User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.”[Matius 5:8]

I. Pengantar

Iman kepada Tuhan tidak lain merupakan “iman-relasional.” Maksudnya ialah bahwa kepercayaan kita kepada Tuhan tidak hanya berkisar pada soal tahu akan Tuhan, melainkan mengandaikan adanya jalinan relasi atau hubungan yang pribadi dengan Tuhan. Lalu dengan apakah kita bisa berelasi dengan Allah? Rasio memang dibutuhkan untuk dapat mengetahui tentang Allah, untuk dapat berpikir dan berefleksi tentang hal-hal ilahi. Akan tetapi, di balik itu ada satu hal yang terpenting di dalam relasi kita dengan Allah, yakni: hati. Jadi kita tidak berhenti pada intelek saja.

Dengan hati, soal mengetahui-Allah, bisa bergeser menjadi mengenal-Allah. Mengenal-Allah memiliki arti yang lebih mendalam ketimbang mengetahui-Allah. Mengenal mengandaikan adanya relasi, adanya dialog, adanya komunikasi, bahkan adanya pengalaman akan Allah. Hubungan ini terjalin secara timbal balik, secara dua arah secara mutual. Memang pengenalan akan Allah yang kita alami di dunia ini kita rasakan masih amat terbatas, masih samar-samar. Semuanya akan menjadi jelas apabila kelak kita bisa memandang atau melihat Allah dari muka ke muka (vision beatifica). Melihat Allah dari muka ke muka, inilah tujuan dari iman kita. Tanpa sampai kepada tujuan luhur ini, sia-sialah iman kita.

Dari teks tersebut di atas jelaslah bahwa hanya “hati yang suci” saja yang bisa menghantar kita kepada perjumpaan sejati dengan Allah. Apakah sebabnya bahwa hati menjadi begitu penting di dalam perkara ini? Sebab dengan hati kita bisa mengenal Allah. Dengan hati kita bisa mencintai Allah. Dua hati yang saling terpaut: hati ciptaan dan hati Sang Pencipta; inilah inti “iman-relasional.”


II. Konsep iman-relasional

Dalam hidup kita sehari-hari pengertian dari kata “relasi” lebih mengacu pada soal bisnis, pada soal pertukaran kepentingan, pada soal untung-rugi; singkatnya relasi-bisnis. Pada kenyataannya, kalau kita mau jujur dalam relasi kita dengan Allah, justeru kita biasanya sering terjebak dalam konsep relasi seperti ini. Kita memasang lilin di gereja, biasanya disertai dengan maksud untuk mendapatkan sesuatu. Kita berdoa kepada Allah, tidak lain dengan maksud-maksud tertentu; jarang sekali tanpa pamrih. Hubungan relasi seperti ini merupakan relasi “do-ut-des”, meminjam istilah Hinduisme dalam perkara kurban kepada dewa-dewa yang artinya “memberi supaya diberi.” Kita mencintai Allah supaya kita dicintai oleh Allah. Kita memberi persembahan kepada Allah supaya Allah juga memberi rezeki yang berlimpah kepada kita. Kita berdoa kepada Allah supaya keinginan kita dikabulkan oleh Allah. Jelas iman seperti ini tidaklah murni, sebab dicemarkan oleh kepentingan atau keinginan tertentu. Oleh karena itu, teks tersebut di atas kini menjadi penting kita soroti, terutama soal “hati yang suci.”

Suci di sini aslinya berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata “katharos”[1] Kata tersebut berarti “murni dan bersih” dalam pengertian tidak tercampur oleh hal-hal lain. Maka hati yang suci berarti iman yang murni dan bersih, yang tidak bercampur dengan hal-hal pamrih tertentu. Jelas iman yang “relasi-bisnis” atau yang “do-ut-des” tidak mendapat tempat di sini, harus dikikis dan dimurnikan.

Selama ini kita tidak menyadari bahwa iman seperti itulah yang kita miliki terhadap Allah. Lalu apakah yang harus kita perbuat? Allah amat mengerti bahwa Dia kadang-kadang, bahkan seringkali, dicintai oleh kita dengan motivasi-motivasi tertentu, dengan iman yang belum murni. Akan tetapi, Allah amat merindukan supaya kita mengubah sikap hati kita. Sebab kalau tidak, akan sia-sialah iman kita: tanpa hati yang suci kita tidak akan melihat Allah. Untuk suatu perjumpaan sejati dengan Allah, inilah satu-satunya syarat, satu-satunya jalan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, dengan bersandar pada kekuatan rahmat Allah, kita harus memurnikan iman kita. Kita perlu memurnikan motivasi-motivasi kita dalam mencintai Allah. Iman yang “relasi-bisnis” perlu dan harus kita kikis. Lalu iman-relasional bagaimanakah yang sebenarnya dikehendaki Allah?

Dalam hal ini ada tiga, yaitu: iman relasi-filial, iman relasi-fraternal, iman relasi-spousal. Iman relasi-bisnis di atas merupakan iman yang dangkal. Iman seperti ini biasanya dimiliki oleh orang belum mendalam hidup rohaninya. Namun iman tersebut akan bergeser dan bertumbuh menjadi iman yang lebih murni dan bersih, tergantung perkembangan hidup rohani kita. Ketiga bentuk iman berikut ini merupakan iman yang lebih murni dan bersih.

1. Iman relasi-filial

“Filial” mengandung konotasi hubungan timbal balik antara ayah dan anak. Di sini kita meng-identikkan diri sebagai anak dan Allah sebagai Bapa. Iman relasi-filial ini biasanya kita arahkan kepada Allah Bapa. Dalam iman seperti ini kita benar-benar percaya bahwa Allah tidak lain adalah Bapa yang mencintai kita tanpa syarat. Maka seperti layaknya hubungan kita dengan orang tua insani kita, kita pun mencintai Allah tanpa pamrih. Kita begitu yakin bahwa Allah sungguh akan memelihara dan menjagai kita. Kita percaya bahwa Bapa Surgawi akan selalu memenuhi kebutuhan kita. Maka beriman di sini tidak menimbulkan perasaan cemas atau pun takut. Cemas atau takut akan apa? Akan masa depan, cemas ini takut itu dan lain sebagainya. Kalau kita berkembang dalam iman seperti ini, kita akan menghayati hidup Kristiani kita dengan penuh sukacita dalam kemerdekaan anak-anak Allah.

2. Iman relasi-fraternal

Relasi “fraternal” merupakan relasi persaudaraan, relasi sebagai sahabat, sebagai saudara. Iman ini kita arahkan biasanya dalam relasi kita dengan Yesus. Sebab Yesus merupakan Allah-yang menyejarah. Jadi lebih mudah bagi kita untuk menganggap pribadi kedua dari Allah Tritunggal ini sebagai Sahabat kita, sebagai Saudara kita yang paling agung, seorang Pribadi yang solider dengan kita. Yesus pun pernah mengundang kita menjadi sahabat-Nya. (Yoh. 15:15) Kita bukan lagi hamba, melainkan sahabat Yesus. Bukankah ini undangan yang luar biasa dan luhur? Seperti layaknya antara dua sahabat sejati, maka unsur “berbagi” (sharing) dan unsur kesetiaan (loyalty) menjadi penting di sini. Jadi untuk berkembang ke arah iman seperti ini, kita perlu sering setia dan berbagi dengan Yesus. Setia dan berbagi dalam hal apa? Ya, dalam segalanya: dalam suka dan duka, dalam tawa dan tangis, dalam kekeringan dan penghiburan. Dan yang terpenting: setia mendampingi Dia dalam pergulatan iman-Nya di taman Getsemani. Yesus sungguh membutuhkan kita di sini. Dalam pergumulan dan pergulatan, kesulitan dan tantangan iman kita diuji. Apabila kita berhasil menjalaninya bersama Yesus, maka hidup kita pun akan menjadi otentik. Inilah rahasia dari makna penderitaan. Apabila kita berhasil menemukan hakikat dan makna dari penderitaan, maka kita pun akan melihat kecantikan dalam setiap penderitaan. Hakikat penderitaan berada dalam kesetiaan kita bersahabat dengan Yesus, menemani Yesus di taman Getsemani. Dan tentunya setia juga menemani Dia sampai di kaki salib.

3. Iman relasi-spousal

“Spousal” berasal dari “spouse” yang artinya pasangan atau kekasih. Di sini Allah adalah kekasih atau pasangan jiwa kita. Iman seperti ini sungguh sudah amat mendalam, lebih bersifat mistik. Iman seperti ini tidak lahir begitu saja. Kita tidak bisa begitu saja memproklamirkan bahwa Allah adalah kekasih dan pasangan hidup kita. Iman seperti ini mengandaikan adanya penghayatan dan pengalaman-akan-Allah yang mendalam. Biasanya para mistikus Gereja memiliki iman seperti ini, misalnya Santa Teresa dari Avila dan Santo Yohanes dari Salib (keduanya orang kudus besar sebagai mistikus dan pujangga Gereja, yang banyak menjadi rujukan dalam hidup rohani). Hubungan seperti ini mengandaikan terjalinnya persatuan yang mendalam, baik dalam doa yang mendalam seperti ekstase, levitasi, stigmata, visiuen, maupun dalam penderitaan yang luar biasa.

III. Refleksi

Demikianlah gambaran iman kita. Ketiganya hanya bisa bertumbuh pada lahan “hati yang suci.” Kitalah yang berkepentingan menanamnya dan menyiraminya, namun tidak berkuasa menumbuhkannya (bdk. 1.Kor. 3:6: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.”). Hanya Allah yang berkuasa memberi pertumbuhan. Akan tetapi, kuasa pertumbuhan-Nya akan bekerja apabila kita mau bekerja-sama. Jadi penting pula kita refleksikan pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. 1.Apakah aku setia mengikuti undangan Allah untuk berani melangkah dalam iman?
  2. 2.Apakah aku serius dan tekun menjaga kemurnian hatiku sebagai lahan bagi pertumbuhan imanku?

NB. Kami mengundang anda untuk memberikan tanggapan terhadap tulisan ini, dan tanggapan anda sangat memperkaya tulisan ini. Kami juga menunggu anda yang berminat menjadi kontributor entah berupa artikel atau kesaksian ke situs ini.


[1] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari-Matius ps. 1-10; Jakarta: BPK, 1995; hal. 176.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting