User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 1. PENGANTAR 

“Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” (Yoh. 1:4) Kutipan Injil Yohanes ini dibaca pada perayaan Natal, perayaan kelahiran Yesus Kristus “Sang Terang Sejati” yang membawa keselamatan bagi semua manusia. Natal telah menjadi perayaan universal, bukan saja di kalangan orang-orang Kristiani, tetapi juga di kalangan non Kristiani. Perayaan ini telah “menyeberang” melampaui tembok-tembok iman Kristiani. Akan tetapi, apakah orang-orang yang merayakan Natal mengerti arti perayaan ini? Umat Kristiani jangan sampai terjebak dalam seremonial Natal tetapi lupa arti dan pesan terdalam dari Natal. Tulisan ini tidak bermaksud berbicara tentang Natal, tetapi mau menampilkan makna teologis kelahiran Kristus yang kita rayakan pada perayaan Natal.

 

2. FIRMAN MENJADI MANUSIA

Dalam teologi Kristiani, Pribadi Putera seringkali disebut dengan “Firman, Sabda, Logos.” Prolog Injil Yohanes dimulai dengan teologi logos. “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh. 1:1) Dalam teologi Yohanes, “Logos” atau “Sabda Ilahi” itu adalah “pre-eksistensi.” Artinya, Putera Allah telah ada dalam keabadian dan turun ke dunia untuk dinyatakan dalam sejarah manusia. Logos mengatasi ruang dan waktu. Dia sudah ada dari semula sampai keabadian/kekal. “Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” (Yoh. 1: 2-3) Akan tetapi kini “Sang Logos, Sabda, Firman” itu telah menjadi manusia (Verbum caro factum est) dan tinggal di antara kita. (Yoh. 1:14, bdk. Flp. 2:7, Ibr. 1:2-3)

Allah mewahyukan diri paling utama melalui inkarnasi (Penjelmaan putera Allah menjadi manusia). Firman, di mana kemuliaan Allah dan kehadiran-Nya diwahyukan sebagai tanda kasih-Nya yang terus-menerus. Teks Kitab Suci berbahasa Yunani mengatakan bahwa Firman “telah memasang kemah-Nya” di antara kita. Ini merupakan suatu petunjuk jelas tentang kehadiran Allah di tengah-tengah manusia seperti kehadiran Allah di tengah umat Israel dalam Tabut Perjanjian selama pengembaraan di Padang Gurun menuju tanah yang janjikan. 

“Firman menjadi manusia”, penulis surat kepada orang Ibrani mengatakan hal ini secara jelas. Dalam pembukaan dikatakan: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini, Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan anak-Nya.” (Ibr. 1:1-2) Kristus Putera Allah yang menjadi manusia adalah Sabda Bapa yang tunggal, yang sempurna dan yang tiada taranya. Dalam Dia Allah telah menyatakan segala-galanya. (Kateksimus Artikel 65) 

Kalau dalam Injil Yohanes, Firman yang menjadi manusia itu adalah “personifikasi” Yesus sendiri, dalam Surat Pertama Yohanes, Firman itu adalah pesan Injil yang diwartakan kepada Gereja. “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup – itulah yang kami tuliskan kepada kamu.” (1 Yoh. 1:1) Firman yang diwartakan oleh penulis Surat Pertama Yohanes ini telah berinkarnasi dalam diri seorang manusia, yaitu Yesus Kristus, Anak Allah. (1 Yoh. 1:3) Inti pewartaan Yohanes dalam suratnya dan yang diwariskan kepada Gereja adalah Firman yang menjadi manusia, yaitu Pribadi Yesus Sang Penyelamat. 

Baik Injil Yohanes, Surat kepada Orang Ibrani, maupun Surat Pertama Yohanes semua berbicara tentang Firman. Firman itu sudah ada sejak semula. Firman itu telah menjadi manusia dan diam di tengah-tengah kita. Firman itu diutus untuk memberitakan kehidupan kekal kepada manusia. (1 Yoh. 1:2) Barangsiapa percaya kepada Firman yang telah menjadi manusia itu akan beroleh pengampunan dan penyucian dosa (Ibr. 1:3) dan hidup kekal (Yoh. 4:16), dalam persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya Yesus Kristus. (1 Yoh. 1:3) 

Dei Verbum (DV) dalam salah satu artikelnya berbicara tentang hakikat Firman yang menjadi manusia itu dengan mengatakan, “Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya (inkarnasi/Firman menjadi manusia) dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu, manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging dalam Roh Kudus dan ikut serta dalam kodrat Ilahi. Maka dengan wahyu itu, Allah yang tidak kelihatan dari kelimpahan cintakasih-Nya menyapa menusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya.” (DV 2) 

Konsili suci melihat bahwa tujuan dari Firman menjadi manusia adalah supaya manusia masuk dalam persekutuan dengan Allah dan mengambil bagian dalam kodrat Ilahi-Nya. (2 Ptr. 1:4) Karya ini dalam terang Dei Verbum bercorak Trinitaris. ”Manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging dalam Roh Kudus.” (Konsili memakai “Sabda menjadi daging” sementara Yohanes memakai “Firman menjadi manusia). Keduanya memiliki arti yang sama. Dengan demikian dalam terang Konsili Vatikan II, apa yang namanya persekutuan dengan Allah merupakan karya Allah Tritunggal Mahakudus walaupun secara nyata dikerjakan oleh Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia.

 

3. KELAHIRAN YESUS KRISTUS 

Dalam prolog Injil Yohanes, “Logos/Firman” itu pre-eksistensi. Artinya Firman itu sudah ada sebelum adanya ruang dan waktu, dari awal sampai kepada keabadian/kekal. Akan tetapi, serentak pula dalam Yoh. 1:14, Firman “pre-eksistensi itu” menjadi manusia. Menurut para ekseget dan teolog, hal ini dinyatakan dalam “peristiwa.” Artinya, Firman yang menjadi manusia itu terjadi dalam ruang dan waktu. Firman yang menjadi manusia dengan demikian lahir ke dunia ini dan mengenakan kedagingan manusiawi, tetapi sekaligus Allah. Pernyataan penting mengenai hal ini disampaikan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Paulus mengatakan, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” (Gal. 4:4) Itu berarti Sang Firman Putera Allah mengalami peristiwa manusiawi, yaitu lahir dari rahim seorang perempuan, hidup dalam ruang dan waktu serta tunduk kepada hukum. 

Karena Yesus mengalami peristiwa manusiawi (lahir) maka dibutuhkan rahim seorang perempuan. Peristiwa kelahiran Putera Allah sesungguhnya menggema dalam Perjanjian Lama dan tidak henti-hentinya diwartakan oleh para nabi. Teks pertama yang merujuk pada peristiwa kelahiran ini berkaitan dengan dosa pertama nenek moyang perdana kita, Adam dan Hawa. Kepada ular Allah berkata, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya, keturunannya akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej. 3:15) Inilah warta gembira pertama (proto Evangelium) tentang kedatangan penyelamat yang menjelma dalam diri Yesus dan lahir dari rahim Maria untuk menyelamatkan manusia dari sengatan dosa. 

Teks profetis terkenal yang dihubungkan dengan kelahiran Kristus Putera Allah adalah dari Nabi Yesaya. Yesaya mewartakan: “Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes. 7:14) Imanuel artinya “Allah beserta kita” (bdk. Mat 1:23). Kabar gembira kelahiran ini selanjutnya dipertegas lagi. “Sebab seorang Anak telah lahir untuk kita, seorang Putera diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahu-Nya dan nama-Nya disebut orang Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” (Yes. 9:5) Sebetulnya masih ada teks lain yang menunjuk pada peristiwa kelahiran Sang Raja Damai, misalnya dalam Yes. 11: 1-10, Mi. 5: 1-14. Semua teks Perjanjian Lama ini merupakan nubuat kelahiran Sang Firman yang menjadi manusia. 

Apa yang diwartakan oleh Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru pada peristiwa kelahiran Kristus Sang Imanuel, Putera Allah, Tuhan dan Penyelamat. Dua Injil yang secara jelas bercerita tentang kelahiran Yesus, yaitu Injil Matius dan Injil Lukas. Injil Markus tidak menyampaikan warta kelahiran Yesus, tetapi dalam pembukaan Injilnya, ia tidak bertele-tele. Ia langsung menunjuk Yesus sebagai Anak Allah. “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.” (Mrk. 1:1) 

Matius mengawali Injilnya dengan silsilah Yesus Kristus. Hal ini mau mengatakan satu hal yang penting, yaitu Putera yang akan dilahirkan itu adalah berasal dari garis keturunan umat pilihan Allah sendiri, yaitu Israel. Peristiwa kelahiran Kristus dalam Injil Matius ditempatkan di belakang silsilah, yaitu dalam Matius 1:18-25. Kisah kelahiran ini memang tidak selengkap dalam Lukas yang dimulai dari kunjungan Malaikat Gabriel kepada Maria. (bdk. Luk. 1:26-27) Pusat perhatian Matius memang bukan peristiwa “kelahiran-Nya” tetapi pada “Pribadi yang dilahirkan” itu. Anak yang akan dilahirkan itu “akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa.” (Mat. 1:23) Selain itu, Anak yang dilahirkan dari rahim Maria itu adalah benar-benar kegenapan janji Allah dalam Perjanjian Lama. Hal itu bisa dilihat dari ayat 23. Kutipan pada ayat ini berasal dari Yes. 7:14. Ini bisa dimengerti karena tujuan penulisan Injil Matius adalah untuk orang-orang Yahudi. Matius mau meyakinkan orang-orang sebangsanya bahwa Penyelamat yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi itu telah lahir ke dunia. Pada ayat terakir (ay. 25) kisah ini, Yusuf menamakan Anaknya yang baru dilahirkan itu Yesus sesuai dengan yang dikatakan malaikat kepadanya dalam mimpi. (ayat 21) Jadi Putera Allah yang dilahirkan itu bernama Yesus. (Dari kata “Yesua” berarti “Allah menyelamatkan”) 

Dalam Lukas, peristiwa kelahiran Yesus bisa dikatakan lebih lengkap dari Matius karena dimulai dengan pewartaan Malaikat Gabriel kepada Maria (Luk. 1:26-37) dan puncaknya pada peristiwa kelahiran Yesus. (Luk. 2:1-7) Peristiwa kelahiran-Nya sendiri termasuk pendek (hanya 7 ayat), tetapi Lukas menyampaikannya secara dramatis. Satu hal yang menarik dari Lukas adalah dia menyebut peristiwa kelahiran itu terjadi ketika Agustus menjadi Kaisar imperium Roma dan Kirenius menjadi wali negeri di Siria. (Luk. 6:1-2) Ini menunjukkan bahwa Yesus Putera Allah itu lahir dalam sejarah manusia. Peristiwa kelahiran itu terjadi dalam sejarah. Lukas tidak mengutip Perjanjian Lama dalam peristiwa kelahiran ini – sebagaimana halnya Matius – sebab Injilnya untuk orang-orang Yunani yang tentu saja tidak mengenal Perjanjian Lama. Kecuali itu, ia menyebut tempat (Betlehem) dan Yusuf yang berasal dari keturunan Daud (raja terkenal dalam sejarah bangsa Israel). 

Kisah dramatis kelahiran ini bisa dilihat pada ayat 6 dan 7. “Ketika mereka sampai di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang Anak laki-laki, Anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Ayat terakir kisah kelahiran ini sarat dengan muatan teologis. Ternyata Sang Firman Allah yang menjadi manusia itu lahir dalam kesederhanaan dan kemiskinan manusiawi.

 

4. MAKNA DI BALIK KELAHIRAN YESUS 

Penjelmaan Sang Firman Putera Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus yang lahir dalam sejarah manusia dari rahim Maria, merupakan inti iman Kristiani yang berpuncak pada salib dan kebangkitan. Misteri kelahiran Kristus tidak dapat dipisahkan dari misteri salib dan kebangkitan-Nya. Kelahiran Kristus membawa keselamatan kepada seluruh umat manusia. Memang sejarah keselamatan itu sudah dikerjakan Allah dalam Perjanjian Lama tetapi kepenuhan karya Allah ini justru terjadi dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus sendiri adalah kepenuhan janji Allah yang diwartakan para nabi dalam Perjanjian Lama. Perjanjian itu bukan lagi di Sinai dan kemudian ditulis dalam loh-loh batu (Kel. 19:1-23), tetapi hadir secara pribadi dalam Yesus Kristus. “Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia.” (Kol. 1:19). “Dia adalah gambar Allah yang tak kelihatan.” (Kol. 1:15) 

Maka makna terpenting kelahiran Kristus di sini adalah keselamatan manusia, bukan pertama-tama keselamatan secara jasmani (bebas dari penindasan dan penjajahan sebagaimana diharapkan orang Israel), tetapi dari keselamatan dari perbudakan dan sengatan dosa. (Mat. 1:21) Dalam bahasa penulis Surat Pertama Yohanes dikatakan bahwa makna kelahiran itu supaya kita masuk dalam pesekutuan dengan Bapa dan Anak-Nya. (1 Yoh. 1:13) 

Lebih jauh lagi, kelahiran Kristus membawa pendamaian bagi manusia. Berdamai dengan siapa? Yaitu berdamai dengan Tuhan sendiri. Realitas dosa dengan jelas mengacaukan hubungan manusia dengan Allah. Kekacauan hubungan ini hanya bisa didamaikan oleh Allah sendiri dengan mengutus Putera-Nya sendiri. Oleh karena itu, berulang kali para nabi menubuatkan kelahiran Sang Damai. Salah satunya yang sangat menarik adalah nubuat Nabi Yesaya. Pada waktu Raja Damai itu datang akan terjadi hal yang mengejutkan. “Serigala akan tinggal bersama domba, dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak.” (Yes. 11:6-8) Pewartaan ini mengingatkan kita akan keadaan Firdaus sebelum adanya dosa. Dengan demikian kedatangan Kristus mendamaikan segala sesuatu, tidak hanya antara Allah dan manusia tetapi juga dengan seluruh ciptaan Allah, singkatnya dengan seluruh kosmos.

 

5. PENUTUP 

Masih banyak sekali makna di balik kelahiran Kristus, Sang Firman yang menjadi manusia. Pada akhir tulisan ini, sekali lagi penulis mengutip apa yang diwartakan Yohanes, “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan, tetapi kegelapan tidak dapat menguasainya.” (Yoh. 1:4) Semoga Terang Allah – Yesus yang lahir – berkenan menyinari kegelapan dunia ini. Semoga terang itu bercahaya di hati setiap insan.

  

Elisa Maria CSE

Salah satu penulis di situs carmelia.net

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting