Print
Hits: 12752

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Saulus dari Tarsus

Hanya berselang beberapa tahun sejak kelahiran seorang bayi miskin bernama Yesus di Betlehem yang diikuti oleh pembunuhan besar-besaran bayi-bayi yang tak bersalah oleh prajurit-prajurit Herodes, lahirlah seorang bayi lainnya bernama Saulus di Kota Tarsus. Kedua orang tuanya menamai dia Saulus, nama salah seorang raja masa lampau Bangsa Israel dan keturunan suku Benyamin, dengan harapan besar bahwa anak ini kelak akan termasyhur seperti leluhurnya dan suku yang sama itu. Sesuai kebiasaan pada waktu itu, mereka juga memberikan kepadanya nama yang kedua, nama Yunani, yakni Paulus.

Kota Tarsus, berbeda jauh dengan Betlehem yang hanya merupakan kota kecil di tanah Yudea, merupakan suatu kota pelabuhan nan kaya yang termasyur dalam daerah kekuasaan bangsa Romawi. Pemandangan alamnya sungguh indah: dikeliingi oleh puncak-puncak pegunungan Tarsus yang sepanjang tahun diselimuti saiju dan dialiri Sungai Cyndus yang bermuara langsung ke Laut Tengah. Letaknya juga sangat strategis, yakni berada di persimpangan jalan dataran Silisia, tempat pertemuan antara Timur dan Barat. Semuanya ini menjadikan Kota Tarsus sebuah kota perdagangan yang ramai sekaligus kota peradaban yang kaya dengan bermacam-macam kebudayaan. Dengan segala keunikannya ini, Kota Tarsus menjadi pusat pengajaran pada waktu itu, bersaing dengan Kota Athena dan Aleksandria.

Akibat keterbukaan kota ini ditambah dengan pengaruh pandangan manusia pada masa itu yang sangat menghargai kebebasan dan kecemerlangan pikiran dan gagasan-gagasan yang baru, berkembanglah paham sinkretisme, yaitu suatu paham yang mencampuradukkan berbagai kepercayaan dan agama menjadi satu di kota ini. Paham yang kacau ini selain menimbulkan kebingungan yang besar, juga membuat banyak orang terjerumus ke dalam praktek penyembahan berhala yang gila-gilaan. Kemerosotan moral yang luar biasa, yang sudah merasuki banyak kota-kota besar lainnya, akhirnya tak terbendung lagi memasuki kota ini. Di banyak tempat dalam kota ini bermunculan kuil-kuil dengan praktek-praktek penyembahan berhala yang menjijikkan. Belum lagi ditambah dengan segala tempat pelacuran dan permandian umum.

Namun di tengah segala hiruk-pikuk ini, juga dengan memanfaatkan keterbukaan Kota Tarsus inl, berdirilah sinagoga-sinagoga Yahudi yang menyembah Allah yang benar. Dalam lingkungan keagamaan yang kental dan lingkungan pergaulan yang sangat permeabel inilah, Saulus dibentuk menjadi seorang penganut Agama Yahudi yang keras namun sangat moderat dalam cara berpikir. Sampai sekarang mungkin anda bertanya, “Untuk apa membahas panjang lebar tentang masa lalu seorang Saulus? Mengapa tidak langsung saja melihat pribadi seorang Paulus yang ingin kita kenal lebih dalam?”
Sebabnya adalah apa yang menjadi latar belakang dan seorang Saulus sangat menentukan pribadi dan watak Santo Paulus di kemudian hari. Allah tidak pernah menciptakan manusia baru. Ia menyempurnakan manusia lama dan mengubahnya seakan-akan menjadi manusia yang baru seutuhnya. Jadi untuk mengenal lebih dalam Santo Paulus, kita perlu mengenal manusia lamanya, Saulus.

Sebagai keturunan Yahudi, Saulus mempunyai suatu keistimewaan yang jarang dimiiki oleh kaumnya, yakni kepemilikan kewarganegaraan Romawi. Ia mendapatkan hak kewarganegaraannya itu karena kedua orangtuanya. Ada pun mengenai kedua orang tuanya, menurut Santo Hieronimus, mereka adalah keturunan Suku Benyamin yang berasal dan Giskala, dataran Galilea. Sebagai saudagar, mereka merantau ke daerah-daerah tepi Sungai Cyndus dan akhirnya sampai di Tarsus. Mereka memilih untuk menetap di kota ini. Bagaimana kemudian mereka mendapatkan kewarganegaraan Romawi tidaklah diketahui. Namun yang jelas mereka termasuk golongan yang cukup berada dan terhormat bahkan untuk kalangan warganegara Romawi sekalipun.

Saulus dididik dalam suatu kaum elit orang Yahudi yang disebut Mashab (klan) Farisi. Pendidikannya ini mengharuskan ia menguasai juga Bahasa Ibrani sebagai bahasa Kitab Suci yang dipelajarinya, selain Bahasa Aram sebagai bahasa percakapan antarkalangannya, dan Bahasa Yunani sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di seluruh daerah kekuasaan Romawi. Saulus tergolong sangat cerdas sehingga akhirnya ia diutus ke Yerusalem untuk meneruskan pendidikannya menjadi seorang rabbi (sebutan bagi seorang guru dalam agama Yahudi). Gurunya adalah Rabbi Gamaliel, seorang ahli taurat yang sangat saleh, bijaksana, dan terbuka terhadap kehendak Allah.

Di bawah didikan Gamaliel yang bijaksana inilah Saulus berkembang sangat pesat dalam pengetahuan akan Kitab Suci dan penafsirannya sehingga dalam waktu singkat ia menjadi salah seorang ahli Kitab Suci dan pengkhotbah yang disegani. Sayangnya ia tidak mewarisi kebijaksanaan dan keterbukaan akan kehendak Allah dari gurunya. Kefanatikannya akan apa yang dipelajarinya membuat ia sangat agresif terhadap ajaran-ajaran di luar keyakinannya. Kota Yerusalem yang menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan para pengikut Kristus, kelak akan menjadi saksi bangkitnya amarah yang berapi-api dan tokoh muda ini terhadap suatu ajaran baru yang diyakininya sebagai ajaran yang tidak masuk akal, ajaran Yesus Kristus.

Bagaimana dengan Kristus? Pernahkah Saulus berjumpa secara pribadi dengan Yesus? Rupanya, saat Yesus muncul di tengah-tengah orang banyak dalam karyaNya selama 3,5 tahun, Saulus tidak berada di Yerusalem maupun Galilea. Ia kembali ke Tarsus untuk melengkapi pendidikannya dengan ketrampilan dalam perdagangan seperti yang lazim dilakukan oleh setiap rabbi. Ia sedang mendalami teknik membuat kemah ketika Sang Mahaguru Cintakasih itu wafat di atas kayu salib di Puncak Golgota. Saulus kembali ke Yerusalem hanya untuk menjumpai kehebohan yang belum usai akibat ulah Tukang Kayu dan Nasaret itu. Tidaklah mengherankan bila sebagai seorang mahaguru muda kaum farisi, ia terpicu untuk segera melenyapkan ajaran yang dianggapnya sangat tidak masuk akal dan sesat ini, apalagi setelah mendengarkan penjelasan yang berat sebelah dari sesama kaumnya. Mulailah ia mengejar-ngejar para pengikut Kristus itu dan ketika ia sedang semangat-semangatnya ingin memberantas mereka, terjadilah sesuatu. Sesuatu yang akan mengubah seluruh hidupnya...


Titik Balik

Dalam perjalanan ke Kota Damaskus (Damsyik), suatu kejadian ajaib menimpa Saulus. Saulus yang saat itu sedang memacu kudanya dengan semangat yang besar untuk segera menangkap habis semua pengikut Kristus di Kota Damsyik tiba-tiba terjatuh dan kudanya. Sebuah sinar terang luar biasa menerpanya dan membuatnya terjengkang tanpa ampun ke atas tanah. Sementara teman-temannya yang mengiringinya masih belum hilang kagetnya akan apa yang terjadi, terdengarlah suara dan atas, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” Saulus merasa silau, tidak sanggup membuka matanya, mendengar pertanyaan itu ia dengan gentar balas bertanya, “Siapakah Engkau, Tuhan?” Suara itu menjawab dia, “Akulah Yesus yang kau aniaya itu.”

Yesus menyatakan diri-Nya kepada Saulus. Setelah kejadian itu, teman-temannya membawanya masuk ke Kota Damaskus dan membaringkannya di sebuah kamar. Selama tiga hari tiga malam, Saulus tidak dapat melihat sama sekali, tidak makan, dan tidak minum sampai seorang murid Yesus yang bernama Ananias datang atas perintah dan Tuhan sendiri untuk menyembuhkan Saulus sekaligus membaptisnya. Apa sebenarnya yang terjadi saat itu? Kita tidak tahu dan tidak akan dapat mengerti apa yang dialami oleh Saulus di dalam jiwanya, sesuatu yang telah mengubah dirinya sedemikian drastisnya. Sekalipun kita membaca seluruh surat Paulus dan tulisan-tulisan lain mengenai pengalamannya ini, kita tetap tidak akan mengerti.

Wahyu Kristus yang begitu nyata dan indah itu telah menimbulkan efek yang sedemikian dalamnya dalam jiwa Saulus. Mungkin dalam tiga hari kebutaannya itu, ia justru melihat apa yang tidak pernah dilihat oleh mata. Santo Maximus menambahkan bahwa dalam sekejap Paulus diberi mata baru supaya ia dapat memandang Kristus dengan lebih baik. Namun kita tahu akibatnya yang ditimbulkannya. Kita tahu buah-buah dan apa yang dialami Saulus dalam jiwa; dengan rela dan tanpa banyak tanya lagi ia mau menerima Yesus sebagai Tuhannya, dengan rela ia mau dibaptis oleh Ananias yang baru dikenalnya. Saulus bertobat dan mati demi dirinya sendiri. Ia mati sebagai manusia lama dan kemudian mengambil nama kecilnya Paulus untuk menyatakan kekecilannya sebagai manusia baru yang sungguh hidup melulu bagi Kristus (Baca Kis. 9:1-23; 22:1-21; 26:1-19)
 

Paulus dan Roh Kudus

Kurangnya referensi yang jelas tentang Paulus membuat kita sulit untuk mengenal pribadinya. Satu-satunya sumber yang dapat dipercaya hanyalah Kitab Suci, khususnya Kisah Para Rasul dan Surat-surat Santo Paulus sendiri. Maka pendekatan yang paling jitu untuk tujuan kita tersebut adalah pendekatan dengan penelaahan Kitab Suci. Namun masih ada satu kesulitan yang sangat besar. Bagaimana caranya menyatukan potongan-potongan kisah mengenai Paulus dalam buku Kisah Para Rasul dengan surat-suratnya sendiri sehingga menghasilkan suatu gambaran yang jelas akan dirinya? Penulis melihat bahwa satu-satunya cara yang paling tepat adalah dengan melihat dasar dan tulisan-tulisan tersebut, yakni karya Roh Kudus.

Kalau kita membaca seluruh Kisah Para Rasul, kita akan menemukan seorang Pribadi yang kerapkali muncul. Dan bila kita meresapkan lebih lanjut kisah jemaat awali ini, kita akan menemukan bahwa sesungguhnya Pribadi inilah yang menentukan segala aktivitas
jemaat pada waktu itu. Pribadi inilah yang mengilhami para rasul untuk berbicara, bertindak, bahkan memberikan kekuatan dan kemampuan kepada mereka untuk berkarya. Pribadi itu adalah Roh Kudus. Pribadi ini pulalah yang mengajarkan segala sesuatu tentang Kebenaran dan Allah (bdk. Yoh 16:13) kepada Paulus sehingga ia dengan penuh kuasa sanggup merumuskan ajaran-ajarannya dalam surat-suratnya. Roh Kuduslah ‘jembatan’ yang menghubungkan Kisah Para Rasul dengan Surat-surat Santo Paulus. Oleh karena itu, cukuplah kita mengetahui aktivitas dan karya Roh Kudus dalam jiwa Paulus untuk mengenal pribadinya yang sejati. Sebab Roh Kristus itulah yang menjiwai seluruh keberadaannya. Bukan aku lagi yang hidup, melainkan Kristus di dalamku.


1. Roh Kudus memampukan Paulus untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan

Ketika orang-orang Yahudi yang menentang Yesus mendengar apa yang dialami oleh Paulus, mereka masih tidak begitu percaya, “Ah, dia ini khan yang mau membinasakan setiap orang di Yerusalem yang memanggil nama Yesus?” Pamor Paulus sebagai penganiaya jemaat Kristus begitu besarnya, sehingga banyak orang yang heran dan tidak percaya akan perubahan sikapnya. Tetapi setelah Paulus mulai tampil di depan umum dan berkhotbah di mana-mana membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias yang dinanti-nantikan, mulailah orang-orang Yahudi itu kebakaran jenggot.

Mereka mulai bersekongkol dan membuat rencana untuk menyingkirkan Paulus. Namun Paulus lepas dan perangkap mereka dan ia pun melarikan diri dan kota tersebut  (lh. Kis 9:19b-25). Apa yang mengakibatkan perubahan 180 derajat pada Paulus, dan seorang penganiaya jemaat menjadi seorang pewarta keselamatan dan Kristus? Jawabannya adalah sama dengan apa yang mengakibatkan para rasul yang sebelumnya begitu ketakutan dan bersembunyi di dalam ruang terkunci rapat serta-merta tampil di depan umum memberitakan Injil Kerajaan Allah dengan suara lantang dan tanpa rasa takut sedikit pun, yakni seorang Pribadi yang kita kenal dengan nama Roh Kudus.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah Paulus benar-benar telah dibaptis dalam Roh seperti yang telah dialami oleh murid-murid Yesus pada hari Pentekosta itu? Memang ada dua jenis baptisan waktu itu, baptisan Yohanes dan baptisan dengan Roh Kudus (bdk. Yoh 1:33; Kis 18:25). Paulus memang telah dibaptis seperti tertulis dalam Kis 9:18, tapi oleh baptisan apa? Kalau kita baca Kis 9:17, kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan ini, “...Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus.”
 

2. Roh Kudus mengubah cara doa Paulus

“Apabila kamu berdoa, katakanlah, “Bapa,...” (Luk 11:2-4). Setelah lolos dari para pengancamnya di Damaskus, kemanakah Paulus? Apakah ia langsung pergi ke Yerusalem seperti yang tertulis pada ayat selanjutnya, Kis 9:26, ataukah ia singgah dulu ke tempat lain? Misteri ini terjawab oleh penjelasan Paulus sendiri dalam suratnya Gal 1:17. Ternyata Paulus terlebih dahulu pergi ke tanah Arab. Menurut tradisi Gereja, selama tiga tahun Paulus mengundurkan diri ke padang gurun Arabia. Di sana ia mengendapkan segala sesuatu yang pernah dialaminya, terutama pengalaman perjumpaannya dengan Tuhan. Di sinilah cara berdoanya benar-benar diubah. Roh Kudus, Roh Cinta Kasih Bapa dan Putera, yang hadir dalam jiwanya membimbing serta mengajarkan kepada Paulus segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang Kristus dan misteri-misteri-Nya.

Demikianlah Roh membantu kita dalam kelemahan kita, sebab kita tidak tahu, bagaimana seharusnya harus berdoa, tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan” (Rm.8:26). “Oleh Roh itu kita berseru, “Ya Abba, ya Ba pa!” Roh itu bersaksi bersama-sama dengan kita bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm 8:15b-16). Inilah sebenarnya inti kesaksian Paulus akan karya Roh dalam jiwanya. Roh Kudus sungguh-sungguh telah mengubah seluruh pola pikirnya akan Allah. Allah yang Mahabesar dan Mahakuasa sekarang menjadi begitu dekat, bahkan boleh disapa dengan sebutan: Abba. “Abba” dalam Bahasa Ibrani dapat diterjemahkan sebagai “Papa” dalam Bahasa Indonesia atau “Babe” dalam Bahasa Betawi atau “Daddy” dalam Bahasa Inggris. Suatu sapaan yang begitu akrab dan dalam, menembus langsung ke dalam hati Allah Bapa di Surga, melalui Kristus, dalam Roh Kudus (bdk. Yoh 14:9b. 16-17.20-23; Yoh 16:13-15).


3. Roh Kudus memeteraikan Jabatan Paulus sebagai Rasul

Apakah Paulus seorang rasul Kristus? Kalau benar demikian, apakah hal itu penting?
Menarik kalau kita baca argumen Paulus berikut ini: “Segala sesuatu membuktikan, bahwa aku adalah seorang rasul, telah dilakukan di tengah-tengah kamu dengan segala kesabaran oleh tanda-tanda, mujizat-mujizat, dan kuasa-kuasa” (2 Kor 12:12, lh. 1 Kor 9:1-3). Nada tulisan Paulus ini dapat disamakan dengan nada dalam ucapan Yesus, “Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu tahu bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yoh 10:38).
Jika Paulus sampai begitu ngotot menyatakan dirinya sebagai rasul, bisa disimpulkan bahwa masalah ini memang penting sekali. Mengapa, sekali lagi mengapa? Jawabannya adalah karena firman Tuhan harus digenapi, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat 28:19).

Yesus telah naik ke surga, namun karya keselamatan Allah masih harus digenapi. Di antara para murid-Nya terdapat beberapa orang yang ditunjuk Yesus secara khusus sebagai rasul. Rasul-rasul inilah yang akan menjadi dasar dan Gereja Kristus. Dengan otoritas dan kuasa yang diberikan Kristus oleh Rob Kudus, mereka menentukan sekaligus meletakkan pondasi bagi generasi-generasi selanjutnya.

Wahyu-wahyu yang mereka terima disebut dengan istilah wahyu-wahyu umum. Wahyu-wahyu ini bersifat mengikat setiap anggota Gereja. Wahyu-wahyu ini berhenti setelah rasul yang terakhir meninggal dunia. (Red - Perlu diperhatikan bahwa wahyu-wahyu umum tidak terbatas pada apa yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru saja, melainkan termasuk pula ajaran-ajaran lisan para rasul yang diwariskan turun-temurun dan yang kita kenal sebagai Ajaran Gereja yang resmi).

Inilah sebabnya mengapa jabatan rasul begitu penting. Bila Paulus bukan rasul, semua ajarannya menjadi bersifat tidak mengikat setiap anggota Gereja. Istilahnya, boleh percaya, boleh tidak. Semua ajarannya akan bersifat pribadi dan tidak mengikat kita, kalau ia bukan rasul. Namun Paulus adalah rasul. Roh Kudus sendirilah yang telah memeteraikan dia, “Pergilah, sebab orang ini (Paulus) adalah alat pilihan bagi-Ku untuk mewartakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel” (Kis.9:15). Secara khusus Ia menentukan Paulus sebagai rasul bangsa-bangsa lain, “Khususkanlah Barnabas dan Saulus (Paulus) bagiKu untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka” (Kis. 13:2).

Saat itu Roh Kudus mengutus Barnabas dan Saulus untuk memulai perjalanan mereka, mewartakan Injil Kristus kepada bangsa-bangsa lain. Satu lagi bukti yang sangat kuat, yang menyatakan Paulus sebagai rasul, khususnya rasul bagi bangsa-bangsa lain, adalah peneguhan dan tiga rasul Kristus yang paling terkemuka: “Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas (Petrus), dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku (Paulus) dan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat (non-Yahudi) dan mereka kepada orang-orang yang bersunat (Yahudi)” (Gal.2:9). Dengan demikian, Kabar Gembira sampai kepada seluruh bangsa. Karya-karya Paulus adalah pemenuhan dan janji Allah.

4. Roh Kudus menguduskan dan menyempurnakan Paulus

Bila kita membaca kembali riwayat hidup Paulus, latar belakang keluarga dan pendidikannya, kewarganegaraannya, kita mungkin harus mengakui bahwa memang orang inilah yang paling cocok dan pantas untuk melakukan karya besar pewartaan Kabar Gembira kepada bangsa-bangsa. Namun dengan segala kelebihan, bakat, ketrampilan, pengetahuan, dan keistimewaan-keistimewaannya yang lain, ia malahan menyatakan, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus” (Flp 3:7).

Apakah dengan demikian Paulus menampik segala bakat dan talenta yang dimilikinya? Saya kira tidak, sebab kenyataannya Paulus telah membuktikan bahwa ia bekerja keras dengan menggunakan segala potensi, kemampuan, dan kekuatan yang ada padanya untuk melayani Allah dan umat-Nya. Tidak ada yang bisa meragukan hal ini. Namun satu hal yang patut diperhatikan dan Santo kita ini adalah sikap kelepasannya. Ia sadar bahwa semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pengenalannya akan Kristus (bdk. Flp 3:8).

Pengenalan akan Kristus itulah yang memampukannya bertahan dalam segala penderitaannya. Pengenalan ini jugalah yang membuatnya tidak berputus asa dalam segala kelemahannya, bahkan sebaliknya berbangga atasnya. Sebab jika ia lemah, maka ia kuat di dalam Kristus yang menguatkannya (bdk. 2 Kor 11:30; 12:9-10). Dan sekali lagi, pengenalan akan Kristus ini merupakan karya Roh Kudus dalam jiwa (lh. nomor 1).

Roh Kudus menguduskan dan menyempurnakan Paulus. Ia mengubah Paulus sedikit demi sedikit makin serupa dengan Kristus. Dan pihak Paulus, ia sangat terbuka akan bimbingan Roh Kudus. Dengan penyerahan diri yang heroik, Paulus membiarkan Allah bekerja secara penuh dalam dirinya. Ia, yang sadar akan kelemahannya, membiarkan Roh Allah dengan leluasa berkarya dan menyempurnakan dirinya. Khususnya, dengan tidak terikat kepada diri sendiri dan segala bakatnya, ia terhindar dan bahaya dosa terbesar, yaitu dosa kesombongan.

Ia bekerja segiat-giatnya semata-mata karena percaya akan kehadiran Allah di dalam dirinya. Terpenuhilah sabda Tuhan dalam dirinya, “Yang mempunyai akan diberi, sehingga ia berkelimpahan” (Mat 25:29a). Begitu terbukanya Paulus kepada Roh Kudus sehingga ia disempurnakan dalam kelemahan-kelemahannya. Bila kita membaca 1 Kor 13, mau tidak mau kita akan menjadi kagum akan keindahan kata-katanya. Atau dapatkah kita membaca bagian suratnya yang lain, Rm 8, tanpa terpesona akan kejeniusannya dalam menjelaskan ajaran iman yang begitu rumit? Atau siapa yang dapat membaca suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus bab sepuluh sampai bab duabelas tanpa mengakui kepiawaiannya mengungkapkan isi hati melalui tulisan?

Sedikit yang mengetahui bahwa sebenamya itu semua ditulisnya dalam keterbatasannya akan kosa kata Bahasa Yunani. Ya, Paulus bukan seorang sastrawan. Ia hanyalah seorang pembuat kemah dengan penguasaan Bahasa Yunani yang pasaran. Perbendaharaan kata yang dimilikinya sangatlah minim. Namun bahkan seorang terpelajar seperti Norden pun tanpa ragu-ragu menyetarakannya dengan Plato dalam kehebatannya memakai gaya bahasa. Kekurangannya dalam perbendaharaan kata-kata telah disempumakan oleh Roh Kudus sehingga apa yang tidak dapat dijelaskan oleh teolog-teolog maupun filsuf-filsuf yang paling ulung sekalipun dapat dituangkan Paulus dengan begitu indahnya dalam surat-suratnya.


5. Roh Kudus menyatakan kehendak Allah atas diri Paulus dan memberikan kepadanya kekuatan untuk melaksanakannya.

Oleh Roh Kudus, Paulus semakin serupa dengan Yesus dan apa yang dialami oleh Yesus harus dialami pula oleh Paulus. Sebab tidak ada hamba yang lebih besar dan tuannya (bdk. Yoh 13:16;15:20; Mat.10:24). Berkali-kali Roh Kudus menyatakan kehendak Allah kepada Paulus bahwa bahaya maut sudah menunggunya di Yerusalem ketika ia masih dalam perjalanannya yang ketiga. Ketika Paulus sampai di Kota Efesus, Paulus mendapat bisikan Roh Kudus bahwa ia tidak akan kembali lagi ke kota ini. Penjara dan sengsara sudah di depan mata. Paulus menjadi sangat sedih, tetapi ia tetap melanjutkan perjalanannya karena ia tahu bahwa inilah kehendak Bapa bagi dirinya. (Red - Kisah mengharukan ini dapat dibaca dalam Kis 20:17-38).

Setelah melewati beberapa kota, sampailah ia bersama pendamping-pendampingnya di Kota Tirus. Sekali lagi Roh membisikkan kesengsaraan yang sudah menantinya. Saudara-saudaranya mendesaknya untuk tidak meneruskan perjalanannya, namun Paulus sebaliknya semakin yakin bahwa inilah kehendak Bapa baginya. Ia bersikeras untuk berangkat.
Lalu sampailah mereka di Kota Ptolemais. Di sanalah sebagaimana Yesus menubuatkan kesengsaraan dan wafat-Nya sebanyak tiga kali, demikian pula Paulus mengetahui sebelumnya akan kesulitan yang akan dihadapinya. Untuk ketiga kalinya Paulus mendapat peringatan dan Roh Kudus. Kali ini datang dan seorang nabi bernama Agabus (lh. Kis  21:10-11). Paulus bukannya menjadi takut, malahan ia semakin berani dan dengan penuh iman ia berkata, “… aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus” (Kis 21 :13).

Ada perbedaan yang menyolok antara sikap Paulus ini dengan sikap Petrus yang menyangkal Gurunya sampai tiga kali. Dari kedua sikap ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk menerima segala penderitaan karena nama Tuhan tanpa kekuatan lain di luar dirinya. Ada suatu kekuatan maha dahsyat yang memberikan kesanggupan kepadanya untuk menderita bahkan bila sampai harus mati demi imannya. Kekuatan itu adalah Roh Allah sendiri (bdk. Kis 1:8). Paulus meneruskan perjalanannya memasuki Kota Yerusalem. Di dalam kota inilah Paulus sungguh-sungguh akhirnya ditangkap, dipukul, dipenjarakan, disiksa, dan diadili. Lalu karena adanya ancaman pembunuhan terhadapnya dan orang-orang Yahudi, para prajurit Romawi di Yerusalem terpaksa memindahkannya ke Kaisarea.

Dari Kaisarea, Paulus naik banding kepada Kaisar di Roma sebagai salah satu hak warganegara Romawi. Dan sini terbukalah jalan bagi Paulus —seperti yang telah dicita-citakannya sejak lama— untuk mewartakan Injil Kristus sekaligus menguatkan para murid Kristus di ‘ujung dunia’, Kota Roma. Setelah berbagai musibah dalam perjalanan (lh. Kis 27-28), sampailah Paulus di Roma. Sambil menunggu pengadilan Kaisar, ia dikenakan tahanan rumah. Sebagai tahanan, ia masih tetap boleh menerima tamu dan mengirim surat secara bebas. Secara leluasa ia bisa mengajar saudara-saudara di Roma dan menulis surat kepada jemaat-jemaat di kota-kota lain.

Surat-surat yang ditulisnya di sini antara lain: surat kepada jemaat di Filipi, surat kepada jemaat di Kolose, dan surat kepada Filemon. Setelah menjalani tahanan selama dua tahun, sesuai dengan hukum Romawi, Paulus harus dibebaskan karena belum sempat diadili. Paulus mempergunakan kesempatan ini untuk pergi ke Spanyol. Namun tidak lama di sana, ia kembali ke Roma. Pada waktu itu, terjadilah pengejaran yang gencar terhadap orang-orang Kristen atas instruksi Kaisar Nero. Sekali lagi Paulus ditangkap..., dan kali inl Tuhan berkenan mengenakan mahkota kemartiran kepadanya.

Menurut tradisi, Santo Paulus wafat sekitar tahun 68 Masehi. Pada waktu yang hampir bersamaan, Santo Petrus juga wafat sebagai martir di Kota Roma. Santo Paulus dipenggal di suatu tempat yang bernama Via Ostiense, sedangkan Santo Petrus dibunuh di Sirkuit Nero dengan cara disalibkan dengan kepala di bawah. Mereka berdua dihormati sebagai rasul dan martir. Pesta mereka juga dirayakan bersamaan oleh Gereja setiap tahun, yaitu pada tanggal 29 Juni.