User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

PENGANTAR

Menjadi Imam zaman sekarang bukanlah suatu pilihan yang mudah. Mengapa? Karena menjadi imam bukan hanya menyelesaikan program pendidikan. Tetapi seorang imam juga diharuskan – lebih tepatnya – dituntut menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada yang ditawarkan di dunia ini. Di samping itu mereka juga dituntut untuk menjadi bagian dari sesamanya. Ambil bagian dalam kehidupan umat yang dipercayakan pada mereka. Gereja sungguh menyadari tantangan yang harus dihadapi. Rasul Pauluspun menyadari hal ini, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2). Setiap zaman memiliki problemnya sendiri-sendiri, namun dalam terang dan bimbingan Roh Kudus Gereja berhasil memecahkan permasalahannya dengan baik.

Mengenal kehendak Allah mutlak ada dalam diri seorang imam. Hubungan pribadi yang mendalam dengan Allah harus ada. Hidup para Imam ditujukan pada satu tujuan yaitu pada kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus yang terealisir dalam pewartaan Sabda, Ekaristis, pelayanan sakramen-sakramen, serta pelayanan-pelayanan lainnya. Tentu saja untuk mencapai itu semua mereka harus secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang terlaksana dalam Kristus  lewat bimbingan Roh Kudus dan menampakkan semuanya itu melalui seluruh hidup mereka.

Satu tantangan bagi imam zaman sekarang adalah bagaimana memelihara dan menjaga agar tujuan keimamatannya tidak hilang karena faktor pribadi, kejenuhan, merasa ditolak, merasa tidak didukung oleh Uskupnya, faktor usia dan lain sebagainya. Selain itu satu hal yang patut dilihat lagi adalah bagaimana kehadirannya mencerminkan kehadiran Allah yang nyata yang melawat umatNya dalam kasih.

Mungkin kita perlu bercermin pada kegigihan para imam masa lalu. Tidak sedikit para imam masa lalu yang hanya dengan kehadirannya membuat orang merasa damai dan tentram. Kotbah-kotbah mereka mungkin saja sederhana tapi mereka mampu membuat gereja selalu penuh, umat berbondong-bondong datang dari tempat yang jauh hanya untuk mendengarkan mereka. Cara hidup mereka yang sederhana, bahkan ada yang hidup jauh dari keluarga, masuk ke daerah yang terpencil dan tidak pernah menyesal akan pilihan hidup mereka. Lihat saja para Rasul, orang-orang sederhana yang dalam kesetiaannya pada Allah, setelah pencurahan Roh Kudus, berubah menjadi orang-orang yang berani mewartakan tentang Kristus, St. Fransiskus Asisi, yang dengan hidupnya mengajarkan tentang cinta dan kesederhanaan sejati, pastor Yohanes Vianney, pastor sederhana yang telah menyedot perhatian dunia lewat kerendahan hati dan kebijaksanaannya yang mengagumkan.

Juga ada tokoh pada abad ini, Paus Yohanes Paulus II yang mewartakan Allah yang penuh kasih lewat hidupnya. Mereka ini boleh digolongkan sebagai pribadi-pribadi yang kharismatis, pribadi-pribadi yang bukan hanya matang dan dewasa dalam hidupnya tetapi juga dalam imannya, pribadi-pribadi yang mampu membuat orang melihat ke arahnya walau dari arah yang berlawanan ada hiburan yang tak kalah menariknya.

Pertanyaannya, adakah imam-imam yang memiliki kharisma seperti itu? Kalau ada di manakah mereka berada? Apakah yang telah membuat mereka menjadi orang-orang yang berkharisma? Mengapa mereka disebut imam yang kharismatis?

   

TO BE A PRIEST

Panggilan imamat adalah karunia dan misteri. Misteri karena merupakan pilihan Allah sendiri, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Suatu karunia yang melampaui orang itu secara tak terbatas. Pilihan yang misterius dari Allah ini bukanlah karena jasa-jasanya, kehebatan dan kebaikan tapi semata-mata karena tujuan Allah sendiri dan rahmat-Nya yang Ia berikan pada mereka (2 Tim 1:9). Lewat cara yang berbeda setiap imam membawakan Pribadi Kristus kepada umat yang dilayaninya. Karena tugas inilah mereka diperkaya juga dengan rahmat istimewa supaya kelemahan manusiawinya disembuhkan oleh kesucianNya, yang bagi kita telah menjadi Imam Agung, “kudus, tidak mengenal dosa, tanpa noda, terpisah dari kaum pendosa” (Ibr 7:26). (PRESBYTERORUM ORDINIS – Dokumen Konsili Vatikan II)

