Print
Hits: 7656

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 


Hari mulai menjelang sore, namun matahari masih menyisakan terang yang memadai bagi para pejalan kaki untuk sekedar melanjutkan perjalanannya tanpa tersesat. Suasana biasa-biasa saja. Tidak ada hal luar biasa yang terjadi atau kelihatannya akan terjadi. Hari yang sama seperti hari-hari yang lain di Cortona.

Namun tidak demikian yang dirasakan oleh seorang wanita muda di dalam suatu rumah batu yang terletak di pinggiran kota, mungil namun indah dan bersebelahan langsung dengan hutan. Wanita itu, Margaret, merasa gelisah. “Ah, seharusnya ia sudah kembali sekarang. Tidak biasanya ia pergi sampai sesore ini,” Margaret bertanya-tanya dalam hatinya sambil memain-mainkan jari-jari tangannya yang lentik. Usia Margaret belum mencapai tiga puluh, bahkan paras wajah dan postur tubuhnya yang menarik mencerminkan usia yang jauh lebih muda. Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar lima tahun berlari keluar dari ruangan sebelah diiringi oleh seorang gadis muda, pengasuhnya. Rupa anak itu begitu tampan menyerupai wajah cantik ibunya. “Ma, mengapa papa belum pulang?” tanyanya sambil melemparkan dirinya ke dalam pelukan ibunya. “Entahlah, nak, mama juga heran,” Margaret menjawab dengan nada khawatir sambil mengelus kepala dan mempermainkan rambut anaknya dengan lembut. “Kamu pergilah mandi dulu dengan Betty, mama mau menyiapkan makan malam sebentar.” Lalu ia berpaling kepada gadis muda tadi, “Betty, tolong mandikan dia dulu.”

Sesudah mereka berdua masuk, Margaret tidak segera menyiapkan makan malam. Kegelisahannya kali ini tidak seperti biasanya, “Pasti ada sesuatu yang terjadi, tapi apa?” Ia pun mencari tempat duduk lalu duduk sambil terus meremas-remas jarinya, suatu kebiasaan yang selalu dilakukannya bila sedang khawatir dan gelisah. Ia merasa sangat cemas dan sesuatu dalam hatinya tiba-tiba mendorongnya untuk melakukan suatu hal yang sudah lama ia lupakan, berdoa.

Margaret memang memiliki semua yang bisa diimpikan oleh seorang gadis desa, anak seorang rakyat jelata yang miskin. Ia memiliki paras wajah yang menarik, uang, kehormatan, pakaian-pakaian indah, makanan mewah, seks, pesta-pesta dan teman-teman yang berpengaruh. Kekasihnya yang kaya, seorang bangsawan, mampu memberikan semuanya itu kepadanya. Mereka telah hidup bersama selama sembilan tahun tanpa mempedulikan bisikan-bisikan dan bahkan teguran-teguran dari masyarakat sekitar mereka. Segala nasihat pastor paroki untuk Margaret berkenaan dengan hubungan yang terlarang ini sama sekali tidak dipedulikan olehnya. Bahkan dari hubungan itu telah lahir seorang anak laki-laki. Margaret merasa sayang untuk melepaskan semuanya itu sekedar hanya untuk melaksanakan tuntutan agamanya.

Namun sekarang, di saat kegelisahan yang tidak lazim itu datang menghampirinya, di saat kekasihnya yang berangkat tadi pagi bersama anjing kesayangannya tidak pulang-pulang, timbullah keragu-raguan baru di dalam hatinya. Ah, mungkin hubungan dengan kekasihnya bukanlah yang paling baik bagi mereka. Mungkin, Tuhan yang telah dihindarinya bertahun-tahun lamanya tidak berkenan akan tingkah laku mereka. Tidak, Margaret tidak mau tahu akan hal itu. Ia segera menampik pikiran-pikiran itu. “Ketika saya sedang kedinginan, di mana Tuhan? Ketika saya lapar, tidak ada tangan dari atas yang menjatuhkan roti bagi saya,” hatinya melawan. “Tempat saya di sini, di mana ada pesta-pesta, musik, pakaian bagus dan makanan yang lezat-lezat,” lalu lanjutnya dalam kegetiran hati, “Tuhan tidak pernah memberikan semuanya itu kepadaku.”

Ketika ia sampai kepada pikiran in entah kenapa, ia masih merasa was-was. Dosa-dosa yang dilakukannya memberikan suatu tekanan dalam batinnya. Tiba-tiba ia merasakan suatu kesadaran baru, kenyataan yang sungguh mengagetkannya, ia tidak bahagia. Ya, ia tidak pernah bahagia. Semua kesenangan itu: seks, pesta pora, mabuk-mabukan, menjadi tidak mempunyai arti, hampa dan sia-sia. Tidak ada yang tertinggal, kosong. Serta-merta ia tersentak, “Tidak... Persetan dengan semuanya itu!” Pikiran-pikiran itu pun akhimya lenyap tersapu bagaikan abu tertiup angin.

Kalau kita membaca kisah Margaret ini, mungkin kita tidak akan terlalu heran. Kita sudah biasa membaca kisah-kisah seperti ini. Tidak ada yang aneh; perselingkuhan, skandal, gosip, kumpul kebo, seks bebas dan pesta pora, yang diiringi kemudian dengan munculnya keragu-raguan dalam hati, hati nurani yang mulai berbicara, kesadaran-kesadaran akan dosa, yang akhirnya kembali ditenggelamkan oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dan rasa cinta diri yang tinggi. Semuanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadikan kisah yang terjadi pada pertengahan abad ketiga belas ini lain adalah perkembangan yang terjadi selanjutnya.

Saat Margaret baru saja berhasil menepis segala kegelisahan dengan kekerasan hatinya, suatu dengkingan halus di depan pintu rumahnya menyerap perhatiannya. Ia segera mengenalinya sebagai suara anjing kesayangan kekasihnya. Ia langsung berdiri dan dengan langkah-langkah yang panjang berjalan menuju pintu utama dan membukanya. Benarlah, anjing kekasihnya kembali, tapi tanpa kekasihnya. “Di mana dia?” serunya dengan nada kecemasan yang besar kepada anjing itu. Anjing itu, yang seolah-olah mengerti perkataan istri tuannya, segera menggonggong dan berlari ke arah hutan yang biasa dilalui tuannya bila bepergian. Margaret tanpa menunggu lagi, segera berlari mengikuti anjing itu.


Mereka masuk ke dalam hutan. Anjing itu terus berlari dan sesekali menoleh ke belakang kepada Margaret yang mengikutinya dengan susah payah. Pakaian yang dikenakan Margaret segera robek di sana-sini tersangkut semak dan duri, namun ia sama sekali tidak peduli dan berjalan terus. Setelah masuk cukup jauh ke dalam hutan, sampailah mereka di depan sebuah tumpukan besar ranting-ranting dan daun-daun yang kelihatannya baru ditimbun oleh seseorang. Anjing itu mulai mendengking lagi, mengendus dan mengais-ngais tepian tumpukan daun dan ranting itu.

Melihat itu, Margaret tertegun sebentar. Namun ia segera tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan harap-harap cemas ia berlutut dan segera membongkar timbunan itu.Tidak perlu sampai lama ia bekerja, tubuh memar dan penuh luka dari kekasihnya segera ditemukannya terbaring mati di bawah semua timbunan daun-daun dan ranting-ranting basah itu.

Saat itu, sepertinya bumi berhenti berputar bagi Margaret. Tidak, ia tidak heran akan apa yang ditemukannya, bahkan seolah-olah ini memang sudah diketahuinya sebelumnya. Namun yang menjadi kegetiran hatinya adalah semua pikiran-pikiran yang tadi menghantuinya timbul kembali. Suara-suara yang semula seperti bunyi lonceng-lonceng kecil sekarang menjadi seperti dentuman-dentuman meriam di dalam hatinya. “Apa? Apa yang harus kulakukan?” Dan dorongan yang kuat itu pun muncul kembali dan kali ini Margaret menurutinya. Berlutut di samping tubuh kekasihnya, ia pun bertobat, mengakui segala dosa masa lampaunya dan juga andilnya dalam segala kejahatan yang pernah dilakukan kekasihnya yang kini terbaring mati di hadapannya. Apakah kekasihnya mendapatkan kesempatan terakhir untuk bertobat? Kalau ia memang mendapatkannya, apakah ia mengambil kesempatan itu? Apakah sekarang ia berada di neraka, seperti yang paling ditakutkan oleh Margaret terjadi pada jiwa kekasihnya? Oh, Margaret merasa sangat bersalah. Ia tidak pernah mempedulikan keselamatan jiwa kekasihnya, bahkan ia mendukung kekasihnya dalam segala kesesatannya. Perasaan bersalah ini membuatnya lari dari tempat itu, lari dari rumahnya dan pergi kepada seorang imam dan mengakukan semua dosanya. Ia tidak pernah mengetahui mengapa kekasihnya dibunuh dan siapa pembunuhnya.

