Print
Hits: 7755

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Dalam hidup sehari-sehari, setiap orang akan berhadapan dengan realitas penderitaan. Memang, penderitaan yang diakibatkan oleh kesalahan sendiri cenderung lebih mudah diterima. Namun, bila penderitaan itu disebabkan oleh orang lain, bukan dari diri sendiri. Jelas tidak mudah menghadapinya. Secara manusiawi, orang cenderung bersikap menolak, memberontak bahkan menuntut balas kepada yang mendatangkannya. Jika demikian, apa yang harus kita perbuat untuk memaknai penderitaan orang yang tak bersalah?

Dalam sebuah lakon Ciptaning yang menjadi salah satu kisah populer pewayangan kakawin “Arjunawiwaha” diceritakan penderitaan Pandawa yang dijerat oleh Kurawa (lh. Kompas, 25/3/11). Kekalahan Pandawa main dadu yang telah direkayasa curang oleh Kurawa sungguh menyakitkan. Pandawa pun harus kehilangan Kerajaan Amarta, dan wangsa ini harus jatuh miskin secara mendadak. Tidak hanya itu, Dewi Drupadi pun harus menanggung malu “hampir ditelanjangi” oleh Kurawa di hadapan khalayak ramai.

Hati siapa yang tak panas, frustasi bahkan berontak mau melabrak kedengkian Kurawa. Namun, Semar yang bijak menasehati Arjuna agar “turun” ke Gunung Indrakila, untuk bertapa, menyucikan diri, dan belajar menanggalkan “segala keinginan duniawi” demi satu tujuan luhur yang hendak dicapai. Tak disangka-sangka, Arjuna pun menghadapi godaan dahsyat dan berat. Ia harus menepis segala tawaran kekuasaan, syahwat, dan kepandaian. Berkat kesungguhan hatinya, ia pun menerima pusaka panah sakti Pasopati untuk mengalahkan musuh-musuhnya.

Pengalaman “pencobaan” Arjuna ini mirip dengan pengalaman padang gurun yang dialami Yesus dari Nazaret.  Setelah Yesus dibaptis di Sungai Yordan, Dia dipenuhi oleh Roh dan digerakkan oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai iblis (bdk. Mat 4:1-11). Yesus yang lapar (dan haus) digoda iblis untuk “mengubah batu menjadi roti”, “menguji kuasa Allah” dan “kemegahan dunia asal rela menyembah iblis”. Akhirnya, Yesus mampu mengalahkan godaan duniawi, egoisme, dan kuasa jahat dengan bersandar pada Allah dan kekuatan firman Allah.

Dari kedua kisah tersebut, nampak adanya kemiripan antara Arjuna dan Yesus yang dapat mengalahkan godaan dan pencobaan yang dihadapinya. Namun, jelas ada perbedaan. Arjuna bertapa dan mengalahkan serentetan godaan hanya untuk balas dendam, yaitu untuk menggapai kemenangan dalam perang Baratayudha. Sebaliknya, Yesus mengalahkan pencobaan dari iblis, bukan untuk ambisi dan keinginan tertentu. Tetapi, Yesus mempersiapkan diri untuk perutusannya di dunia ini, yakni melaksanakan kehendak Allah yang telah mengutus-Nya dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (bdk. Yoh 4: 34). Dengan kata lain, Arjuna bertapa untuk mencapai kesaktian. Tetapi, Yesus memberikan teladan untuk “membongkar” pekerjaan kegelapan dengan selalu mendekati Sang Terang Ilahi dan kuasa sabda-Nya.

Meski, kedua kisah memiliki konteks dan kepentingan tertentu. Kita dapat belajar untuk menghadapi penderitaan, menerima krisis, dan melewati pencobaan itu, khususnya penderitaan yang tak dikehendaki. Ternyata, jawabannya bukan sesuatu yang muluk-muluk. Kita tidak perlu lari atau minggat dari kenyataan. Justru, semua pencobaan itu membentuk kita menjadi pribadi yang dewasa dan tahan uji. Orang perlu bertekun dalam penderitaan. Ia mampu melewati krisis bukan dengan kekuatannya sendiri, tetapi ia membutuhkan kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yaitu Allah dan firman-Nya.

Teladan memaknai penderitaan pada zaman ini begitu indah dihadirkan oleh Yohanes Paulus II yang akan dinobatkan menjadi “beato” pada tanggal 1 April 2011. Paus yang saleh ini tidak hanya mengajarkan doktrin-doktrin teologis belaka. Tetapi lebih daripada itu, ia sendiri telah menghayati penderitaan seperti Yesus, Sang Guru dan Tuhan yang telah menderita demi keselamatan umat-Nya. Yohanes Paulus II telah memberikan inspirasi, terang, kesaksian, bahwa ajaran Yesus dan Kerajaan Allah bukan sesuatu yang aneh, tetapi Paus Yohanes Paulus II telah menyatakannya kepada kita melalui hidupnya sendiri.

Tidak mengherankan, begitu banyak orang, peziarah, orang beriman, tokoh agama, pemimpin negara yang menghantar kepergiannya kembali ke rumah Bapa pada tanggal 20 April 2005 yang lalu. Inilah salah satu pesan dari seorang peziarah di makamnya: “Tolonglah aku melewati masa-masa sulit dalam hidupku. Tolonglah aku agar dapat menanggung penderitaan dengan bermartabat dan sabar. . .  seperti yang engkau lakukan! Aku mohon: sembuhkan diriku! Tolong aku agar dapat memulihkan kesehatanku supaya aku dapat merawat keluargaku. Lindungilah dan bimbinglah anak-anakku. . . aku selalu mengingat di hatiku kata-katamu: “Jangan takut”. 

 

 

Serafim Maria CSE

Penulis tetap di situs carmelia.net