Kehadiran mereka semata-mata adalah karunia Allah. Imam bukanlah sumber dari kehidupan rohani, mereka hanya membagikan apa yang mereka terima dari Allah untuk umat Allah. Sumber utama dan asli adalah Kristus. Mereka hanyalah pelayan Sabda, pelayan liturgi dan sakramen-sakramen. Lewat cara inilah mereka dalam kuasa Roh Kudus melanjutkan tugas pengajaran Guru Ilahi dalam pangkuan Gereja (Kongregasi Klerus: Instruksi “IMAM, GEMBALA DAN PEMIMPIN PAROKI”)

Mari kita simak kembali apa yang dikatakan para bapa Konsili Vatikan II dalam Presyterotum Ordinis. Seperti Yesus yang telah diutus oleh Bapa untuk tinggal bersama manusia, bergaul erat dengan umat manusia, demikian pula para imam. Mereka telah dipilih dari antara manusia, dan ditetapkan untuk manusia dalam hubungannya dengan Allah, “disendirikan untuk Injil Tuhan” (Rm 1:1). Karena itu, mereka harus menjadi saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada hidup di dunia. Mereka juga harus mampu menjadi bagian dari umat yang dilayani.

Memang tidak mudah untuk mewujudkan semuanya itu. Namun, Gereja memberikan jalan kepada para imamnya. Jalan untuk mewujudkan semuanya itu adalah dengan menghidupkan keutamaan-keutamaan seperti yang dikatakan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi; ”semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8).

Mereka tidak hanya membawa umat untuk tahu tentang Allah semata-mata tetapi juga membawa mereka untuk mengenal sekaligus mengalami sendiri sentuhan Allah. Membawa mereka untuk mengalami Allah secara pribadi. Ini bukanlah tugas yang mudah. Kotbah indah bukan jaminan untuk membangun umat. Teladan hidup dari seorang imamlah yang sebenarnya memiliki peranan besar dalam membangun iman umat. Teladan hidup ini mengandaikan bahwa seorang imam menjalani hidupnya dalam persatuan yang erat dengan Allah. Caranya? Mewartakan sabda dengan sungguh-sungguh seperti yang diminta oleh Tuhan: “pergilah ke seluruh dunia, wartakanlah Injil kepada segala mahluk” (Mrk 16:15); memberikan pelayanan sakramen-sakramen dan Ekaristi dengan setia dan penuh kasih; mengajar dan memimpin mereka dalam bimbingan Roh Kudus.

Apakah ini terlalu ideal? Tidak juga. Inilah tuntutannya. Inilah jalannya yaitu dipanggil menuju kesempurnaan “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Mat 5:48). Menjadi imam mengandaikan kemampuannya untuk memahami dan menyadari bahwa segala yang dilakukannya, dilakukan sebagai imam. Tidak ada satu sisipun dalam hidupnya sebagai imam yang membuat ia jauh dari kehidupan umatnya. Mungkin saja ada sebagian imam yang merasa bahwa kehidupan mereka seolah-olah ada dipinggir kehidupan umatnya. Jelas sekali ini suatu pandangan yang keliru. Justru kehidupan dan pelayanannya langsung menyangkut pusat kehidupan karena mampu menerangi, merujuk dan membaharui segalanya (Kongregasi Klerus: Instruksi “IMAM, GEMBALA DAN PEMIMPIN PAROKI”).

Kembalilah untuk memberikan perhatian pada hidup rohani dan spiritual. Ini jauh lebih penting dari pada aktivitas hampa tanpa sifat kenabian. Seorang imam adalah ‘insan-insan yang berbicara atas nama semua kepada Allah’ mereka hampir menjadi ‘mulut Gereja’. Dalam membangun hidup rohani dan spiritualitas dituntut adanya iklim relasi yang intim dengan Kristus, suatu persahabatan yang sejati, perjumpaan yang pribadi dengan-Nya, perutusan pelayanan ‘bersama’, serta pengabdian bagi Pribadi-Nya. Semua ini hanya mereka temukan lewat Ekaristi yang adalah pusat pelayanan dan hidup rohaninya. Dengan pengurapan Roh Kudus yang diterima saat tahbisan mereka menerima rahmat dari Kristus menuju kedewasaan yang matang untuk hidup imamatnya seperti yang dikatakan Rasul Paulus: “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13).