Seluruh sisa hidupnya, kurang lebih 25 tahun, dilaluinya dengan kesederhanaan dan kemiskinan yang ekstrim sebagai anggota ordo ketiga Fransiskan. Sambil membesarkan anaknya, ia juga merawat mereka yang sakit dengan penuh kasih sayang, memberi makan mereka yang kelaparan dan memberikan nasihat-nasihat rohani kepada banyak orang yang datang kepadanya memohon bimbingan. Banyak yang sembuh dari penyakitnya dan lebih banyak lagi yang oleh bimbingan-bimbingan rohani yang diberikannya lolos dari kebinasaan akibat dosa.

Memang pada mulanya banyak orang yang meragukan pertobatannya. Namun pada akhirnya, ketulusannya dalam melakukan penitensi-penitensi atas dosa-dosanya membuat semakin banyak orang yang bersimpati kepada Margaret. Ia mewujudkan pertobatan hatinya secara nyata dalam laku tapa dan matiraga sebagai silih atas dosa-dosanya. Bahkan terkadang usaha menyiksa diri yang dilakukannya sebegitu kerasnya sehingga Tuhan melalui bapa pengakuan Margaret melarangnya untuk melanjutkannya. Margaret taat dan segera melupakan niatnya, antara lain untuk digiring keliling kota dengan tali di leher sambil menyerukan dosa-dosanya.

Matiraga dan laku tapa yang dilakukan Margaret bukan semata-mata untuk menyilih dosa-dosanya saja, tetapi juga untuk mendisiplinkan tubuhnya yang senantiasa digoda oleh si jahat untuk melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan. Segala godaan seksual dan tarikan dari dunia masih tetap ada dan nyata bagi seorang kudus sekalipun. Hanya perbedaannya adalah, para kudus berhasil mengalahkan segala godaan itu. Suatu ketika ia mengakui hal ini kepada bapa pengakuannya, “Jangan meminta saya untuk menyerah kepada badanku ini. Saya tidak bisa melakukannya. Antara saya dan badanku harus ada pergumulan sampai mati.”

Dunia dewasa ini mengalami godaan kemurnian yang bahkan melebihi abad-abad yang lampau. Dengan segala tingkah-laku seksual yang terkadang membuat kita bergidik mendengarkannya, manusia sering tidak sempat bertobat pada akhir hidupnya dan akhirnya harus menyerahkan diri kepada kebinasaan dan siksaan kekal. Hanya sedikit saja yang akhirnya sadar untuk berbalik seperti seorang Margaret yang akhirnya menjadi seorang kudus yang besar. Kesempatan untuk bertobat sebenarnya selalu ada. Sekarang hanya tergantung kepada keterbukaan hati manusia untuk menerimanya. Kerahiman Tuhan terbuka bagi siapa saja yang menyadari dosa-dosanya dan mengakuinya dengan rendah hati di hadapan-Nya. Margaret menjawabnya dengan tuntas. Setelah pertobatannya, ia menyerahkan dirinya seutuhnya kepada Kristus, mengabdi-Nya dengan segenap hati dan kekuatannya. Ia sungguh-sungguh menemukan kerahiman dan cinta kasih sejati dari Kristus.

Suatu saat menjelang akhir hidupnya, Tuhan bersabda kepada Margaret, “Aku menjadikanmu suatu contoh kepada para pendosa,” lanjutNya lagi dengan lembut, “Agar di dalam engkau mereka mengerti akan kerahiman-Ku yang menunggu setiap pendosa yang ingin berbalik kepada-Ku. Karena sebagaimana Aku telah berbelaskasih kepadamu, Aku juga akan berbelaskasih kepada mereka.”