Print
Hits: 8100

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Pengantar

Dewasa ini, kemajuan di bidang Teknik Biologi dan Medis menawarkan aneka kemudahan bagi hidup manusia. Misalnya, reproduksi bayi tabung yang membantu pasangan untuk mendapatkan anak, produksi sel punca (stem-cells) embrionik dan kloning yang membuka cakrawala kemungkinan baru untuk menyembuhkan penyakit-penyakit yang tak tersembuhkan. Kemudian makin maraknya tindakan aborsi yang sangat mengerikan, bahkan sudah dilegalkan di beberapa negara. Tindakan aborsi ini seolah-olah dipandang sebagai tindakan yang benar dan sesuai dengan hak asasi manusia. Dari beberapa fenomena yang terjadi ini, di balik semua kemajuan di bidang Teknik Biologi dan Medis tersebut, muncullah persoalan-persoalan etis-moral yang sangat serius. Tulisan ini ingin mengangkat sikap kita (Gereja Katolik) terhadap janin-janin atau embrio-embrio yang merupakan bakal dari kehidupan. Apakah embrio itu? Apakah ia “sesuatu” atau “seseorang”? Apakah ia memiliki hak untuk hidup dan perlu untuk dihormati?  Bagaimana ajaran Gereja mengenai hal ini?

 

situasi di Indonesia

Pada tanggal 21 Juli 2014, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 61 mengenai Kesehatan Reproduksi yang merupakan mandat dari Undang-Undang (UU) RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa aborsi dipandang sebagai sarana kesehatan reproduksi.[1] Sebuah pertanyaan yang muncul dalam benak kita: “Apakah benar bahwa aborsi (baca: pembunuhan, red.) dipandang sebagai sarana kesehatan?”

Memang benar bahwa di Indonesia, dengan mengacu pada UU No. 36/2009 Pasal 75 § 1, dikatakan: “Setiap orang dilarang melakukan aborsi.” Jadi, pada dasarnya tindakan aborsi tidak dibenarkan di Indonesia. Namun, dengan dikeluarkannya PP baru ini yang mengatur agar para wanita bisa mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai, maka aborsi dipandang sebagai bagian dari kesehatan reproduksi. Tentunya cara pandang ini tidak dibenarkan dalam Gereja Katolik.

Kita sering berargumentasi bahwa setiap perempuan tidak boleh dipaksa untuk mengandung atau tidak karena hak itu melekat dalam diri setiap perempuan sebagai otonomi. Namun, hak otonomi itu menjadi dipersoalkan karena berbenturan dengan hak hidup manusia lainnya. Maka, dengan sendirinya otonomi itu mengalah.

Lebih lanjut lagi, dalam UU Pasal 75 § 2 memberikan pengecualian demikian:

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b.  kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Penjelasan mengenai indikasi kedaruratan medis ini dijabarkan dalam PP Pasal 32 § 1 yang mengatakan:

Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi:

a.    kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau

b.  kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

Mari kita mencermati kalimat yang mengatakan: “Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu.” Keterangan ini mau menegaskan bahwa kehamilan yang jika dilanjutkan dapat menyebabkan kematian bagi si ibu. Dalam konteks ini, Gereja Katolik mengajarkan bahwa terminasi kehamilan bisa dibenarkan jika tujuan terminasi kehamilan bukanlah membunuh janin, tetapi menyelamatkan nyawa ibu. Dengan demikian, para dokter harus memiliki intensi yang jelas untuk menyelamatkan siapa pun, yang walaupun tak dapat dihindari bahwa dalam tindakan penyelamatan ini, terkadang dua-duanya tak dapat diselamatkan. Dalam kasus seperti ini, dokter harus memilih salah satu, tetapi kematian salah satu bukanlah intensi langsung, melainkan konsekuensi yang tak dapat dihindarkan dari tindakan penyelamatan itu. Dalam konteks ini, tindakan medis ini dapat dibenarkan. Aborsi yang terjadi di sini adalah aborsi tidak langsung sebab intensinya adalah penyelamatan dan bukannya pembunuhan.

Saat ini, yang menjadi suatu persoalan adalah ketika PP Pasal 1 § 2 mengatakan:

Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.

Kalimat ini memberikan lubang dan cacat dengan sendirinya. Mengapa? Karena yang disebut sebagai kriteria sehat itu adalah tidak hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan sosial. Dapat kita bayangkan kalau seorang ibu mengandung anak—misalnya, anak yang keempat—dan dia malu secara sosial—mungkin karena secara ekonomi, ia tidak mampu menghidupinya atau malu memiliki banyak anak—maka, hal itu dapat menjadi alasan untuk melakukan aborsi. Alasan seperti ini tidak dapat dibenarkan oleh Gereja Katolik. Manusia tidak boleh membunuh manusia lainnya yang tak bersalah, apalagi mereka adalah manusia yang lemah dan tak berdaya. Tidak hanya itu, terminologi: “Mengancam nyawa dan kesehatan janin,” sangatlah tidak jelas batasannya. Maka, alasan kecacatan bawaan atau penyakit genetik berat, juga tidak dibenarkan oleh Gereja Katolik untuk dilakukan tindakan aborsi.

 


Sikap dan Prinsip Magisterium Gereja Katolik

Dalam menanggapi persoalan mengenai awal hidup manusia ini, Gereja Katolik—melalui Kongregasi Ajaran Iman—menegaskan bahwa sains dan teknologi ada untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Hal ini ditegaskan dalam Donum Vitae (DV) 2:

“Maka dari itu, adalah ilusi belaka menuntut netralitas moral penelitian ilmiah serta penerapannya; di lain pihak tolak ukur orientasi tak dapat disimpulkan melulu dari efisiensi teknis, atau dari manfaat yang dapat dihasilkannya, tetapi dengan merugikan pihak lain, atau lebih parah lagi dari ideologi yang berkuasa. Maka dari itu, ilmu dan teknik dari dirinya sendiri menuntut hormat mutlak terhadap kriteria mendasar moralitas. Mereka harus mengabdi pada pribadi manusia, pada hak-haknya yang tak dapat diambil dan pada kepentingannya menurut rencana dan kehendak Allah.”

Dari pernyataan di atas, Gereja Katolik mau menegaskan bahwa kita harus menghormati, membela, dan berupaya untuk memajukan manusia, haknya yang utama dan mendasar atas hidup, martabatnya sebagai pribadi yang dipanggil untuk persekutuan bahagia dengan Allah. Oleh karena itu, sejak terjadinya pembuahan—pertemuan antara sel telur dengan sel sperma—hidup setiap manusia haruslah dihormati. Lebih konkretnya, sejak terbentuknya zigot manusia, dituntut penghormatan mutlak dan harus diperlakukan sebagai pribadi. Artinya, hak-haknya diakui, terutama hak untuk hidup.

Gereja Katolik dengan tegas menolak aborsi dan pembunuhan bayi. Gereja Katolik secara terus-menerus mengadakan penolakan moral setiap aborsi yang dilakukan dengan sengaja. Ajaran ini tetap dan tidak berubah. Bahkan, perbuatan aborsi yang disengaja disebut oleh Gereja Katolik sebagai perbuatan yang keji. Evangelium Vitae (EV) 16 menyebut hal ini sebagai “kejahatan yang tak terkatakan.” Paus Yohanes Paulus II dalam EV ini menegaskan disiplin kanonik kepada mereka yang dengan sengaja melakukan aborsi dengan mengutip KHK 1983 Kan. 1398:

“Barang siapa melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi yang bersifat otomatis.”

Begitu orang melakukan aborsi secara tahu, mau, dan sadar, maka otomatis dia terkena ekskomunikasi. Ekskomunikasi juga terkena kepada mereka yang membantu aborsi itu (bdk. Kan. 1329 § 2), misalnya dokter, perawat, atau suami yang mengantar ke tempat aborsi. Ekskomunikasi ini membawa akibat seperti yang tertuang dalam Kanon 1331:

“Dilarang ambil bagian sebagai pelayan dalam perayaan Ekaristi atau upacara ibadat lain, merayakan atau menyambut sakramen, menunaikan jabatan atau tugas gerejawi.”

Hal ini didasarkan bahwa kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Oleh karena hidup adalah anugerah dari Tuhan, maka ada sikap hormat kepada pemberi dan pemilik anugerah tersebut. Kehidupan merupakan panggilan Tuhan menuju kebahagiaan yang pada akhirnya secara sempurna pada kehidupan sesudah kematian. Dengan demikian, hidup—dari asalnya—melampaui kematian. Maka, semua upaya untuk membatasi atau menghentikan kehidupan, bertentangan dengan kodrat.


budaya Kehidupan

 

Gereja Katolik masuk dan menegaskan kepada mereka yang memandang kehidupan hanyalah sekadar sebuah hak. Gereja Katolik dengan tegas menampik aneka kejahatan yang melawan kehidupan, termasuk pembunuhan, genosida, aborsi, dan eutanasia. Bahkan, dalam Ensiklik Humanae Vitae, Paus Paulus VI menegaskan bahwa segala bentuk upaya manusia yang melawan kehidupan—termasuk kontrasepsi buatan—adalah suatu kejahatan dan dosa.