 
IMAM YANG KHARISMATIS

Salah besar kalau mengira bahwa seorang imam yang kharimatis itu adalah imam yang terjun dalam Pembaharuan kharismatik. Tidak!  Imam yang kharismatis itu adalah imam yang sungguh menghayati panggilannya dan mau bekerja sama dengan Allah bagi pelayanannya. Imam yang membiarkan dirinya dibimbing secara langsung oleh Roh Kudus yaitu Roh Allah sendiri yang akan mengajarkan kepada mereka apa yang harus mereka lakukan. Dia tidak pernah dapat menjadi imam yang sejati kalau ia hanya menjadi “imam” (baca: imam dalam tanda petik; imam-imaman), ia harus menjadi imam yang sungguh-sungguh, imam yang sejati.

Dalam suratnya kepada para imam, pada hari  Kamis Putih 1990, Paus Yohanes Paulus II, mengajak para imamnya untuk berdoa dan memohon Roh Kudus agar Ia selalu mengunjungi hati dan setiap pengajaran mereka (Letters to My Brother Priest 1979-1999- Pope John Paul II). Jauh sebelumnya Yesus telah berjanji kepada para muridNya bahwa Ia tidak akan meninggalkan mereka sendirian. Ia akan mengutus seorang penghibur lainnya “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26).

Inilah faktanya, kita adalah bait Roh Kudus (I Kor 3:16). Dalam menjalankan tugas dan panggilannya sebagai imam, mereka telah dikhususkan oleh Roh Kudus sehingga merekapun dapat berkata seperti Rasul Paulus:

“Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” I Kor 1:26-28).

Kelemahan dan ketakberdayaan bukanlah halangan bagi mereka yang dengan sungguh-sungguh mau memberikan dirinya dituntun dan dibimbing oleh Roh Kudus. Imam yang membiarkan dirinya bagaikan tawanan Roh Kudus (Kis 20:22) dalam segalanya akan membiarkan dirinya dibimbing oleh kehendak Dia, yang menghendaki keselamatan setiap orang. Paul O’ Sullivan, O.P., pernah menulis bahwa seorang imam yang mempunyai devosi besar pada Roh Kudus berbuat lebih banyak dari pada seribu romo lain. Dengan membiarkan dirinya bekerja sama dengan Roh Kudus seorang imam dengan sendirinya mempersembahkan dirinya secara total pada penyelenggaraan Roh Kudus, membiarkan dirinya dituntun oleh Roh Kudus sendiri.

Karena itu, diperlukan suatu kualitas hidup dan pelayanan yang sejati. Imamat merupakan suatu panggilan khusus yang secara khusus menjadikan dia serupa dengan Kristus, Guru, dan Imam agung yang ia terima lewat peletakan tangan dan permohonan kepada Roh Kudus dalam sakramen tahbisan. Seluruh hidupnya diubah sehingga ia sepenuhnya dapat menjadi tanda kehadiran Allah yang meyakinkan dan efektif. Ia harus menghayati imamat itu sebagai satu karunia utuh dirinya bagi Allah. Jika hal ini dihayati dengan sungguh-sungguh maka pikirannya, sikapnya, kegiatannya, dan hubungannya dengan orang lain seluruhnya menunjukkan bahwa ia telah mengenakan “pikiran Kristus”. Berkaitan dengan itu, Paulus pernah berkata: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia? Tetapi kami memiliki pikiran Kristus” (I Kor 2:16) dan lagi hanya orang yang mempunyai relasi dengan Allah saja yang dapat berkata: “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20).

Untuk mencapai tingkatan itu, mereka harus menjadi Man of Prayer. Hanya dengan sering kembali dan percaya kepada Allah dan mencari bimbingan Roh Kudus, seorang imam dapat memenuhi misisnya. Para imam perlu menginteriorisasi kenyataan bahwa ada “satu ikatan/ hubungan mesra antara hidup rohani imam dan praktek pelayanannya’ (Yohanes Paulus II Pastores dabo vobis). Satu hidup doa yang komit membawa karunia kebijaksanaan, olehnya Roh membimbing imam itu untuk menilai segala sesuatu dalam terang injil, menolong  dia untuk membaca dalam pengalamannya sendiri dan pengalaman Gereja, rencana Bapa yang terkasih.

