Kejadian ini sudah lama sekali berlalu………. Malam gelap saat itu menyelimuti desa kecil di kaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah. Bersama beberapa orang teman, dengan memegang senter di tangan masing-masing, kami berjalan beriringan bagai barisan kunang-kunang. Tanpa banyak bicara, kami melangkah menembus semak belukar, memasuki hutan yang semakin lama semakin gelap dan rapat. Dengan ransel di punggung, masing-masing bertekad bulat hendak mencapai puncak Gunung Slamet.
Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya sendiri, dan Ia menciptakan manusia itu dengan sungguh amat baik (bdk. Kej. 1:27,31). Akan tetapi, jika kita lihat diri kita sendiri dan sesama kita saat ini, adakah semua manusia tampil sebagai citra Allah, memancarkan kemuliaan Allah? Kemuliaan Allah ini hanya akan terpancar secara penuh dari dalam diri kita, apabila kita sungguh-sungguh tampil sebagai diri sendiri, sesuai dengan kehendak dan rencana Allah. Namun, seringkali kebanyakan manusia, tidak tampil sebagai pribadinya sendiri yang unik dan utuh sebagaimana dahulu ia diciptakan. Luka batin, topeng, lingkungan, semua mempengaruhi manusia sedemikian rupa, sehingga ia tidak dapat tampil sebagai dirinya sendiri. Gunung Slamet memang tinggi. Namun, setinggi-tingginya Gunung Slamet, masih jauh lebih tinggi cita-cita manusia untuk berani menjadi dirinya sendiri. Dan sebagaimana pendakian Gunung Slamet ini, perjalanan kita untuk dapat menjadi citra Allah pun diawali dengan keberanian kita untuk memasuki kegelapan…
Kegelapan apakah itu? Sadar atau tak sadar, tiap orang mempunyai sisi gelap dalam dirinya. Sebuah cerita yang menyedihkan, trauma yang mengerikan, peristiwa-peristiwa yang menghantui hidupnya, semua itu dikubur dalam-dalam di relung terkelam jiwanya. Disembunyikan, dilupakan, dan dianggap tak pernah terjadi. Tanpa disadarinya semua yang telah melukai batinnya itu, sering muncul ke permukaan alam bawah sadarnya. Membuat hati sedih tanpa sebab, emosi tak terkendali, dan lebih buruk lagi, mempengaruhi sikap-sikap kita terhadap orang lain. Kinilah saatnya kita berani mengambil keputusan, untuk mau memasuki dunia gelap kita itu, yang selama ini menjadi bayang-bayang jiwa kita, atau lebih sering dikenal dengan istilah ‘shadow’. Tanpa banyak bicara, memasuki keheningan, marilah kita buka kembali setiap lembaran gelap hidup kita itu. Mohonlah Roh Kudus untuk membimbing kita dalam doa penyembuhan batin ini, seperti nyala senter yang menerangi jalan para pendaki. Kemudian, hadirkanlah Yesus, mohonlah agar Ia menyembuhkan luka-luka batin kita.
Setelah mendaki beberapa waktu lamanya, kami pun letih dan beristirahat melepas lelah. Sambil duduk di atas rumput yang basah oleh embun malam, kami menikmati nyanyian binatang malam yang berkumandang dari antara dedaunan, dan nyanyian dari perut kami yang keroncongan. Benar juga…. baru kami sadari kami kelaparan. Kami butuh sesuatu untuk mengisi perut kami. Maka dengan tangan yang agak kaku karena kedinginan dan lelah, kami pun memasak makanan favorit kami; apa lagi kalau bukan mie instant!
Demikian pula dalam doa penyembuhan batin, setelah melihat kembali kisah sedih kita di masa lampau, cobalah untuk menyelami apakah sesungguhnya yang menjadi kebutuhan kita saat itu, yang akhirnya tidak kita dapatkan. Misalnya saja kita terluka akibat sikap keras ibu kita di waktu kecil. Berarti ada kebutuhan akan kasih ibu yang belum tercukupi selama ini dalam jiwa kita. Menemukan kebutuhan jiwa kita yang belum terpenuhi ini penting, agar kita dapat menyadari apa yang menjadi latar belakang dari sikap-sikap kita selama ini. Barangkali kita sering sakit hati dan iri bila ada orang lain yang diperhatikan sementara kita tidak. Tengoklah masa lalu, mungkin kita sering dianaktirikan oleh orang tua sehingga jiwa kita menjerit menuntut perhatian yang lebih besar dari sesama. Atau barangkali ayah kita meninggal ketika kita masih kecil, sehingga setelah besar kita terus mencari figur seorang ayah. Seperti perut yang lapar perlu diisi, demikian pula jiwa yang haus perlu dipuaskan. Sebetulnya, otomatis selama ini kita berusaha untuk memuaskan jiwa yang dahaga itu. Namun, seringkali caranya tidak sehat dan buahnya pun tidak membahagiakan. Misalnya karena jiwa mendambakan seorang ayah, maka dengan amat mudahnya seorang gadis jatuh cinta pada setiap laki-laki yang memperhatikannya walau barang sedikit saja. Jatuh cinta memang tidak salah dan lumrah. Akan tetapi, seringkali sebetulnya gadis itu jatuh cinta pada bayangan ideal seorang ayah yang telah tergambar di dalam batinnya. Bayangan itu kemudian terproyeksikan dalam diri setiap laki-laki yang simpati kepadanya dan membuat gadis itu jatuh cinta. Tentu saja hal ini akan sangat menyiksa karena tentunya tidak semua pria itu mencintainya juga. Bahkan sekali pun akhirnya ia bertemu dengan pria yang juga mencintainya, ia bisa kecewa juga karena ternyata pria yang dicintainya itu berlainan dengan bayangan ideal seorang ayah yang sudah sekian lama terpatri dalam jiwanya. Gadis ini sulit untuk dapat mengasihi seorang laki-laki dengan utuh karena ia telah terlanjur jatuh cinta dengan bayangan di dalam batinnya sendiri.
Dengan mengetahui kebutuhan jiwa kita, kita dapat lebih berhati-hati dan menguasai diri kita. Jiwa yang sudah terluka itu perlu disembuhkan, dan kehausannya perlu dipuaskan. Untuk itu kita arahkan seluruh kebutuhan jiwa kita itu kepada Yesus, biarlah Ia sendiri yang menggenangi hati kita dengan cinta kasih-Nya. Hanya dengan hati yang utuh dipenuhi kasih ilahi inilah, kita bisa mencintai orang lain dengan apa adanya. Kita juga tidak iri hati lagi jika orang lain lebih diperhatikan karena sadar Allah sendiri telah mencurahkan perhatian-Nya kepada kita dengan begitu besar. Singkatnya, cinta kasih Allah yang memenuhi hati kita, membalut luka-luka batin kita dan memuaskan jiwa yang haus, sehingga sikap-sikap aneh maupun emosi-emosi tak terkendali kita selama ini dapat diatasi.
Setelah melepas lelah dan mengenyangkan perut yang lapar, kami pun melanjutkan pendakian kami. Tanjakan yang semakin terjal, jurang yang menganga di sisi jalan, ransel di punggung yang terasa semakin berat, semua itu membuat nafas kami makin tersengal dan keringat membasahi sekujur tubuh walau malam itu sebetulnya sangat dingin. Termometer kami menunjukkan suhu 5oC! Akhirnya menjelang subuh, kami tiba di leher gunung. Kami sudah tak tahan lagi dengan ransel yang terasa begitu berat membebani punggung kami, maka beramai-ramai kami tanggalkan ransel itu di tanah dan menarik nafas dalam-dalam. Seketika itu juga kami merasakan kelegaan dan sejuknya hawa pegunungan. Saat itu baru kami sadari betapa indahnya pemandangan alam di sekitar kami. Langit bersemu jingga membiaskan sinar surya yang akan segera terbit, burung-burung pagi berkicau riang, dan bunga-bunga edelweiss yang putih mungil berseri bertaburan di padang rumput yang hijau itu. Aroma rumput segar sangat menentramkan hati kami.
Menanggalkan ransel…? Padahal di dalam ransel itulah kami gantungkan seluruh hidup kami selama pendakian ini. Makanan, pakaian, minuman, peralatan yang dibutuhkan, pokoknya segalanya. Akan tetapi, setelah ransel diletakkan di tanah, kami justru merasa ringan dan bahagia. Dalam kehidupan sehari-hari, adakah sebetulnya yang juga memberatkan langkah-langkah hidup kita? Ya, ada tentu saja. Tak lain tak bukan adalah topeng! Sadarkah Anda bahwa ada topeng tebal yang kita pakai setiap hari? Memang dengan memakai topeng itu kita merasa lebih aman. Hidup kita seolah bergantung pada topeng itu. Namun, sampai kapan? Akan tiba harinya kita merasa topeng itu begitu tebal dan memberatkan hingga akhirnya kita pun meledak tak terkendali. Ada baiknya setelah doa penyembuhan batin, kita meneliti diri kita sendiri, topeng-topeng apa sajakah yang selama ini kita kenakan. Ada seseorang yang terluka waktu kecil akibat sikap orang tua yang selalu menuntut agar ia meraih prestasi terbaik. Akibatnya ia selalu memakai topeng sebagai orang yang sempurna tak bercacat. Ia menjadi tak pernah ambil resiko karena takut sekali berbuat salah, dan tidak berani mengakui dengan sportif apabila kesalahannya diketahui orang lain. Ada juga orang yang memakai topeng badut, yaitu selalu melucu dan disenangi semua orang karena kejenakaannya. Padahal sebetulnya itu semua adalah topeng agar ia mendapatkan perhatian dan kasih dari orang lain karena waktu kecil ia kekurangan kasih sayang dan selalu bermain sendirian tanpa ada yang menemani.
Topeng-topeng itu memang membuat hidup kita terasa aman. Akan tetapi, hanya sementara waktu saja. Lama-kelamaan kita akan kelelahan sendiri karena topeng itu terasa begitu berat membebani hidup kita. Seorang ibu yang sudah 21 tahun tinggal serumah bersama mertuanya datang dan mengeluh belakangan ini tiba-tiba merasa jenuh dengan pekerjaannya dan hidupnya pun sama sekali tak bergairah. Setelah digali lebih dalam, ternyata sebetulnya ibu ini kelelahan dengan topeng yang harus dikenakannya selama 21 tahun ini agar ia tampak baik dan sempurna di mata mertuanya. Dan nyatanya, kini ia merasa sulit untuk bisa mengasihi mertuanya itu dengan tulus.
Kenalilah kini topeng-topeng apa saja yang Anda pakai selama ini, dan ambillah langkah berani untuk melepaskannya. Topeng yang kita pakai, menghalangi orang lain untuk melihat kita apa adanya. Kita tutupi kekurangan dan kelebihan kita, kesedihan dan kegembiraan kita, kekuatan dan ketakberdayaan kita, seolah-olah kita memakai topeng yang berkata kepada setiap orang, “Jangan ganggu aku! Biarkan aku hidup dalam duniaku sendiri!” Topeng ini menghalangi terciptanya hubungan yang tulus antara kita dan sesama, dan bahkan lebih parah lagi, juga hubungan kita dengan Allah. Seorang wanita karir yang sukses memakai topeng sebagai perempuan yang super sibuk, tak memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mendekatinya. Karena ia tahu, di sebuah pojok jiwanya yang gelap ada masa lalu yang menyakitkan, yang ingin ia sembunyikan; tak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya. Setiap orang yang berusaha mendekatinya, dibuatnya terpental dengan sikapnya yang ketus atau kata-katanya yang menyakitkan. Dari sini kita lihat, betapa kejamnya topeng-topeng itu menghancurkan relasi kita dengan sesama. Sebaliknya, betapa indahnya hubungan yang bisa kita jalin dengan sesama apabila topeng itu kita lepaskan. Kita membuka diri apa adanya, membiarkan orang lain masuk dan terlibat dalam kehidupan kita, dan kita pun leluasa memberikan diri kepada orang lain dengan hati tulus dan apa adanya. Pada saat topeng terlepas itulah, walau kita tidak pindah rumah, kita dapat melihat dunia baru yang lain, panorama kehidupan yang lebih indah, seperti rombongan pendaki yang dapat menikmati kicau burung dan lembutnya bunga edelweiss setelah melepaskan ransel.
Pendakian dilanjutkan, langkah demi langkah, tanjakan demi tanjakan, tiba-tiba terbentanglah di hadapan kami lautan pasir yang luas tak bertepi. Rupanya puncak Gunung Slamet ini merupakan gundukan pasir yang tandus, tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Dan ternyata pula, pendakian puncak ini jauh lebih berat daripada babak-babak sebelumnya. Pasir yang betul-betul lepas itu membuat kami merosot dua langkah setiap kali kami menanjak satu langkah. Belum lagi kebul debu pasir dari teman-teman di depan kami, menyakitkan hidung dan memedihkan mata. Dengan menggertakkan gigi kami terus mendaki sambil memandang ke garis puncak yang sudah kelihatan untuk menyemangati kaki-kaki yang sudah hampir menyerah. Namun, alangkah kecewanya kami karena setelah sampai di garis itu, ternyata itu belumlah puncak. Jadi, bagian atas gunung ini seperti undak-undakan. Dari bawah kami kira garis itu puncak, ternyata setelah sampai hanya berupa dataran sedikit, kemudian masih ada lagi tanjakan terbentang di mata kami, menantang untuk didaki. Begitulah kami tertipu hingga berkali-kali. Namun, kami terus mendaki dan mendaki.
Saat topeng dilepaskan memang sakit. Dengan melepaskan topeng bukan berarti perjuangan kita sudah selesai, bahkan bisa jadi semakin berat. Seorang ibu muda yang ditinggal mati suaminya selama ini memakai topeng sebagai wanita yang gagah dan mandiri. Tak pernah setitik pun air mata jatuh di pipinya, dan dengan mengagumkan ia selalu berhasil tampil ceria di lingkungannya, menyembunyikan semua perasaannya rapat-rapat. Keluarganya sangat bangga kepadanya karena sikapnya ini. Namun kemudian, sekujur tubuhnya terasa sakit, kepalanya, tulang-tulangnya, bahkan kuku pun terasa linu. Dokter-dokter yang dikunjunginya tak mengerti penyakit apa yang dideritanya. Setelah didoakan penyembuhan batin, barulah ibu itu menangis dan menumpahkan seluruh kesedihannya. Setelah itu segala penyakit yang dideritanya pun sembuh. Rupanya ibu itu menderita penyakit psikosomatik, yaitu penyakit yang diderita seseorang akibat tekanan batin. Setelah kembali ke tempat asalnya, ibu ini ingin melepaskan topengnya dan tampil apa adanya. Apabila hatinya sedang susah karena beban pekerjaan, dengan terbuka kesusahan hatinya itu diungkapkan kepada keluarganya. Akan tetapi, keluarganya yang sudah terbiasa dengan topengnya jadi heran dan bahkan kecewa, karena ternyata ibu ini tidak seperkasa anggapan mereka sebelumnya. Hal ini memang menyakitkan. Seolah-olah kita merasa tertipu, karena katanya dengan membuka topeng hubungan dengan sesama akan terbina lebih baik, tetapi ini mengapa malah tambah berantakan? Tidak, tidak, tidak berantakan. Justru inilah awal mula terciptanya relasi yang tulus itu. Biarlah orang-orang terdekat yang kita kasihi melihat kita apa adanya. Dengan demikian, mereka dapat menempatkan dirinya dengan benar dalam menjalin hubungan dengan kita. Melangkahlah terus dan jangan menyerah.
Setelah beberapa waktu lamanya mendaki lautan pasir yang rasanya tiada berakhir itu, saya merasakan tiba-tiba penyakit lama saya kambuh. Saya bingung, bagaimana ini? Saya tahu saya harus beristirahat dan berhenti. Kemungkinan besar saya tidak akan dapat terus mendaki sampai ke puncak karena medannya terlalu berat untuk tubuh saya yang sakit. Akan tetapi, gengsi saya memberontak. Masakan saya tidak bisa sampai ke puncak? Padahal teman-teman saya semuanya terus mendaki dengan semangatnya. Sejak di kaki gunung mental kami sudah dikondisikan bahwa kami harus mencapai puncak apa pun yang terjadi. Apalagi, puncak gunung itu sudah kelihatan kini; tak seberapa jauh lagi! Saya paksakan kaki saya melangkah, namun tiba-tiba saya jatuh dan tak bisa bangun lagi. Akhirnya, walau dengan sangat terpaksa, saya putuskan untuk duduk diam dan tidak bangkit lagi. Saya mengerti, kekuatan tubuh saya tidak sebesar hasrat saya. Apa boleh buat… “Ayo Na, jalan! Tinggal dikit lagi! Gimana sih kamu?” Teman-teman semua berteriak dari atas puncak gunung mendorong saya untuk terus berjalan. Bagi mereka sungguh tak masuk akal untuk berhenti diam padahal puncak sudah tak jauh lagi. Akan tetapi, saya tahu persis bagaimana kondisi tubuh saya. Saya pernah terpaksa berbaring sebulan lamanya gara-gara penyakit ini dan sekarang saya tak mau hal itu terulang lagi. Oleh karena itu, walaupun di mata teman-teman keputusan saya ini tak masuk akal, saya tetap putuskan untuk istirahat.
Seringkali kita tidak tampil sebagai diri sendiri karena pengaruh lingkungan hidup kita. Mau tak mau, sadar tak sadar, kita dikondisikan untuk tampil dengan bentuk tertentu sesuai dengan tuntutan lingkungan itu. Ketika saya masih SMP, adik kelas saya seorang anak perempuan suatu hari pulang sekolah dengan menangis. Setelah ditanya ibunya, ternyata ketika di sekolah anak itu terpaksa berkata, “Nggak la yau….” dengan gaya khas remaja yang sedang trend saat itu, agar ia bisa serupa dan diterima di lingkungan teman-temannya. Padahal di dalam hatinya, ia benci sekali mendengar kata itu. Banyak orang saat ini mengangguk sebagai tanda setuju padahal hati menggeleng, dengan dalih keamanan dan kerukunan. Jarang ada orang yang berhasrat tampil apa adanya dan menyumbang keanekaragaman. Padahal, bukankah persatuan dan kerukunan dapat lebih terjalin jika kita bisa menghargai dan menerima perbedaan satu sama lain? Kita tampil sesuai dengan kondisi lingkungan yang membentuk kita. Apalagi kalau kita mempunyai luka batin karena kurang kasih sayang di masa lampau; betapa takutnya kita untuk tampil apa adanya. Kita berusaha keras bersikap sesuai dengan tuntutan lingkungan agar kita selalu diterima oleh semua orang. Dan tuntutan dunia ini semakin lama semakin tinggi. Orang baru akan dihargai apabila ia kaya, pintar, berkedudukan, berkuasa, berpenampilan menarik, berwibawa, punya banyak ketrampilan, dan masih sederet tuntutan lagi. Dengan berusaha keras semua orang berlomba meraihnya, padahal apakah kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dapat menjamin seseorang memancarkan kemuliaan Allah? Nyatanya, semakin seseorang menghambakan diri kepada yang duniawi, semakin citra Allah pudar dalam dirinya. Inilah saatnya kita berani mengambil keputusan untuk berbeda dengan orang lain jika kita memang berbeda. Berani menjadi diri sendiri!
Syukurlah setelah beristirahat sejenak, kesehatan saya pulih dan tubuh pun terasa segar kembali. Puji Tuhan! Maka saya segera bangkit dan meneruskan pendakian, menyusul teman-teman yang sudah lebih dahulu sampai di puncak. Sesampainya di puncak hati saya diliputi dengan rasa syukur dan kekaguman. Betapa indah dan agungnya karya Allah ini. Di kejauhan tampak puncak gunung kembar Sundoro-Sumbing, sementara awan-awan putih menari-nari lembut di sekitar leher gunung di bawah kami. Kawah Candradimuka menganga lebar dengan gagah perkasa menatap langit yang biru cerah. Di hadapan keindahan dan keagungan karya Allah yang luar biasa ini, segera kami tersadar akan kekecilan diri. Cakrawala yang luas, lautan pasir lembut menghampar, awan-awan putin menari, kawah raksasa, betapa kecilnya manusia di hadapan semua ini. Padahal, segala ciptaan ini hanyalah jejak-jejak Allah saja. Betapa lebih kecilnya lagi kita di hadapan Allah sendiri. Namun, mengapakah kita yang begitu kecil dan lemah ini dikasihi Allah sedemikian besarnya? Ah, hanya Dia yang tahu….
Apabila kita hidup sebagai hamba dunia, tampil dengan topeng-topeng yang menutupi diri kita, kita akan merasa diri besar. Kesombongan dan kebanggaan akan memenuhi hati kita karena segala prestasi dan kesuksesan yang telah kita raih. Sebaliknya kalau kita gagal, kita akan stress dan kecewa karena merasa diri terlalu besar untuk mengalami kegagalan ini. Bukalah mata dan lihatlah keagungan Tuhan di sekitar kita. Dia hadir lewat alam, sesama, dan dalam peristiwa hidup sehari-hari; terlebih lagi Dia hadir dan menjumpai kita dalam ekaristi dan doa. Di hadapan Allah yang mahabesar itulah, baru kita sadari kekecilan diri. Menyadari kekecilan diri ini sungguh penting, karena dapat menghantar kita untuk bergantung pada Allah. Dengan demikian, kita tidak usah lagi memakai topeng-topeng yang menunjukkan keperkasaan dan kemandirian. Menyadari kekecilan diri juga membuat kita sadar betapa berharganya kita di mata Allah, karena untuk kita yang kecil ini, Dia rela memberikan Putera-Nya wafat di kayu salib demi menebus dosa-dosa kita. Dengan begitu, kita juga tidak usah lagi bertopengkan kesombongan untuk menutupi rasa rendah diri kita karena kita tahu kita sangat berharga di mata Allah. Sekali pun seluruh dunia mengejek dan merendahkan kita, siapa takut? Bukankah kita sangat berharga di mata Allah? Itulah yang terpenting!
Setelah puas menikmati pemandangan di puncak gunung, kami pun segera turun pulang. Kami jalan dengan bergegas, ingin segera tiba di rumah dan beristirahat. Dalam benak kami terbayang minuman dingin dan kue yang lezat, nasi hangat dan lauknya, semua itu membuat kami menggelinding cepat menuruni gunung. Setelah di bawah, baru kami sadari bahwa kami tak sempat menikmati pemandangan Gunung Slamet dari leher gunung sampai ke bawah karena sepanjang perjalanan yang ada di mata kami hanyalah bantal dan makanan!
Dengan panjang lebar kita sudah membicarakan betapa masa lalu dapat mempengaruhi hidup kita, membuat kita tidak dapat tampil apa adanya sebagai pribadi yang unik dan utuh. Namun, ternyata tidak hanya masa lalu, tetapi masa depan pun dapat mempengaruhi kita pula. Seorang remaja SMU yang ingin menjadi aktris terkenal sangat terobsesi dengan cita-citanya itu. Akibatnya, walau ia belum menjadi aktris, ia sudah menganggap dirinya demikian. Dalam pergaulan selalu dipilihnya orang-orang yang berkelas, dalam membeli barang-barang juga dipilihnya yang bermerk tanpa peduli keuangan orang tuanya yang pas-pasan. Hampir selalu ia mengkhayalkan kehidupannya kelak sebagai seorang aktris hingga tanpa terasa ia pun lulus SMU tanpa sempat menikmati sedikit pun masa SMU-nya. Banyak sekali orang yang hidup dengan bayangan masa depan. Ketika makan yang ada di pikirannya adalah rencana-rencana yang akan dilakukannya setelah makan. Ketika bekerja yang dipikirkan adalah apa yang akan dilakukannya bila sudah pulang ke rumah nanti. Dan saat istirahat di rumah, pikirannya dipenuhi dengan apa yang akan dilakukannya saat bekerja besok. Saya jadi teringat waktu masih SD saya sering ngomel, kalau libur ingin sekolah, kalau sekolah ingin libur. Demikianlah semua ini membuat orang tidak dapat menikmati saat ini. Hidupnya dipenuhi dengan kecemasan, panik, senewen, yang seolah menutup mata hatinya untuk melihat indahnya hidup ini.
Allah menciptakan kita masing-masing dengan sungguh amat baik, dan betapa kejamnya kita jika menutupi keindahan ilahi ini. Marilah kita mohon kepada Tuhan untuk menyembuhkan luka-luka batin kita, memberanikan diri kita untuk melepaskan topeng-topeng, hidup dan tumbuh sebagai pribadi yang mandiri dan bebas, lepas dari belenggu kondisi lingkungan, masa lalu, dan masa depan. Biarlah seluruh keberadaan kita menjadi pujian bagi kemuliaan Allah, dan seluruh tubuh, sikap, dan gerak-gerik kita mengumandangkan mazmur pujian. Dengarkanlah jati diri Anda yang berbisik, “Biarkan aku menjadi diriku sendiri…”