Gereja Katolik melawan budaya kematian dengan cinta kasih. Cinta kasih adalah dasar atau hakikat budaya kehidupan. Dengan demikian, kehadiran Gereja Katolik selalu melawan budaya kematian dengan cinta kasih sebab budaya kehidupan adalah budaya yang menebarkan cinta kasih. Aborsi adalah sebuah tindakan yang menghilangkan rasa tanggung jawab kita kepada kehidupan. Embrio adalah benih kehidupan yang harus dihargai dan dihormati oleh ibu dan oleh semua orang. Menghargai embrio sebagai benih kehidupan, berarti kita memandang dan memperlakukan kehidupan itu sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara.

Gereja Katolik sebagai instansi moral, memiliki tugas sebagai penunjuk arah yang benar dan tepat. Meskipun perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang terus dijunjung tinggi, namun Gereja Katolik tetap peduli pada nilai-nilai kehidupan dan martabat perkawinan. Kita harus mengutamakan sikap taat pada Gereja Katolik. Kita memang boleh berpikir kritis dan menggali kebenaran-kebenaran secara lebih dalam. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan suara Gereja—yang kita yakini sebagai suara Roh Kudus—kita haruslah peka dalam mendengarkannya.

Membaca realitas seputar aborsi, mengantar kita pada perenungan akan Kristus yang disalibkan. Semacam ada kesamaan yang mengagumkan antara Tubuh Kristus yang disalibkan dengan “tubuh perempuan”. Ketika para prajurit sampai kepada Yesus dan melihat bahwa Yesus telah wafat, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, maka segera mengalir keluar darah dan air (bdk. Yoh 19:33-34).

Darah Kristus membebaskan dan memberikan kehidupan kepada kita. Sabda telah menjadi daging dalam rahim seorang perempuan. Perempuan memiliki rahim sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi manusia yang lemah dan tak berdaya. Tubuh perempuan adalah tempat kehidupan baru yang dikandung selama sembilan bulan hingga kelahirannya. Ketika melahirkan, tubuh perempuan juga mengalirkan darah dan air, dan serentak keluarlah manusia baru. Tubuh perempuan merupakan tubuh “Paskah”, tubuh pembebasan bagi kehidupan baru. Perempuan dan laki-laki diciptakan untuk memberikan hidup dan menghayati hidup dengan pemberian diri.

Kita semua mempunyai kemampuan untuk menghargai, menjaga, dan memelihara kehidupan. Perempuan diciptakan untuk menjadi ibu, sedangkan laki-laki mempunyai daya untuk melindungi serta mencintai istri dan anaknya. Tuhan menciptakan rahim di setiap perempuan, sebuah organ istimewa dari mana datanglah kehidupan. Setiap orang yang lahir dimuka bumi ini, ditenun oleh Allah dalam rahimperempuan. Di sana setiap manusia bermula dan tumbuh. Rahim adalah dunia terbaik. Semua ada di sana: ada makanan, ada selimut, dan ada kehangatan cinta. Rahimadalah asal dan tempat tumbuhnya kehidupan. Setiap perempuan menjadi ibu dari kehidupan. Melahirkan kehidupan adalah tugas perempuan.

Setiap kita—termasuk laki-lakidiberi tugas untuk melahirkan kehidupan. Apa itu rahim? Kita lahir dari Rahim Allah sendiri. Rahim juga berarti belas kasih. Rahim sebagai tempat dan rahim sebagai belaskasih itu adalah satu. Memiliki “rahim” berarti memiliki belas kasih.Menyadari betapa tinggi dan dalamnya makna hakikat laki-laki dan perempuan, maka kita semua harus belajar terus-menerus untuk mengembangkan dimensi keibuan dan kebapakan yang menghargai kehidupan. Semoga umat Katolik tetap menghargai kehidupan dan dirinya sendiri.

 

 

[1] Bdk. Majalah Mingguan Katolik “Hidup” tanggal 28 September 2014.