Pernah dalam satu ilustrasi di sebuah majalah rohani katolik dilukiskan perbandingan antara imam tempo dulu dan imam jaman sekarang. Imam tempo dulu, sementara berjalan-jalan hal yang ia kerjakan adalah berdoa rosario, tetapi imam jaman sekarang, sementara berjalan-jalan ia ber-HP ria. Ilustrasi ini mungkin bisa menjadi bahan reflekasi bagi kita. Bukankah “kita tidak dapat memberikan apa yang tidak ada pada kita?” Kalau seorang imam tidak mempunyai hubungan yang mendalam dengan Tuhan, bagaimana ia dapat mengajarkan tentang hidup rohani? Jika seorang imam tidak pernah meminta bimbingan Roh Kudus untuk mengajarkan dia mengerti Kitab Suci dengan benar bagaimana ia dapat menafsirkannya pada umat? Dan tentu hal ini akan bertentangan sekali dengan apa yang dikatakan para rasul:  “Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar; kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia” (Kis 4:20.32).

Demikianlah setiap imam dipanggil untuk pertama-tama menjadi Jembatan antara Allah dan umatnya. Dan tugas ini – sekali lagi saya katakan di sini -  bukan tugas yang gampang. Menjadi imam yang suci dan kudus tidak hanya dengan memenuhi tuntutan rohani seperti kerendahan hati dan ketaatan, selibat, serta kemiskinan sukarela. Tetapi harus lebih dari itu. Bukankah Yesus pernah berkata:

“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna”  (Mat 5: 46-48).

Jika seorang imam dapat melakukan yang lebih lagi dari tuntutan itu, mempunyai hubungan dan hidup doa yang mesra dengan Allah, membiarkan dirinya dibimbing dan dituntun oleh Roh Kudus, dialah imam yang berkharisma itu. Dia tidak harus pandai, tidak harus bisa segala-galanya, karena apa yang bodoh di mata manusia justru itulah yang dipilih oleh Allah. Pastor Yohanes Vianney hanyalah salah satu dari begitu banyak imam yang memiliki kharisma untuk membawa orang pada pengenalan akan Allah dengan cara hidupnya, kesederhanaan, nasehat-nasehatnya, padahal ia “dibuang” ke desa supaya tidak membuat kesalahan yang parah. Lihat juga Fransiskus Asisi, Yohanes Paulus II.


REFLEKSI

Zaman sekarang adalah jaman bangkitnya umat. Di mana-mana kita akan menemui umat yang begitu aktif. Mereka menanyakan soal-soal yang mungkin saja bagi kita tidak pernah terpikir untuk mengatakannya. Belum lagi pengaruh sekularisasi dan hedonisme yang begitu kuat merasuk dalam kehidupan hingga pada akhirnya mematikan secara perlahan-lahan hidup rohani umat bahkan imamnya. Fakta lain lagi yang muncul adalah ketidakpuasan umat dalam Gereja Katolik membuat begitu banyak umat yang ‘terpaksa’ bahkan ‘memaksakan diri’ untuk pindah ‘rumah’. Kehancuran dan perceraian dalam keluarga yang mengerikan. mengapa? Sedang tidurkah Gereja?

Dalam situasi seperti ini, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kita membutuhkan imam-imam yang punya kharisma. Imam-imam yang mampu berdoa dan bermatiraga bagi hidupnya dan umatnya. Memang, ini bukan hanya tugas imam semata-mata. Ini adalah tugas kita bersama. Imam dan umat.

Saya menjumpai beberapa imam, yang hidupnya sungguh membuat saya kagum. Hanya dengan kehadiran mereka saja saya merasakan kehadiran Allah yang sungguh nyata. Kehadiran, perhatian cinta yang mereka berikan –tidak secara eksklusif- mengajarkan pada saya itulah cinta sejati. Tidak terikat pada seseorang atau sesuatu. Hidup mereka sederhana saja, namun justru itulah daya tariknya. Segala sesuatu dalam hidupnya berjalan dengan tenang, tanpa ketergesa-gesaan, dan tentu saja kehidupan doanyalah yang membuat mereka demikian. Inilah yang membedakan antara satu imam dengan imam yang lain yaitu relasi intimnya dengan Allah.

Sebagai umat, mungkin saja kita terlalu banyak menuntut. Kita mengharapkan dan menginginkan seorang imam seperti superman tapi  lupa untuk mendukung mereka dengan doa dan juga tindakan kita. Marilah kita berdoa bagi para imam, agar Roh Allah senantiasa tercurah atas mereka dan agar mereka senantiasa dilindungi dari segala godaan dan dosa dan menjadikan mereka imam-imam yang tangguh dan berani membela kebenaran iman demi kemuliaan Allah dalam bimbingan kuasa Roh Kudus.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting