User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Article Index

 Orang Katolik Indonesia pada umumnya mengetahui adanya perbedaan Kitab Suci Katolik dengan Kitab Suci Protestan. Kitab Suci Katolik lebih tebal. Terbitan LBI (Lembaga Biblika Indonesia) menambahkan bagian yang dikenal sebagai ‘deuterokanonika’.

Kata ‘deuterokanonika’ secara harfiah berarti ‘kanon kedua’. Secara teknis, dalam Gereja kata ini mengacu pada sembilan kitab, yaitu Kitab Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, Surat Yeremia, Tambahan Daniel, dan 1-2 Makabe dan Tambahan Ester. Kata ini dibedakan dengan ‘protokanonika’ atau ‘kanon pertama’. Penggunaan dua istilah ini perlu dimengerti lebih dalam karena dapat disalahmengerti.

Adalah pengertian yang keliru kalau orang mengartikan deuterokanonika adalah tambahan terhadap kanon yang ada sebelumnya. Seolah-olah ada kanon pertama yang diakui Gereja. Konsili di Hippo (tahun 393) dan Karthago (tahun 397) sudah sejak awal memasukkan kitab-kitab itu ke dalam kanon Gereja yang resmi. Sebagaimana diketahui, konsili-konsili hanya menetapkan secara tertulis apa yang sudah diterima Gereja sejak zaman para rasul. Untuk ini perlu dipahami terlebih dahulu latar belakang kanon Perjanjian Lama pada zaman Yesus dan para rasul.

LATAR BELAKANG TERJADINYA KANON PERJANJIAN LAMA

Kata ‘kanon’ (bahasa Yunani), dalam pengertian harfiahnya berarti ‘alang-alang’ atau ‘galah’, sejenis tanaman air yang tumbuh di air atau dekat air. Dalam dunia arsitektur, kata ini berarti ‘tongkat pengukur standar’. Kata ini kemudian digunakan secara metaforis dengan arti ‘norma/aturan’. Lebih khusus lagi dalam arti teologis: ‘aturan-aturan yang ditarik dari kebenaran yang diungkapkan’. Dengan demikian, kanon Kitab Suci berarti kitab-kitab yang diakui memiliki nilai mengikat secara hukum berdasarkan kebenaran teologis yang dimilikinya.

Pada zaman Yesus (abad I M) di kalangan orang Yahudi diterima dua kanon. Pertama, kanon Yamnia yang lebih singkat. Kanon ini terdiri dari: Taurat (Torah), Tulisan Para Nabi (Nebi’im) dan Kumpulan Tulisan (Ketubim). Kumpulan ketiga bagian ini terdiri atas 22-24 kitab, yang kemudian terkenal dengan kumpulan Tanak. Kumpulan inilah yang dikenal sekarang dengan istilah ‘protokanonika’. Kanon kedua yang lebih panjang adalah kanon Aleksandria. Kanon ini terdiri atas Tanak dan beberapa kitab tambahan dari Septuaginta (LXX).

Septuaginta adalah kumpulan Kitab Suci Yahudi yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Tujuan utama dari kumpulan ini adalah para orang Yahudi di perantauan, yang kebanyakan sudah tidak lagi menguasai bahasa Ibrani. Dalam proses penerjemahan (tahun 250 - 4 SM), beberapa kitab baru ditambahkan. Kitab-kitab ini menjadi populer dan seringkali dikutip oleh orang-orang Yahudi pada zaman itu. Akhirnya Gereja menganggap beberapa kitab itu sebagai terinspirasi.

Baik kanon Yamnia dan kanon Aleksandria diterima secara umum oleh orang Palestina. Studi terakhir menunjukkan bahwa para penulis Perjanjian Baru pun mengutip atau setidaknya dipengaruhi secara mendalam oleh Septuaginta. Misalnya, pendekatan pastoral Paulus dalam surat-suratnya sangat dekat dengan teologi Kebijaksanaan Salomo. Tambah pula, pengalaman membaca Kitab Sirakh dapat membawa orang masuk ke dalam khotbah-khotbah Yesus sendiri.

Jelas bahwa para rasul juga menerima kanon Aleksandria. Yang menjadi masalah sekarang, pada tahun 90 M, sekolah Yamnia memaksakan kanon yang lebih singkat sebagai satu-satunya kanon bagi semua orang Yahudi. Suatu tindakan yang sampai sekarang alasannya belum dimengerti secara jelas. Ada indikasi bahwa tindakan ini dilakukan sejalan dengan gerakan anti-kristiani yang merebak pada waktu itu. Namun, alasan ini pun masih diperdebatkan.


