percaya serta solidaritas dalam masyarakat tercipta. Masyarakat itu dibangun atas keluarga-keluarga. Apa jadinya suatu masyarakat jika keluarga-keluarga yang membangunnya tidak utuh? Jelas masyarakat yang demikian tidak akan menemukan kesejahteraan sebagai tujuan bersama.

d.  Argumen terakhir bersifat teologis. Landasannya adalah status sakramental perkawinan dan karena itu hanya berlaku untuk orang Kristiani. Karena Kristus telah membatalkan peluang perceraian yang diberikan hukum Musa, dan karena dalam 1 Kor. 7:12-16 Paulus hanya memperkenankan perceraian dalam kasus perkawinan antara orang bukan Kristiani (demi alasan iman), maka perkawinan sakramental antara orang Kristiani tidak pernah boleh diceraikan. Kan. 1055 paragraf pertama diakhiri dengan frasa [Perjanjian perkawinan] “…..antara orang-orang yang dibaptis diangkat oleh Kristus Tuhan ke martabat sakramen.” Perkawinan adalah realitas ciptaan atau lembaga natural yang sudah ada sejak dunia dan manusia dijadikan. Hal baru yang dibawa dan dianugerahkan Kristus kepada dunia dan manusia adalah menebus dan mengangkat lembaga natural tersebut ke martabat sakramen. Meskipun demikian, kita bisa mengatakan bahwa dengan menebus dan mengangkatnya ke martabat sakramental, Tuhan Yesus melakukan “penciptaan baru” atas perkawinan.

5. Tantangan dan Harapan bagi Keluarga Sekarang

Hidup sekarang penuh dengan tantangan. Tidak terkecuali dengan hidup berkeluarga atau perkawinan. Barangkali tantangan yang paling besar seperti telah disinggung di atas yang ada dalam pribadi manusia itu sendiri, yaitu kebebasan. Kebebasan ini bukan dalam hal pencarian kebenaran Allah melainkan muncul sebagai kekuatan otonom yang mengotrol manusia. Demikian besar kontrol itu sehingga orang jatuh pada egoisme diri yang berlebihan. Kalau setiap pasangan menyerah pada kekuatan kontrol kebebasan dirinya sebetulnya perkawinan tersebut berada di jurang kehancuran. Ketika salah satu dari pasangan itu jatuh dalam egoisme produk kebebasan, dia menjadikan dirinya sebagai pusat sehingga mengabaikan yang lain. Perkawinan sebagai pesekutuan (unity) cinta suami isteri lambat laun akan memudar dan pada akhirnya akan berantakan.

Tantangan lain yang bisa disebutkan di sini adalah tantangan dari luar. Orang sekarang memandang pesimis terhadap perkawinan atau hidup berkeluarga. Hidup bersama hanya membawa penderitaan berkepanjangan, toh pada akhirnya pisah juga! Maka lebih baik hidup sendiri. Hal ini ditambah lagi dengan pengaruh globalisasi yang katanya “membantu” kehidupan manusia. Globalisasi semakin memojokkan orang dari dirinya sendiri, dari pasangannya sendiri, dan dari lingkungannya. Pada zaman globalisasi ini, yang menjadi aktornya adalah uang. Hidup perkawinan sekarang penuh dengan perhitungan ekonomis. Kalau menguntungkan secara ekonomis (kaya), perkawinan jalan terus tetapi kalau merugikan sebaiknya cari jalan sendiri. Generasi sekarang penuh dengan pribadi materialistis.

Mengingat tantangan terhadap perkawinan datang bertubi-tubi, masihkah kita memiliki harapan pada keluarga-keluarga muda di zaman sekarang? Tentu saja masih ada harapan, bahkan harapan itu terbuka lebar! Banyak keluarga muda sekarang menatap masa depannya dalam harapan walau badai banyak menghadang. Kalau keluarga-keluarga muda atau yang akan hidup berkeluarga berpijak pada wadas yang kokoh, badai yang menerpa tidak menggoyahkan perkawinan. Akan tetapi, mempertahankan kehidupan perkawinan itu tidak mudah. Oleh karena itu, butuh rahmat khusus dari Tuhan di samping usaha manusia.

Bagaimana langkah praktis menciptakan dan memupuk perkawinan yang tetap utuh? Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio menyebutkan beberapa kiat untuk keluarga Katolik yang hidup di zaman modern. Antara lain, pertama: penghayatan doa dalam keluarga. Keluarga harus menjadi komunitas pendoa. Dengan berdoa, keluarga mau menempatan Yesus sebagai pusat hidup perkawinan. Kedua, penghayatan Ekaristi. Keluarga harus menjadi komunitas ekaristis. Ekaristi – baik Ekaristi harian maupun Ekaristi hari Minggu – akan sangat banyak membantu dalam penghayatan perkawinan karena dalam Ekaristi Yesus datang memperbaharui hidup manusia termasuk hidup perkawinan. Ketiga, rekonsiliasi atau pertobatan. Rekonsiliasi bukan saja dengan pasangan tetapi juga dengan Tuhan dan lingkungan sekitar. Rekonsiliasi akan senantiasa menciptakan perkawinan atau keluarga yang damai dan harmonis.

6. Penutup

Ajaran indissolubilitas yang sangat ditekankan Gereja Katolik pertama-tama didasarkan pada hukum kodrat dan Sabda Tuhan. Gereja menekankan hal ini kepada siapa saja yang dipanggil Tuhan untuk hidup dalam persekutuan suami isteri. Gereja memandang perkawinan dengan luhur. Apa jadinya Gereja kalau hidup perkawinan atau hidup berkeluarga mengalami kehancuran? Mempertahankan kesetiaan dalam hidup perkawinan pada zaman sekarang memang sulit karena godaan yang berlawanan dengan kesetiaan semakin banyak dan sulit diatasi. Di tengah kesulitan tersebut, ribuan harapan dan dukungan masih diberikan kepada banyak keluarga terutama keluarga Katolik.