KANON PROTESTAN

Gerakan reformasi Protestan membawa imbas yang sangat besar dalam Gereja. Seiring perjalanan waktu, para reformatoris semakin menjauh dan membedakan diri dari Gereja Induk mereka. Salah satu perbedaan yang paling jelas adalah perbedaan kanon Perjanjian Lama yang diterima. Beberapa reformatoris, seperti Kalvin dan kalangan Fanatik bahkan pernah bertindak lebih jauh mau ‘membuang’ beberapa kitab Perjanjian Baru, seperti Surat Yakobus dan Wahyu. Namun, karena tidak memiliki dasar yang kuat, hal tersebut tidak jadi dilakukan.

Beberapa alasan mereka menolak ‘deuterokanonika’:

  • Kitab-kitab itu tidak pernah dikutip Yesus dan dalam tulisan para rasul hanya sedikit sekali rujukan kepada mereka.
  • Sebagian besar Para Bapa Gereja menganggap teks-teks tersebut tidak terinspirasi.
  • Tidak muncul dalam kanon Ibrani kuno. Sebagian tidak ditulis dalam bahasa Ibrani.
  • Sebagian besar rendah mutunya dibandingkan dengan kitab-kitab kanonik; tidak layak masuk dalam Kitab Suci.
  • Baru diakui dalam Konsili Trente (1546).

 

TANGGAPAN KATOLIK ATAS KANON PROTESTAN

Alasan-alasan di atas perlu dikaji lebih lanjut:

  • Argumen bahwa kitab-kitab itu tidak pernah dikutip Yesus sulit untuk diterima. Banyak kitab yang diterima kanon Protestan juga tidak pernah dikutip Yesus (misalnya: Ester, Nahum, Zefanya, Hagai, Habakuk), tetapi toh dimasukkan juga. Lagipula, ada indikasi kuat bahwa Yesus dipengaruhi secara mendalam oleh kitab Sirakh. Misalnya, betapa dekatnya Sirakh 10 dengan ajaran Yesus tentang kekuasaan. Bunda Maria dalam Magnificat-nya jelas-jelas mengutip Sirakh 10:14. Dengan membaca Sirakh 11-18, orang akan memperoleh kesan besarnya kemiripan bagian itu dengan ajaran Yesus tentang moral. Sebagaimana sebagian besar orang Yahudi pada zaman-Nya, Yesus pasti juga membaca Septuaginta.
  • Beberapa Bapa Gereja memang pernah menolak kitab-kitab itu (khususnya Yudit dan Tambahan Ester). Akan tetapi, banyak juga yang mengutipnya. Telaah serius ke dalam tulisan para Bapa Gereja akan menunjukkan bahwa alasan kedua ini pun sulit diterima. Lagipula, tidak semua ajaran para Bapa Gereja diterima sebagai ajaran Gereja yang resmi.
  • Tahun penulisan kitab-kitab itu berkisar antara 400 – 4 SM. Pada zaman itu, bahwa Yunani dipakai secara luas. bahasa Ibrani bahkan sudah tidak dimengerti oleh banyak orang Yahudi. Bagaimanapun, bukan soal bahasa yang penting, melainkan isinya. Isi inilah yang diterima oleh orang-orang Kristen pada zaman Yesus dan para rasul.
  • Tuduhan rendah mutu juga sulit diterima. Kitab Sirakh dan  kebijaksanaan Salomo merupakan dua kitab yang mewakili mutiara kesusateraan Yahudi pada zaman mereka. Gaya cerita kitab Tobit dan Yudit juga luar biasa konsisten dan jelas. Entah mengapa poin ini bisa dijadikan alasan untuk menolak kitab-kitab ini.

Sebagaimana sudah ditulis di atas. Kitab-kitab ini sudah dimasukkan ke dalam kanon Gereja sejak akhir abad ke-4 (bdk. DS, 186). Sampai sekarang kanon itu tetap tidak berubah. Konsili Trente hanya menegaskannya kembali. Kanon kristiani mendasarkan penetapan bukan hanya atas dasar rekonstruksi historis, tetapi lebih-lebih atas dasar teologis: konsistensi Gereja dalam penggunaan kitab-kitab tersebut. Sekarang terserah, menerima kanon orang Yahudi (kanon Yamnia) atau kanon kristiani, kanon yang diterima oleh para rasul.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting